MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL

MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL
NEGERI YANG DAMAI DAN PENUH PESONA

Selasa, 30 November 2010

MANAJEMEN PENDIDIKAN

KONSEP DASAR TENTANG MANAJEMEN
Disusun oleh: Hayatuddin Fataruba

A.Pengertian Manajemen
Orang sering bertanya mengapa manajemen begitu penting untuk dipelajari. Pada saat kita membicarakan manajemen, maka yang terbayang di benak kita adalah bagaimana teknik mendayagunakan seluruh potensi yang ada dalam satu organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Memang kalau ditilik dari akar kata manajemen yang berasal dari bahasa Latin, yang kemudian diterjemahkan secara harafiah maka “manager” berarti menangani atau mengendalikan. Dari asal katanya inilah kemudian para ahli manajemen mengembangkan argumennya berdasarkan sudut pandang dan situasi dimana kegiatan mereka diarahkan dengan berbagai definisi.
Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan oleh pakar manajemen, beberapa diantaranya dapat dipaparkan seperti di bawah ini:
Jose Rizal G. Sanches (Kambey:2006), manajemen adalah proses mengembangkan manusia. Dimana secara keseluruhan, proses ini dibutuhkan untuk menantang orang untuk mengambil tujuan yang tinggi, melibatkan mereka secara signifikan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, dan menolong mereka mengembangkan hubungan kerja yang efektif, memuaskan dan produktif dalam mencapai tujuan-tujuan dari system dimana mereka adalah bahagian dari system tersebut.
George R. Terry (Mulyono:2008), manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan; perencanaan, pengorganisasian, penggiatan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lain.
Hal senada diungkapkan The Liang Gie (Mulyono:2008), manajemen sebagai seni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengontrolan terhadap sumber daya manusia dan alam untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Sondang P. Siagian (1989), manajemen adalah kemampuan dan keterampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan orang lain.
Malayu S.P. Hasibuan (1989), manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa definisi tersebut dapatlah disimpulkan bahwa manajemen mencakup:
1.Proses kegiatan yang terencana, terorganisir, terarah, dan teratur.
2.Pendayagunaan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sebagai sarana-prasarana yang mendukung kegiatan sejak perencanaan hingga pencapaian target secara maksimal, efektif, dan efisien.
3.Keterampilan-keterampilan tertentu yang teramu sebagai ilmu dan seni dalam mengatur dan mengelola sumber daya yang ada agar segala yang direncanakan bisa mencapai goal.
Sehingga dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar sebagaimana tersebut di atas, maka didapati dua pemahaman mendasar tentang apakah manajemen itu seni atau ilmu.
B.Manajemen sebagai Ilmu dan Seni
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang telah disistematisir, telah dianalisis dan disintesiskan, telah menghasilkan dalil, hukum,dan kaidah, yang dapat digunakan untuk menyusun hipotesis atau teori guna memecahkan masalah atau maksud tertentu. Sehingga dari definisi tersebut terdapat tiga pokok ilmu yakni: pertama, pengetahuan yang disistematisasikan artinya informasi yang diperoleh diklasifikasikan dan disimpan, kedua, informasi dikumpulkan dengan observasi yang sistematis terhadap fenomena yang relevan, eksperimen yang terkontrol, dan menyimpulkan berdasarkan atas hasil temuan tersebut, dan ketiga, dapat dipergunakan untuk memahami atau memecahkan masalah yang sedang diselidiki.
Sehingga karena manajemen mengandung konsep-konsep, teori-teori, prinsip-prinsip yang tersusun rapi serta teknik yang memberikan dasar bagi praktek manajemen itu sendiri, maka manajemen adalah ilmu (Daniel C. Kambey:2006:10)
George R. Terry, menyebutkan bahwa ilmu manajemen adalah suatu kumpulan pengetahuan yang disistematisir, yang dikumpulkan dan diterima dengan memberi referensi kepada pengertian kebenaran umum tentang manajemen (Mulyono,2008:21).
Sementara manajemen sebagai seni secara esensi berada pada bagaimana seorang manajer menggunakan ilmu manajemen secara baik dengan keterampilan tertentu dalam mengelola seluruh potensi organisasinya.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Massie (Kambey:2006) bahwa seni manajemen terletak pada penerapan kemampuan, pengetahuan, dan menyelesaikan sampai tuntas melalui usaha-usaha yang penuh pertimbangan.
Kambey (2006:10) juga menyebutkan bahwa pekerjaan seorang manajer dalam kedudukannya sebagai pengelola adalah seni, karena dalam menjalankan pekerjaannya itu setiap manajer harus memiliki keterampilan dalam menggunakan (mengaplikasikan) berbagai konsep, teori, dan prinsip serta teknik yang merupakan dasar bagi tindakan-tindakannya.
Sehingga Terry (Kambey:2006) mengungkapkan bahwa secara esensial, seorang manajer adalah seorang ilmuwan dan seorang seniman. Ia membutuhkan pengetahuan yang sistematik yang menyodorkan kebenaran-kebenaran pokok yang dapat digunakan dalam mengoperasikan tugas-tugasnya, dan pada waktu yang sama ia juga harus dapat memberi ilham, membujuk, bermulut manis, dan memikat orang-orang agar mereka dapat memberikan servis mereka dalam mencapai tujuan organisasi.
Lebih luas lagi Mulyono (2008) menyimpulkan bahwa:
1.Sebagai suatu sistem, manajemen adalah suatu kerangka kerja yang terdiri dari berbagai komponen yang seara keseluruhan saling berkaitan dan terorganisisr dalam rangka mencapai tujuan.
2.Sebagai proses, manajemen adalah serangkaian tahap kegiatan yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan memanfaatkan sumber daya semaksimal mungkin.
3.Sebagai suatu ilmu pengetahuan, manajemen adalah suatu ilmu indisipliner dengan menggunakan bantuan ilmu sosial, filsafat, psikologi, antropologi, dan lain-lain.
4.Sebagai suatu profesi, manajemen merupakan bidang pekerjaan atau keahlian tertentu yang dapat disejajarkan dengan bidang kedokteran, hukum, dan sebagainya.
5.Sebagai suatu fungsi, manajemen adalah proses fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan.
Sehingga bila kedua pemahaman manajemen sebagai ilmu dan seni kita padukan, maka sesungguhnya manajemen adalah ilmu dan seni perencanaan segala sesuatu secara mantap untuk melahirkan keyakinan yang berdampak pada melakukannya dengan benar, terorganisir, memiliki manfaat dan selalu terkontrol/dievaluasi secara terus-menerus dengan berpedoman pada melaksanakan kegiatan dengan cara yang tepat dan hemat dalam upaya mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
C.Fungsi dan Proses-Proses Manajemen
Dari sudut pandang Ilmu Sosial, fungsi adalah adanya karakteristik tertentu yang membedakan suatu tugas dengan tugas lainnya. Manajemen juga memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dari ilmu-ilmu sosial lainnya. Beberapa ahli mengemukakan fungsi-fungsi manajemen yang sama, namun seiring dengan dinamika organisasi maka menuntut fungsi manajemen harus lebih diperluas, diantaranya:
1.George Terry: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian),
actuating (penggerakan), controlling (pengendalian).
2.Henry Fayol: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian),
commanding (perintah), coordinating (koordinasi), controlling(pengawasan)
3.Siagian: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), motivating
(pemberian motivasi), controlling (pengendalian), evaluating (penilaian)

Walaupun dari ketiga pemahaman fungsi manajemen agak meluas, namun manajemen moderen lebih cenderung menggunakan fungsi manajemen yang dikemukakan George Terry, karena telah mencakup semua segi fungsi.
1.Planning (Perencanaan)
Perencanaan menurut Husaini Usman (2009), ialah sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian, perencanaan mengandung unsur-unsur (1) sejumlah kegiatan yang ditetapkan sebelumnya, (2) adanya proses, (3) hasil yang ingin dicapai, dan (4) menyangkut masa depan dalam waktu tertentu.
Tujuan perencanaan ini sebagai: Standar pengawasan, yakni mencocokkan pelaksanaan dengan perencanaan, Mengetahui kapan pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan, Mengetahui siapa saja yang terlibat baik kualifikasi maupun kuantitasnya, Mendapatkan kegiatan yang sistematis termasuk biaya dan kualitas pekerjaan, Meminimalkan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan penghematan, Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kegiatan pekerjaan, Menyerasikan dan memadukanbeberapa sub-kegiatan, Mendetekdi hambatan kesulitan yang bakal ditemui, dan Mengarahkan pada pencapaian tujuan
Manfaat perencanaan ini sebagai: Standar pelaksanaan dan pengawasan, Pemilihan berbagai alternatif terbaik, Penyusunan skala prioritas, baik sasaran maupun kegiatan, Menghemat pemanfaatan sumber daya organisasi, Membantu manajer menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, Alat memudahkan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait, dan Alat meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti
Ruang lingkup perencanaan meliputi:
•Perencanaan dari dimensi waktu; perencanaan yang dipengaruhi dimensi waktu, antara lain: Perencanaan jangka panjang (long term planning), Perencanaan jangka menengah (medium term planning), dan Perencanaan jangka pendek (short term planning).
•Perencanaan dari dimensi spasial; perencanaan yang memiliki karakter terkait dengan ruang dan batasan wilayah, antara lain: Perencanaan Nasional, Perencanaan Regional, dan Perencanaan Tata Ruang.
•Perencanaan dari dimensi tingkatan teknis perencanaan, antara lain: Perencanaan Makro, Perencanaan Mikro, Perencanaan Sektoral, Perencanaan Kawasan, dan Perencanaan Proyek.
•Perencanaan dari dimensi jenis terdiri atas: Perencanaan dari Atas ke Bawah (top down planning), Perencanaan dari Bawah ke Atas (bottom-up planning), Perencanaan Menyerong ke Samping (diagonal planning), Perencanaan Mendatar (horizontal planning), Perencanaan Menggelinding (rolling planning), dan Perencanaan Gabungan Down and Bottom-Up Planning.
Proses Perencanaan meliputi:
Menurut Banghart&Trull (1973) dalam Husaini (2009), proses perencanaan meliputi: Pendahuluan, Mengidentifikasi masalah, Analisis area masalah perencanaan, Menyusun konsep dan rencana, Mengevaluasi rencana, Menentukan rencana, Penerapan rencana, dan Rencana umpan balik.
Menurut Chesswas (1973) dalam Husaini (2009), proses perencanaan meliputi: Menilai kebutuhan, Merumuskan tujuan dan sasaran, Merumuskan kebijakan dan menentukan prioritas, Merumuskan program dan proyek, Menguji kelayakan, Menerapkan rencana, dan Menilai dan merevisi untuk rencana yang akan datang.
Menurut Mulyono (2008), langkah-langkah dan proses perencanaan meliputi: Memilih sasaran/tujuan organisasi, Sasaran/tujuan ditetapkan untuk setiap sub-unit organisasi divisi, departemen, dan sebagainya, Program ditentukan untuk mencapai tujuan dengan cara yang sistematik, Merumuskan tujuan yang jelas/operasional, Mengidentifikasi dan menganalisis data terkait dengan masalah, Mencari dan menganalisis alternatif pemecahan masalah, Mengomparasikan alternatif yang ditemukan, Mengambil keputusan dan Menyusun rencana kegiatan.
Sehingga sebuah rencana yang baik (Mulyono:2008), apabila: Azasnya pencapaian tujuan, Memiliki dukungan data yang akurat, Komprehensif dan integrated, dan Praktis dapat dilaksanakan.
2.Organizing (Pengorganisasian)
Pengorganisasian (Handoko:2003) adalah; 1) penentuan sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi, 2) proses perancangan dan pengembangan suatu organisasi yang akan dapat membawa hal-hal tersebut ke arah tujuan, 3) penugasan tanggung jawab tertentu, 4) pendelegasian wewenang yang diperlukan kepada individu-individu untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Lebih lanjut disebutkan pengorganisasian juga merupakan penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya yang dimilikinya, dan lingkungan yang melingkupinya.
Dengan demikian pengorganisasian meliputi: (1) cara manajemen merancang struktur formal untuk penggunaan yang paling efektif terhadap sumber daya keuangan, fisik, bahan baku, dan tenaga kerja organisasi, (2) bagaimana organisasi mengelompokkan kegiatannya, di mana setiap pengelompokan diikuti penugasan seorang manajer yang diberi wewenang mengawasi anggota kelompok, (3) hubungan antara fungsi, jabatan, tugas karyawan, (4) cara manajer membagi tugas yang harus dilaksanakan dalam departemen dan mendelegasikan wewenang untuk mengerjakan tugas tersebut (Handoko:2003).
Tujuan pengorganisasian
Dalam dunia nyata, banyak kondisi yang mempengaruhi bagaimana pengorganisasian dilaksanakan, sehingga tujuan pengorganisasian menurut Winardi (2009) antara lain: Sebagai suatu konfigurasi yang melukiskan hierarki manajemen dan saluran komunikasi formal, Dirumuskan dan ditetapkannya pekerjaan individual secara terstruktur, dan Sebagai sistem koordinasi antar sistem dan sub sistem dalam organisasi
Manfaat pengorganisasian
Menurut Winardi (2009), pengorganisasian secara efektif dapat menghasilkan manfaat antara lain: Kejelasan tentang ekspektasi-ekspektasi kinerja individual dan tugas-tugas terspesialisasi, Pembagian kerja yang menghindari timbulnya duplikasi, konflik, dan penyalahguanaan sumber-sumber daya, baik sumber-sumber daya material maupun sumber-sumber daya manusia, Terbentuknya suatu arus aktivitas kerja yang logis, yang dapat dilaksanakan dengan baik oleh individu-individu atau sebagai kelompok-kelompok, Saluran-saluran komunikasi yang mapan, yang membantu pengambilan keputusan dan pengawasan, Mekanisme-mekanisme yang mengkoordinasi, memungkinkan tercapainya harmoni antara para anggota organisasi, yang terlibat dalam aneka macam kegiatan, Upaya-upaya yang difokuskan yang berkaitan dengan sasaran-sasaran secara logis dan efisien, dan Struktur-struktur otoritas tepat, yang memungkinkan kelancaran perencanaan dan pengawasan pada seluruh organisasi yang bersangkutan.
Ruang lingkup pengorganisasian
Agar mempermudah proses pengorganisasian, maka pengorganisasian diarahkan kepada bagaimana mendesain organisasi dan mendesain tugas-tugas untuk dilaksanakan. Desain organisasi merupakan proses penciptaan atau konstruk suatu struktur yang dilakukan oleh manajer atau pihak lain yang berwenang untuk membuat struktur organisasi yang sesuai dengan starategi organisasi dan lingkungan tempat anggota organisasi melaksanakan strategi tersebut. Bagi sebuah organisasi, keberadaan suatu struktur sangat diperlukan untuk dapat mengetahui peranan dan kedudukan masing-masing anggota dalam jenjang organisasi.
Secara garis besar bentuk struktur organisasi (Wahab:2008) dibedakan atas lima: 1). Struktur Sederhana; 2). Struktur Fungsional; 3). Struktur Divisional; 4). Struktur Matriks; 5). Unit Bisnis Strategis;
Sehingga hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam mendesain struktur organisasi menurut Gibson dkk (Kambey:2006) antara lain:
Mengidentifikasi seluruh tugas yang ada dan kemudian membagi-baginya ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil, dan identifikasi tugas yang berkaitan satu sama lain guna menentukan tingkat spesialisasi, Menentukan kewenangan apa yang ada pada tugas-tugas yang sudah dikelompokkan pada tahap pertama, dalam hal ini hak untuk membuat keputusan terhadap tugasnya tanpa harus meminta persetujuan atasan, Menentukan tingkat homogenitas karakteristik tugas-tugas individual yang akan dijadikan dasar untuk pembentukan bagian/departemen yang ada dalam organisasi, dan Menentukan ukuran besarnya bagian/departemen, yaitu berapa orang yang ada pada setiap bagian atau berapa banyak setiap atasan memiliki bawahan.
Proses Pengorganisasian
Samuel B. Certo (Winardi:2009) mengemukakan bahwa ada lima macam langkah pokok pengorganisasian, antara lain: Melaksanakan refleksi tentang rencana-rencana dan sasaran-sasaran, Menetapkan tugas-tugas pokok, Membagi tugas-tugas pokok menjadi tugas-tugas bagian (subtasks), Mengalokasikan sumber-sumber daya dan petunjuk-petunjuk untuk tugas-tugas bagian tersebut, dan Mengevaluasi hasil-hasil dari strategi pengorganisasian yang diimplementasi
Mulyono (2008) juga mengemukakan hal yang hampir sama, bahwa langkah-langkah pengorganisasian antara lain: Memahami tujuan institusional, Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam usaha mencapai tujuan institusional, Kegiatan yang serumpun/sejenis dikelompokkan dalam satu unit kerja, Menetapkan personal termasuk jumlah dan kualifikasinya di setiap unit kerja, dan Menentukan hubungan kerja antar unit kerja.

3.Actuating (Penggerakan)
Penggerakan menurut Siagian (1989) adalah keseluruhan proses pemberian motivasi untuk bekerja kepada para karyawan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.
Selanjutnya G.R Terry (Hasibuan:1989) menyebutkan bahwa penggerakan adalah membuat semua anggota kelompok agar mau bekerjasama dan bekerja secara ikhlas serta bergairah untuk mencapai tujuan sesuai dengan rencana-rencana yang telah ditentukan dan usaha-usaha yang telah diorganisir.
Tujuan penggerakan
Tujuan penggerakan (Husaini Usman:2009) antara lain; Membangkitkan rasa percaya diri ketika tugas-tugas di delegasikan, Mendorong karyawan untuk toleran terhadap setiap kegagalan, Meningkatkan rasa diterima dan komitmen terhadap tugas-tugas yang didelegasikan, Membangun solidaritas antara sesama karyawan dalam pekerjaan, Dapat menyeimbangkan sasaran pekerjaan dengan sasaran individu, Memberdayakan dan memotivasi setiap anggota tim sewajarnya namun maksimal hasilnya, dan Memberdayakan semua sumber daya secara optimal sesuai target yang telah direncanakan.
Manfaat penggerakan
Dari tujuan penggerakan yang dikemukakan Husaini (2009) di atas, maka dapat dikatakan bahwa manfaat penggerakan antara lain: Terbentuk rasa percaya diri karyawan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah didelegasikan, Kebersamaan dalam tim karena melaksanakan pekerjaan sesuai dengan sasaran yang telah disepakati bersama, dan Tercipta kreatifitas dalam bekerja karena didorong oleh motivasi menjadi yang terbaik dan berhasil secara maksimal.
Ruang lingkup penggerakan
Ruang lingkup penggerakan (Husaini Usman:2009) meliputi:
1.Motivasi, dimana keseluruhan proses penggalakan/peningkatan motif seseorang sedemikian rupa yang mendorongnya melakukan sesuatu (bertingkah laku) dengan bersemangat untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam upaya memuaskan kebutuhannya (Kambey:2006)
2.Kepemimpinan, berkaitan dengan proses yang disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk membimbing, membuat struktur, memfasilitasi aktivitas dan hubungan di dalam kelompok/organisasi (Yukl:2009)
3.Kekuasaan, bagaimana seseorang mampu mempengaruhi orang lain dalam organisasi karena kapasitasnya (Yukl:2009)
4.Pengambilan keputusan, pengambilan keputusan pada dasarnya memilih satu alternatif dari beberapa alternatif keputusan dimana prosesnya dimulai dari identifikasi masalah, analisis lingkungan yang relevan, mengembangkan alternatif-alternatif keputusan, memilih alternatif yang paling baik, melakukan implementasi tersebut, dan memonitor keputusan yang sudah diambil (Hanafi:2003)
5.Komunikasi, dimana terjadi pertukaran pesan verbal maupun non verbal antara pengirim dengan penerima pesan dengan tujuan mendorong penerima untuk menginterpretasikan apa yang dikehendaki pengirim untuk mengubah tingkah laku (Handoko:2001)
6.Koordinasi, merupakan proses menghubungkan atau mengintegrasikan bagian-bagian dalam organisasi agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan lebih efektif (Hanafi:2003)
7.Negosiasi, merupakan proses tawar-menawar dengan jalan berunding, untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dan pihak yang lain secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa atau proses pertukaran barang/jasa dan berupaya menyepakati nilai tukarnya (Rivai:2009)
8.Manajemen konflik, metode dan teknik yang dipilih organisasi dalam mencari konflik atau menciptakan konflik dan memanaj konflik serta sumber-sumber konflik tersebut secara aktif untuk diselesaikan. (Winardi:2009)
9.Perubahan organisasi, dimana pada dasarnya menjadikan sesuatu yang ada saat ini menjadi sesuatu yang baru diinginkan. Dinamika ini meliputi apa sebenarnya yang terjadi saat ini, apa yang akan terjadi di masa mendatang seandainya perubahan tersebut tidak terjadi, apa yang diinginkan oleh orang-orang tentang kondisi yang akan datang, dan bagaimana perubahan itu dilakukan dari kondisi saat ini ke kondisi ideal di masa mendatang (Rivai:2009)
10.Keterampilan interpersonal, meliputi pengetahuan dan keterampilan mengenai perilaku manusia dan proses kelompok, kemampuan untuk mengerti perasaan, sikap, serta sikap motivasi dari orang lain, dan kemampuan untuk mengkomunikasikan dengan jelas dan persuasif (Yukl:2009)
11.Membangun kepercayaan, strategi yang diapakai manajer untuk mememlihara dan memotivasi orang-orang dalam organisasinya untuk tetap berada pada kondisi ideal saling hubungan dalam upaya bersama menjalankan organisasi sesuai rencana dan harapan bersama (Siagian:2008)
12.Penilaian kinerja, agar dapat mengetahui secara pasti pencapaian hasil, kemajuan, dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan program/kegiatan, selanjutnya dipelajari guna perbaikan pelaksanaan program/kegiatan di masa yang akan datang (Akdon:2007)
13.Kepuasan kerja, adalah sikap seseorang terhadap pekerjaannya yang mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya terhadap pengalaman masa depan. Kepuasan ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor; imbalan jasa, rasa aman, pengaruh antar pribadi, kondisi lingkungan kerja, dan kesempatan untuk pengembangan dan peningkatan diri (Husaini Usman:2009)

4.Controlling (Pengendalian/Pengawasan)
Pengawasan menurut Winardi (2009), controlling berarti mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana-rencana.
Hal senada juga diungkapkan Terry (Kambey:2006), bahwa controlling menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasinya, dan melakukan tindakan perbaikan bila perlu untuk menjaga agar hasilnya sesuai dengan rencana.
Tujuan pengendalian: Memperoleh masukan apakah pelaksanaan dan hasil yang sudah dicapai sesuai dengan perencanaan atau belum, Menentukan apakah itu keberhasilan atau kegagalan, Mengetahui di mana letak kelemahan, kesalahan, dan kesulitan-kesulitan yang dialami, dan Melakukan tindakan memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan kelemahan baik pada waktu sekarang maupun akan datang (Kambey:2006)
Manfaat pengendalian : Melalui controlling, pelaksanaan tugas-tugas yang telah ditentukan sungguh-sungguh sesuai dengan pola yang telah digariskan dalam rencana, Struktur serta hierarki organisasi sesuai dengan pola yang telah ditentukan dalam rencana tersebut, Seseorang sungguh-sungguh ditempatkan sesuai dengan bakat keahlian dan pendidikan serta pengalamannya dan bahwa usaha pengembangan keterampilan karyawan dilaksanakan secara berencana, kontinu, dan sistematis, Agar penggunaan alat-alat diusahakan supaya sehemat mungkin, Sistem dan prosedur kerja tidak menyimpang dari garis-garis kebijaksanaan yang telah tercermin dalam rencana, Pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan rasional dan tidak atas dasar “personal likes and dislikes”, dan Tidak terdapat penyimpangan atau penyelewengan dalam penggunaan kekuasaan, kedudukan, dan terutama keuangan (Siagian dalam Kambey:2006)
Ruang lingkup pengendalian
Ruang lingkup controlling secara garis besarnya terbagi atas:
•Controlling non-kuantitatif, yang meliputi; observation, pemeriksaan reguler, pemeriksaan dengan tiba-tiba, laporan lisan dan tertulis, evaluasi pelaksanaan tugas, dan diskusi-diskusi antar manajer dan pegawai.
•Controlling kuantitatif, yang meliputi; budgetary control (pengawasan anggaran), management audits (pemeriksaan efektifitas manajemen), dan ratio analysis (mempelajari hubungan antara komponen yang ada dalam laporan keuangan dalam bentuk rasio dan prosentase.
Proses Pengendalian
Menurut Kambey (2006), proses pengawasan terdiri dari tiga fase:
1.Menetapkan standar hasil kegiatan dan metode pengukurannya. Di dalam perencanaan, telah ditentukan target apa yang harus dicapai, kegiatan apa yang dilakukan, bagaimana melakukannya berdasarkan standar kegiatan. Sehingga untuk bisa mengukur kriteria-kriteria dalam perencanaan tersebut di gunakan sistem pengukuran standar pekerjaan dan kinerja. Dan lebih penting adalah standar tersebut harus diketahui oleh seluruh komponen organisasi.
2.Membandingkan pelaksanaan dengan standar yang telah ditentukan, apakah tujuan yang telah dicanangkan berhasil dicapai atau tidak.
3.Mengadakan tindakan perbaikan. Tindakan perbaikan pada dasarnya dimaksudkan agar apa yang dilaksanakan oleh organisasi bersangkutan bisa mencapai standar yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Wahab; Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan (Telaah Terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan: Alfabeta Bandung: 2008
Akdon; Strategic Management for Educational Management : Alfabeta Bandung: 2007
Daniel C. Kambey; Landasan Teori Administrasi/Manajemen (sebuah intisari): Yayasan Tri Ganesha Nusantara: 2006
Gary Yukl; Kepemimpinan Dalam Organisasi (Edisi ke-Lima): Indeks Jakarta: 2009
Hani Handoko; Manajemen (Edisi 2): BPFE Yogyakarta: 2003
Husaini Usman: Manajemen; Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan: Bumi Aksara Jakarta: 2009
J. Winardi; Teori Organisasi dan Pengorganisasian: Rajawali Pers Rajagrafindo Persada: 2009
Malayu S.P. Hasibuan; Manajemen, Dasar, Pengertian, dan Masalah: CV. Haji Masagung: 1989
Mamduh M. Hanafi; Manajemen (Edisi Revisi): UPP AMP YKPN Yogyakarta: 2003
Mulyono: Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan: Ar-Ruzz Media Jogjakarta: 2008
Sondang P. Siagian; Bunga Rampai Manajemen Moderen: CV. Haji Masagung:1989
T.H. Handoko; Manajemen (Edisi 2): BPFE-Yogyakarta: 2003
Veitzal Rivai & Deddy Mulyadi; Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Edisi ke-Tiga): Rajawali Pers Raja Grafindo Persada Jakarta: 2009

METODE PENELITIAN EKSPERIMEN

MENGENAL METODE PENELITIAN EKSPERIMEN
Oleh: Hayatuddin Fataruba

Metode eksperimen merupakan bagian dari metode kuantitatif, dan memiliki ciri khas tersendiri terutama dengan adanya kelompok kontrol. Dalam bidang sains, penelitian-penelitian dapat menggunakan desain eksperimen karena variabel-variabel dapat dipilih dan variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi proses eksperimen itu dapat dikontrol secara ketat. Sehingga dalam metode ini, peneliti memanipulasi paling sedikit satu variabel, mengontrol variabel lain yang relevan, dan mengobservasi pengaruhnya terhadap variabel terikat. Manipulasi variabel bebas inilah yang merupakan salah satu karakteristik yang membedakan penelitian eksperimental dari penelitian-penelitian lain.
Wiersma (1991) dalam Emzir (2009) mendefinisikan eksperimen sebagai suatu situasi penelitian yang sekurang-kurangnya satu variabel bebas, yang disebut sebagai variabel eksperimental, sengaja dimanipulasi oleh peneliti.
Arikunto (2006) mendefinisikan eksperimen adalah suatu cara untuk mencari hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti dengan mengeliminasi atau mengurangi atau menyisihkan faktor-faktor lain yang mengganggu.
A.Karakteristik Penelitian
Ada tiga hal yang menjadi karakteristik penelitian eksperimental:
1.Manipulasi, dimana peneliti menjadikan salah satu dari sekian variabel bebas untuk menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh peneliti, sehingga variabel lain dipakai sebagai pembanding yang bisa membedakan antara yang memperoleh perlakuan/manipulasi dengan yang tidak memperoleh perlakuan/manipulasi.
2.Pengendalian, dimana peneliti menginginkan variabel yang diukur itu mengalami kesamaan sesuai dengan keinginan peneliti dengan menambahkan faktor lain ke dalam variabel atau membuang faktor lain yang tidak diinginkan peneliti dari variabel.
3.Pengamatan, dimana peneliti melakukan suatu kegiatan mengamati untuk mengetahui apakah ada pengaruh manipulasi variabel (bebas) yang telah dilakukannya terhadap variabel lain (terikat) dalam penelitian eksperimental yang dilakukannya.

B.Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian eksperimental pada dasarnya sama dengan penelitian lain, yakni; memilih dan merumuskan masalah, memilih subyek dan instrumen pengukuran, memilih desain penelitian, melaksanakan prosedur, menganalisis data, dan merumuskan kesimpulan.
C.Validitas
Suatu eksperimen dikatakan valid jika hasil yang diperoleh hanya disebabkan oleh variabel bebas yang dimanipulasi, dan jika hasil tersebut dapat digeneralisasikan pada situasi di luar setting eksperimental (Emzir:2009) Sehingga ada dua kondisi yang harus diterima yakni faktor internal dan eksternal.
1.Validitas Internal

Validitas ini mengacu pada kondisi bahwa perbedaan yang diamati pada variabel bebas adalah suatu hasil langsung dari variabel beas yang dimanipulasi dan bukan dari variabel lain. Campbel dan Stanley (dalam Gay:1981) sebagaimana dikutip Emzir (2009) mengidentifikasi delapan ancaman utama terhadap validitas internal, antara lain:
•Historis, dimana munculnya suatu kejadian yang bukan bagian dari perlakuan dalam eksperimen yang dilakukan, tetapi mempengaruhi model, karakter, dan penampilan variabel bebas.
•Maturasi, dimana terjadi perubahan fisik atau mental peneliti atau obyek yang diteliti yang mungkin muncul selama suatu periode tertentu yang mempengaruhi proses pengukuran dalam penelitian.
•Testing, dimana sering terjadi ketidak efektifan suatu penelitian yang menggunakan metode test karena suatu kegiatan test yang dilakukan dengan menggunakan pra test dan post test, apalagi dengan rentang waktu yang cukup panjang, dan terkadang nilai pra test dan post test yang sama.
•Instrumentasi, instrumentasi sering muncul karena kurang konsistensinya instrumen pengukuran yang mungkin menghasilkan penilaian performansi yang tidak valid. Dimana jika dua test berbeda digunakan untuk pratest dan postest, dan test-test tersebut tidak sama tingkat kesulitannya, maka instrumentasi dapat muncul.
•Regresi Statistik, dimana regresi statistik ini sering muncul bila subyek dipilih berdasarkan skor ekstrem dan mengacu pada kecenderungan subyektif yang memiliki skor yang paling tinggi pada pratest ke skor yang lebih rendah pada postes, begitupun sebaliknya.
•Seleksi subyek yang berbeda, dimana biasanya muncul bila kelompok yang ada digunakan dan mengacu pada fakta bahwa kelompok tersebut mungkin berbeda sebelum kegiatan penelitian dimulai.
•Mortalitas, dimana sering terjadi bahwa subyek yang terkadang drop out dari lingkup penelitian dan memiliki karakteristik kuat yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
•Interaksi seleksi Maturasi, dimana satu kelompok akan termaturasi dengan hasil kelompok lain tanpa melalui perlakuan.

2.Validitas Eksternal

Validitas ini mengacu pada kemampuan generalisasi suatu penelitian. Dimana dibutuhkan kemampuan suatu sampel populasi yang benar-benar bisa digeneralisasikan ke populasi yang lain pada waktu dan kondisi yang lain.
Campbell dan Stanley dalam Gay (1981) yang dikutip Emzir (2009) mengidentifikasi beberapa ancaman terhadap validitas eksternal, diantaranya:
•Interaksi Prates-Perlakuan, dimana biasanya sering muncul bila respons subjek berbeda pada setiap perlakuan karena mengikuti prates.
•Interaksi Seleksi-Perlakuan, dimana akibat yang muncul bila subjek tidak dipilih secara acak sehingga seleksi subjek yang berbeda diasosiasikan dengan ketidakvalidan internal.
•Spesifisitas Variabel, adalah suatu ancaman terhadap yang tidak mengindahkan generalisabilitas dari desain eksperimental yang digunakan.
•Pengaturan Reaktif, mengacu pada faktor-faktor yang diasosiasikan dengan cara bagaimana penelitian dilakukan dan perasaan serta sikap subjek yang dilibatkan.
•Interferensi Perlakuan Jamak, biasanya sering muncul bila subjek yang sama menerima lebih dari satu perlakuan dalam pergantian.
•Kontaminasi dan Bias Pelaku Eksperimen, sering muncul bila keakraban subjek dan peneliti mempengaruhi hasil penelitian.


D.Desain Penelitian Eksperimental

1.Pengontrolan Variabel Luar
2.Pemadanan, yaitu suatu teknik untuk penyamaan kelompok pada satu atau lebih variabel yang telah diidentifikasi peneliti sebagai berhubungan dengan performansi pada variabel terikat (Emzir:2009)
3.Perbandingan Kelompok atau Subkelompok Homogen
4.Penggunaan Subjek sebagai pengendalian diri mereka sendiri
5.Analisis Kovarian, yaitu suatu metode statistik untuk penyamaan kelompok yang dibentuk secara random pada satu atau lebih variabel terkontrol.

E.Jenis-Jenis Desain Penelitian Eksperimental
Wiersma (1991) dalam Emzir (2009) mengemukakan kriteria-kriteria untuk suatu desain penelitian eksperimental yang baik, diantaranya;
•Kontrol eksperimental yang memadai
•Mengurangi artifisialitas (dalam merealisasikan suatu hasil eksperimen ke non-eksperimen)
•Dasar untuk perbandingan dalam menentukan apakah terdapat pengaruh atau tidak
•Informasi yang memadai dari data yang akan diambil untuk memutuskan hipotesis
•Data yang diambil tidak terkontaminasi dan memadai dan mencerminkan pengaruh

Tidak mencampurkan variabel yang relevan agar variabel lain tidak mempengaruhi
•Keterwakilan dengan menggunakan randomisasi aspek-aspek yang akan diukur
•Kecermatan terhadap karakteristik desain yang akan dilakukan
Dengan demikian maka suatu desain eksperimental yang dipilih oleh peneliti membutuhkan perluasan terutama pada prosedur dari setiap penelitian yang akan dilakukan. Emzir (2009) mengklasifikasikan desain eksperimental dalam dua kategori yakni:
1.Desain Variabel Tunggal, yang melibatkan satu variabel bebas (yang dimanipulasi) yang terdiri atas;
•Pra-Experimental Designs (non-designs)

Dikatakan pre-experimental design, karena desain ini belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh. Hal ini disebabkan karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel terikat (dependen). Jadi hasil eksperimen yang merupakan variabel terikat (dependen) itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh variabel bebas (independen). Hal ini bisa saja terjadi karena tidak adanya variabel kontrol dan sampel tidak dipilih secara acak (random). Bentuk pra-experimental designs antara lain:


a.One-Shot Case Study (Studi Kasus Satu Tembakan)
Dimana dalam desain penelitian ini terdapat suatu kelompok diberi treatment (perlakuan) dan selanjutnya diobservasi hasilnya (treatment adalah sebagai variabel independen dan hasil adalah sebagai variabel dependen). Dalam eksperimen ini subjek disajikan dengan beberapa jenis perlakuan lalu diukur hasilnya.
b.One Group Pretest-Posttest Design (Satu Kelompok Prates-Postes)
Kalau pada desain “a” tidak ada pretest, maka pada desain ini terdapat pretest sebelum diberi perlakuan. Dengan demikian hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum diberi perlakuan.
c.Intact-Group Comparison
Pada desain ini terdapat satu kelompok yang digunakan untuk penelitian, tetapi dibagi dua yaitu; setengah kelompok untuk eksperimen (yang diberi perlakuan) dan setengah untuk kelompok kontrol (yang tidak diberi perlakuan).

•True Experimental Design

Dikatakan true experimental (eksperimen yang sebenarnya/betul-betul) karena dalam desain ini peneliti dapat mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya eksperimen. Dengan demikian validitas internal (kualitas pelaksanaan rancangan penelitian) dapat menjadi tinggi. Ciri utama dari true experimental adalah bahwa, sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol diambil secara random (acak) dari populasi tertentu. Jadi cirinya adalah adanya kelompok kontrol dan sampel yang dipilih secara random. Desain true experimental terbagi atas :

a.Posstest-Only Control Design
Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang masing-masing dipilih secara random (R). Kelompok pertama diberi perlakuan (X) dan kelompok lain tidak. Kelompok yang diberi perlakuan disebut kelompok eksperimen dan kelompok yang tidak diberi perlakuan disebut kelompok kontrol.
b. Pretest-Posttest Control Group Design
Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara acak/random, kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
c.The Solomon Four-Group Design
Dalam desain ini, dimana salah satu dari empat kelompok dipilih secara random. Dua kelompok diberi pratest dan dua kelompok tidak. Kemudian satu dari kelompok pratest dan satu dari kelompok nonpratest diberi perlakuan eksperimen, setelah itu keempat kelompok ini diberi posttest.

•Quasi Experimental Design

Bentuk desain eksperimen ini merupakan pengembangan dari true experimental design, yang sulit dilaksanakan. Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan experimen. Walaupun demikian, desain ini lebih baik dari pre-experimental design. Quasi Experimental Design digunakan karena pada kenyataannya sulit medapatkan kelompok kontrol yang digunakan untuk penelitian.
Dalam suatu kegiatan administrasi atau manajemen misalnya, sering tidak mungkin menggunakan sebagian para karyawannya untuk eksperimen dan sebagian tidak. Sebagian menggunakan prosedur kerja baru yang lain tidak. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan dalam menentukan kelompok kontrol dalam penelitian, maka dikembangkan desain Quasi Experimental.
Desain eksperimen model ini diantarnya sebagai berikut:

a.Time Series Design
Dalam desain ini kelompok yang digunakan untuk penelitian tidak dapat dipilih secara random. Sebelum diberi perlakuan, kelompok diberi pretest sampai empat kali dengan maksud untuk mengetahui kestabilan dan kejelasan keadaan kelompok sebelum diberi perlakuan. Bila hasil pretest selama empat kali ternyata nilainya berbeda-beda, berarti kelompok tersebut keadaannya labil, tidak menentu, dan tidak konsisten. Setelah kestabilan keadaan kelompok dapay diketahui dengan jelas, maka baru diberi treatment/perlakuan. Desain penelitian ini hanya menggunakan satu kelompok saja, sehingga tidak memerlukan kelompok kontrol.
b.Nonequivalent Control Group Design
Desain ini hampir sama dengan pretest-posttest control group design, hanya pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random.
Dalam desain ini, baik kelompok eksperimental maupun kelompok kontrol dibandingkan, kendati kelompok tersebut dipilih dan ditempatkan tanpa melalui random. Dua kelompok yang ada diberi pretes, kemudian diberikan perlakuan, dan terakhir diberikan postes.
c.Conterbalanced Design
Desain ini semua kelompok menerima semua perlakuan, hanya dalam urutan perlakuan yang berbeda-beda, dan dilakukan secara random.

2.Desain Faktorial, yang melibatkan dua atau lebih variabel bebas (sekurang-kurangnya satu yang dimanipulasi).
Desain faktorial secara mendasar menghasilkan ketelitian desain true-eksperimental dan membolehkan penyelidikan terhadap dua atau lebih variabel, secara individual dan dalam interaksi satu sama lain.
Tujuan dari desain ini adalah untuk menentukan apakah efek suatu variabel eksperimental dapat digeneralisasikan lewat semua level dari suatu variabel kontrol atau apakah efek suatu variabel eksperimen tersebut khusus untuk level khusus dari variabel kontrol, selain itu juga dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan yang tidak dapat dilakukan oleh desain eksperimental variabel tunggal.

Daftar Pustaka

1.Arikunto, Suharsimi : Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta: 2006.
2.Domu, Ichdar : Bahan Kuliah Metodologi Penelitian, Program Studi Manajemen Pendidikan Pasca Sarjana Universitas Negeri Manado: 2009.
3.Emzir : Metodologi Penelitian Pendidikan, Kuantitatif dan Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2009.
4.Sugiyono : Metodologi Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta, Bandung: 2009.

Kamis, 07 Oktober 2010

PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Memahami Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
Oleh: Hayatuddin Fataruba

Metode kuantitatif dan kualitatif sering dipasang dengan nama-nama seperti; metode tradisional dan metode baru, metode positivistik dan metode postpositivistik, metode scientific dan metode artistik, metode konfirmasi dan temuan.
Mengenal pendekatan penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif akan lebih mudah dan jelas bila kita memahami perbedaannya dengan beragam hal yang sangat mendasar di dalam kedua metodologi tersebut.
Kuantitatif dinamakan metode tradisional karena metode ini sudah cukup lama dikenal dan sudah mentradisi di kalangan peneliti. Sedangkan kualitatif dikatakan metode baru karena popularitasnya belum lama dan baru diperkenalkan dikalangan peneliti sekitar tahun 1990-an.
Metode Penelitian Kuantitatif, sebagaimana dikemukana oleh Sugiyono (2009:14) dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Menurut Emzir (2009:28), pendekatan Kuantitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang secara primer menggunakan paradigma postpositivist dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (seperti pemikiran tentang sebab akibat, reduksi kepada variabel, hipotesis, dan pertanyaan spesifik, menggunakan pengukuran dan observasi, serta pengujian teori), menggunakan strategi penelitian seperti eksperimen dan survei yang memerlukan data statistik. Sehingga dalam penelitian kuantitatif, sesuai dengan namanya banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya (Arikunto:2006).
Sebaliknya Metode Penelitian Kualitatif, sebagaimana dikemukana oleh Sugiyono (2009:15) adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Menurut Emzir (2009:28), pendekatan Kualitatif merupakan salah satu pendekatan yang secara primer menggunakan paradigma pengetahuan berdasarkan pandangan konstruktivist (seperti makna jamak dari pengalaman individual, makna yang secara sosial dan historis dibangun dengan maksud mengembangkan suatu teori atau pola) atau pandangan advokasi/partisipatori (seperti orientasi politik, isu, kolaboratif, atau orientasi perubahan) atau keduanya. Pendekatan ini juga menggunakan strategi penelitian seperti naratif, fenomenologis, etnografis, studi grounded theory, atau studi kasus. Peneliti mengumpulkan data penting secara terbuka terutama dimaksudkan untuk mengembangkan tema-tema dari data. Sehingga dalam penelitian kualitatif menunjukkan bahwa pelaksanaan penelitian ini terjadi secara lamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada deskripsi secara alami. Pengambilan data atau penjaringan fenomena dilakukan dari keadaan yang sewajarnya (Arikunto:2006)

A.Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Penelitian Kualitatif
Dari pengertian kedua jenis penelitian sebagaimana disebutkan di atas, maka di bawah ini dikemukakan perbedaan-perbedaan mendasar berdasarkan karakteristik penelitiannya, meskipun beberapa hal juga memiliki persamaan.
a.Kejelasan unsur
1.Kuantitatif: memandang suatu objek penelitian sebagai sesuatu yang konkrit, dapat diamati dengan panca indera, dapat dikategorikan menurut jenis, bentuk, warna, tidak berubah, dapat diukur, dan diverivikasi.
2.Kualitatif: obyek penelitian tidak dapat dilihat secara parsial dan dipecah ke dalam beberapa variabel, karena obyek itu dinamis dan utuh (holistik) karena setiap aspek dari objek itu mempunyai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
b.Hubungan
1.Kuantitatif: menganggap kebenaran itu diluar diri peneliti sehingga hubungan antara peneliti denga yang diteliti harus dijaga jaraknya sehingga bersifat independen. Karena menggunakan kueisioner sebagai teknik pengumpulan data, maka peneliti hampir tidak mengenal siapa yang diteliti atau responden yang memberikan data
2.Kualitatif: karena peneliti adalah human instrumen dimana teknik pengumpulan data participant observation dan in depth interview, maka peneliti harus berinteraksi dengan sumber data secara terintegratif.
c.Jangka Waktu
1.Kuantitatif: pada umumnya jangka waktu penelitian kuantitatif tidak terlalu lama, karena data yang dikumpulkan menggunakan sistem kueisioner, sehingga bila seluruh kueisioner telah terkumpul dan dilakukan kegiatan analisis data dan telah didapatkan hasil untuk disimpulkan maka penelitian telah selesai
2.Kualitatif: pada umumnya jangka waktu penelitian kualitatif cukup lama, karena tujuan penelitian kualitatif bersifat penemuan, namun bila telah ditemukan sesuatu dan datanya sudah jenuh, telah teruji kredibilitasnya, maka tidak menutup kemungkinan tidak membutuhkan waktu lama penelitian selesai. Dalam hal ini Susan Stainback dalam Sugiyono (2009) menyatakan bahwa: tidak ada cara yang mudah untuk menentukan berapa lama penelitian kualitatif dilaksanakan, Pada umumnya penelitian dilaksanakan dalam tahunan. Tetapi lamanya penelitian akan tergantung pada keberadaan sumber data, interes, dan tujuan penelitian. Selaian itu juga akan tergantung cakupan penelitian, dan bagaimana peneliti mengatur waktu yang digunakan dalam setiap hari atau tiap minggu.


d.Langkah Penelitian
1.Kuantitatif: pada intinya untuk menjawab masalah. Sehingga penelitian ini bertolak dari studi pendahuluan dari objek, dan dirumuskan secara spesifik dan segala sesuatu direncanakan sampai matang ketika persiapan penelitian disusun
2.Kualitatif: baru diketahui dengan mantap dan jelas setelah penelitian selesai
e.Pola Pendekatan
1.Kuantitatif: karena penelitian ini lebih menekankan pada keluasan informasi (bukan kedalaman) sehingga dapat menggunakan sampel, karena data yang diteliti adalah data sampel yang diambil dari populasi tersebut dengan teknik probability sampling dan hasil penelitiannya diberlakukan untuk populasi.
2.Kualitatif: tidak dapat menggunakan pendekatan populasi dan sampel karena lebih menekankan pada kedalaman informasi sehingga sampai pada tingkat makna ehingga pola pendekatan yang digunakan adalah setting, dimana peneliti memahami responden dari titik tolak pandangan responden sendiri hal-hal yang dialami oleh peneliti tentang responden menyangkut komponen-komponen antara lain: jati diri responden, tindakan responden, interaksi sosialnya, aspek yang berpengaruh, dan interaksi/tindakan yang dilakukannya. Dan hasil penelitian hanya berlaku bagi setting yang bersangkutan.
f.Tujuan
1.Kuantitatif: menunjukkan hubungan antar variabel, menguji teori, mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif
2.Kualitatif: menemukan pola hubungan yang bersifat interaktif, menemukan teori, menggambarkan relitas yang kompleks, memperoleh pemahaman makna
g.Hipotesis
1.Kuantitatif: mengajukan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian, dimana hipotesis yang menentukan hasil yang diramalkan dan lebih apriori
2.Kualitatif: tidak mengemukakan hipotesis sebelumnya, tetapi dapat lahir selama penelitian berlangsung dan bersifat tentative, dimana hasil penelitian terbuka.
h.Desain Penelitian
1.Kuantitatif: dalam desain penelitiannya masalah yang merupakan titik tolak penelitian sudah jelas dan umumnya dilakukan pada populasi yang luas sehingga hasil penelitian kurang mendalam, jelas langkah-langkah penelitian dan hasil yang diharapkan, dimana desainnya lebih spesifik, jelas, rinci, ditentukan secara mantap sejak awal, dan menjadi pegangan langkah-demi langkah,
2.Kualitatif: bersifat fleksibel dengan langkah dan hasil yang tidak dapat dipastikan sebelumnya, bersifat umum, berkembang dan muncul dalam proses penelitian. Mempunyai sifat induktif yaitu pengembangan konsep yang didasarkan atas data yang ada, mengikuti desain penelitian yang fleksibel sesuai dengan konteksnya sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri dengan konteks yang ada di lapangan.

i.Teknik Pengumpulan Data
1.Kuantitatif: kegiatan dalam pengumpulan data memungkinkan untuk diwakilkan, menggunakan kuesiaoner, observasi dan wawancara terstruktur
2.Kualitatif: kegiatan pengumpulan data harus selalu dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan teknik participant observation, in depth interview, dokumentasi, dan triangulasi yaitu penyilangan informasi yang diperoleh dari sumber sehingga pada akhirnya hanya data yang absah saja yang digunakan untuk mencapai hasil penelitian.
j.Instrumen Penelitian
1.Kuantitatif: menggunakan test, angket, wawancara terstruktur, dan instrumen yang telah terstandar
2.Kualitatif: peneliti sebagai instrumen (human instrument) dimana peneliti harus memiliki daya responsif yang tinggi, memiliki sifat adaptable, memiliki kemampuan memandang obyek penelitiannya secara holistik, sanggup terus menerus menambah pengetahuan untuk menginterpretasi gejala, memiliki kemampuan klarifikasi, dan memiliki kemampuan merumuskan informasi sehingga menjadi bahan masukan bagi pengayaan konsep ilmu, buku catatan, tape recorder, camera, handycam dan lain-lain
k.Data
1.Kuantitatif: data bersifat kuantitatif, dimana hasil pengukuran variabel yang dioperasionalkan dengan menggunakan instrumen
2.Kualitatif: data berupa deskripsi kualitatif seperti, dokumen pribadi, catatan lapangan, ucapan dan tindakan responden, dokumen dan lain-lain

l.Analisis Data
1.Kuantitatif: dilakukan sesudah semua data terkumpul
2.Kualitatif: dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Dimana data dianalisis sejak awal pengumpulan data dengan mengadakan interpretasi untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Dan yang paling utama dari kedua Metode Penelitian ini adalah:
m.Kompetensi Peneliti
1.Kuantitatif:
•Memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang bidang yang akan diteliti
•Mampu melakukan analisis secara akurat
•Mampu menggunakan teori pendidikan yang tepat sehingga dapat digunakan untuk memperjelas masalah yang akan diteliti
•Memahami berbagai jenis metode kuantitatif, seperti metode survey, eksperimen, action research, expost facto, evaluasi, dan R&D.
•Memahami teknik-teknik sampling, dan mampu memilih dan menghitung sampling
•Mampu menyusun instrumen untuk mengukur berbagai variabel yang diteliti
•Mampu mengumpulkan data
•Mampu menyajikan data, menganalisis untuk menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesis, dan mampu meninterpretasikannya
•Mampu membuat laporan secara sistematis
•Mampu membuat abstraksi hasil penelitian, dan
•Mampu mengkomunikasikan hasil penelitian
2.Kualitatif:
•Memiliki wawasan yang luas tentang apa yang akan di teliti
•Mampu menciptakan rapport ( membangun hubungan yang akrab) kepada setiap orang yang ada pada situasi sosial yang akan diteliti
•Memiliki kepekaan untuk melihat setiap gejala yang ada pada objek penelitian
•Mampu menggali sumber data
•Mampu menganalisis data secara induktif secara berkesinambungan
•Mampu menguji kredibilitas, dependabilitas, konfirmabilitas, dan transferabilitas hasil penelitian
•Mampu menghasilkan temuan pengetahuan, mengkonstruksi fenomena, hipotesis atau ilmu baru
•Mampu membuat laporan secara sistematis
•Mampu membuat abstraksi hasil penelitian
•Mampu mengkomunikasikan hasil penelitian (dihimpun dari Arikunto:2006, Emzir:2009, dan Sugiyono:2009)


Daftar Pustaka

1.Arikunto, Suharsimi : Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta: 2006.
2.Domu, Ichdar : Bahan Kuliah Metodologi Penelitian, Program Studi Manajemen Pendidikan Pasca Sarjana Universitas Negeri Manado: 2009.
3.Emzir : Metodologi Penelitian Pendidikan, Kuantitatif dan Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2009.
4.Sugiyono : Metodologi Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta, Bandung: 2009.
MENGENAL METODE PENELITIAN KUALITATIF (KUALITATIF RESEARCH)
Oleh: Hayatuddin Fataruba

Di dalam ilmu alam berbagai masalah pokok didasarkan pada kenyataan obyek yang dapat dilihat di luar diri kita dan bebas sebagai fakta objektif. Kenyataan ini sangat berbeda halnya dengan ilmu sosial budaya yang memusatkan studinya pada realitas sebagai produk pikir manusia dengan segala subjektivitas emosi serta nilai-nilai yang dianutnya. Fenomena sosial dan perilaku manusia pada dasarnya hanya ada dalam pikiran manusia. Realitas tersebut terikat oleh interaksi dialektis antara subyek dan obyek. Sehingga mengenal pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif akan lebih mempermudah kita untuk memahami karakteristik metodologi penelitian keduanya.
Penggunaan metodologi penelitian kualitatif berbeda dengan penggunaan metodologi penelitian kuantitif bukan sekedar karena menghadapi perbedaan “subjek matter” atau karena disiplin ilmu yang berbeda, tetapi secara mendasar karena perbedaan keyakinan keilmuan yang bersumber pada penggunaan paradigma berpikir yang berbeda (Smith:1984) dalam (Paul C. Cozby:2009).
Penelitian kualitatif atau penelitian eksploratif lebih bersifat studi kasus, yakni peneliti menelusuri secara mendalam (in-depth) tentang program, kejadian, aktivitas, dan proses yang dipermasalahkan (Domu:2009).
Sehingga apabila dibandingkan dengan penelitian kuantitatif, maka penelitian kualitatif agak berbeda dalam hal ciri-ciri maupun logika penelitiannya. Penelitian kualitatif (Domu:2009) memiliki ciri-ciri antara lain: menggunakan paradigma kontruktivisme (bahwa realitas dibangun/dikontruktsi dalam suatu konteks dan kehidupan sosial, bersifat eksploratif, teori lahir dan berkembang di lapangan, proses berulang-ulang, pembahasan lebih bersifat kasus, dan mengandalkan kecermatan dalam pengumpulan data untuk mengungkap secara tepat keadaan yang sesungguhnya di lapangan.
Logika penelitian kualitatif juga memiliki struktur yang agak berbeda. Dalam pola siklus logika penelitian kualitatif terstruktur, bahwa penelitian kualitatif cenderung tidak/kurang berminat terhadap hipotesa. Kalaupun dalam suatu penelitian kualitatif dikemukakan suatu hipotesa, maka hipotesa ini sama sekali tidak mengikat. Artinya hipotesis dapat diubah rumusannya setelah peneliti berada di lapangan atau mungkin hipotesa ini akan dibuang sama sekali. Tidak menjadi persoalan apakah hipotesis diterima (diperkuat dengan bukti/data lapangan) ataukah ditolak (tidak memperoleh penguatan/bukti data lapangan), yang lebih dipentingkan dalam hubungan ini adalah kejelasan tentang tingkat signifikasi dari penerimaan/penolakan tersebut serta keterangan atau catatan peneliti walau agak bersifat spekulatif tentang alasan kenapa hipotesa tersebut diterima atau ditolak.
Dalam penelitian kualitatif ini, setelah peneliti memiliki topik atau persoalan tertentu untuk diteliti, maka tahap yang harus segera dilakukan berikutnya adalah menyusun pertanyaan-pertanyaan. Untuk kepentingan ini, peneliti harus memperhatikan betul fokus dari minat sebenarnya yang hendak diteliti. Sesudah itu peneliti menuju lapangan penelitian untuk mengumpulkan data. Karena penelitian kualitatif umumnya bersifat deskriptif, yakni berusaha hendak melukiskan gejala atau hubungan gejala-gejala yang dijumpai di lapangan, maka pertanyaan lebih banyak berstatement “bagaimana”. Ketika peneliti mulai melakukan observasi di lapangan inilah, peneliti mulai mengetahui pertanyaan-pertanyaan apa yang benar-benar relevan dengan maksud dan tujuan penelitian dan mana yang tidak relevan. Sehingga dari sinilah peneliti bisa merubah, membuang, menambah pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dalam berbagai hal sebenarnya ini merupakan penyimpangan dari proposal yang telah dibuat.
Pada penelitian kualitatif, model penelitiannya meliputi antara lain:
1.Etnografi; memusatkan pada kajian latar (setting) penelitian tunggal, yaitu budaya atau konteks yang asing atau bukan konteks penelitiannya.
Dalam perkembangannya muncul Etnometodologi,yaitu etnografi yang diarahkan pada studi mengenal masyarakat yang juga bagian dari masyarakat modern seperti yang dimiliki penelitinya.
2.Mikroetnografi; merupakan pendekatan etnografi tetapi sasarannya sangat terbatas, misalnya pada konteks yang sangat kecil atau khusus
3.Studi Kasus; membatasi studi pada kekhususan konteks dengan karakteristik dan keterbatasannya (wilayah)
Model ini terbagi dalam dua model utama dengan dua variasi, yakni Model Studi Kasus Tunggal (bilamana kasusnya hanya satu) dan Model Studi Kasus Ganda (bila kasusnya lebih dari satu), dan Variasi Holistik dan Variasi Terpancang. Sehingga dapat disebut Kasus Tunggal Holistik dan Kasus Ganda Holistik, serta Kasus Tunggal terpancang dan Kasus Ganda Terpancang.
Perbedaan antara Variasi Holistik dan Variasi Terpancang adalah:
•Bilamana kita sudah menentukan variabel utama yang akan menjadi fokus studi pada saat menyusun proposal, maka studi tersebut merupakan kasu terpancang
•Sebaliknya pada kasus holistik, fokus studi akan ditentukan setelah peneliti menelusuri cukup lama di lapangan studi dan menemukan hal yang sangat menarik dan dipandang sebagai sangat penting untuk dijadikan fokus dalam laporannya.

4.Pendekatan Kritik; yaitu studi yang mengungkap makna sesuatu (karya,peristiwa,atau kondisi sesuatu) dengan menggunakan pendekatan yang menggunakan struktur kritik seni.
Namun yang unik dalam penelitian kualitatif adalah ketidak terpisahkan antara pengumpulan data, pengolahan data, dengan analisis data. Artinya data diolah dan dianalisis tanpa menunggu terkumpulnya seluruh data (yang otomatis berbeda dengan penelitian kuantitatif yang proses pengolahan data dilakukan sesudah seluruh data terkumpul). Pengolahan atau penyusunan data dan analisi data dilakukan sambil terus melakukan pengumpulan data sehingga peneliti memiliki kesempatan untuk terus-menerus memperbaiki dan menyempurnakan pertanyaan-pertanyaan.
Model analysis yang biasanya digunakan pada penelitian kualitatif ini meliputi:
1)Analysis Mengalir (jalinan), dimana tiga komponen analysis (reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan) dilakukan saling menjalin dalam proses pengumpulan data
2)Analysis interaktif, dimana reduksi dan sajian sementara dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data, dan bila pengumpulan data sudah berakhir maka tiga komponen analysis tersebut berinteraksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus
Sehingga dalam proses seperti ini, peneliti sangat disarankan untuk terus mencari literatur yang relevan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi. Hal ini penting untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti; apa yang telah ditemukan peneliti lain berkenaan dengan masala-masalah yang kini sedang diteliti (misalnya, apa yang telah diabaikan dalam literatur?, bagaimana peneliti berbeda sudut pandang/perspektif dengan peneliti lain sebagaimana kelihatan dalam literatur yang dibaca?) sehingga hal-hal seperti ini justru akan sangat berarti ketika peneliti hendak menuliskan atau menegaskan temuan-temuannya. Dengan kata lain hasil penelitian terdahulu sangat kontributif sepanjang penelitian masih dalam proses, dan akan kelihatan jelas bahwa peneliti sangat dituntut untuk senantiasa mengulang/memperbaharui pertanyaan-pertanyaan, pengumpulan data, mengolah data, menganalisis data, sambil terus memeriksa literatur-literatur (sesuatu yang tidak terjadi dalam penelitian kuantitatif), dan proses ini akan berhenti pada titik dimana ketiak peneliti telah merasa cukup memperoleh atau mencapai tujuan-tujuannya.
Dari struktur logika sebagaimana diuraikan diatas.

A.Masalah, Fokus, dan Teori dalam Penelitian Kualitatif

Di dalam ilmu alam berbagai masalah pokok didasarkan pada kenyataan obyek yang dapat dilihat di luar diri kita dan bebas sebagai fakta objektif. Kenyataan ini sangat berbeda halnya dengan ilmu sosial budaya yang memusatkan studinya pada realitas sebagai produk pikir manusia dengan segala subjektivitas emosi serta nilai-nilai yang dianutnya. Fenomena sosial dan perilaku manusia pada dasarnya hanya ada dalam pikiran manusia. Realitas tersebut terikat oleh interaksi dialektis antara subyek dan obyek. Sehingga mengenal pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif akan lebih mempermudah kita untuk memahami karakteristik metodologi penelitian keduanya.
Setiap penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif selalu berangkat dari masalah. Hanya bedanya, kalau dalam penelitian kuantitatif masalah yang akan dipecahkan melalui penelitian harus jelas, spesifik, dan dianggap tidak berubah. Sedangkan pada penelitian kualitatif masalah yang dibawa peneliti masih kompleks, dinamis, dan belum jelas, sehingga masalahnya masih bersifat sementara, tentative, dan akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada di lapangan.
Dalam penelitian kualitatif, akan terjadi tiga kemungkinan terhadap masalah yang dibawa peneliti dalam penelitian. Yang pertama, masalah yang dibawa peneliti tetap sehingga sejak awal sampai akhir penelitian akan sama. Yang kedua, masalah yang dibawa peneliti setelah memasuki penelitian berkembang yaitu memperluas atau memperdalam masalah yang telah disiapkan. Yang ketiga, masalah yang dibawa peneliti setelah memasuki lapangan berubah total, sehingga harus ganti masalah.
Dalam pandangan penelitian kualitatif, gejala bersifat holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan), sehingga peneliti kualitatif tidak menetapkan penelitiannya hanya berdasarkan variabel penelitian, tapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti yang meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono:2009).
Karena terlalu luasnya masalah, maka batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum. Dalam mempertajam penelitian, peneliti kualitatif menetapkan fokus. Spradley dalam Sugiyono (2009), menyatakan bahwa: “a focused refer to a single cultural domain or a few related domains”. ( Bahwa fokus itu merupakan domain tunggal atau beberapa domain yang terkait dari situasi sosial. Sehingga penentuan fokus dalam proposal lebih didasarkan pada tingkat perkembangan informasi yang akan diperoleh di lapangan).
Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa oleh peneliti masih bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penyusunan proposal penelitian kualitatif juga masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau konteks sosial, sehingga dalam penelitia kualitatif bukan lagi menguji teori sebagaimana yang ditemui pada penelitian kuantitatif, tetapi sudah bersifat menemukan teori. Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam. Sehingga peneliti kualitatif dituntut dapat menggali data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh partisipan atau sumber data. Oleh karena itu penelitian kualitatif jauh lebih sulit dibandingkan penelitian kuantitatif, karena peneliti kualitatif harus berbekal teori yang luas sehingga mampu menjadi “human instrumen” yang baik, karena data yang terkumpul bersifat subjektif dan instrumen sebagai alat pengumpul data adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu landasan teori yang dikemukakan dalam proposal penelitian tidak merupakan harga mati karena lebih berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh peneliti memiliki teori dan memahami permasalahan yang diteliti walaupun permasalahan tersebut masih bersifat sementara.
Peneliti kualitatif justru dituntut untuk melakukan grounded research, yaitu mengembangkan teori secara induktif guna memperoleh teori dasar tentang suatu fenomena (Domu:2009). Juga peneliti kualitatif harus bersifat “perspektif emic” artinya memperoleh data bukan sebagaimana seharusnya atau berdasarkan apa yang difikirkan oleh peneliti, tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan, dan difikirkan oleh sumber data (Sugiyono:2009)

B.Model Penelitian

Model Penelitian Kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Smith (1984) dalam Paul C. Cozby (2009): penggunaan metodologi penelitian kualitatif berbeda dengan penggunaan metodologi penelitian kuantitatif bukan sekedar karena menghadapi perbedaan “subjek matter” atau karena disiplin ilmu yang berbeda, tetapi secara mendasar karena perbedaan keyakinan keilmuan yang bersumber pada penggunaan paradigma berpikir yang berbeda
Lebih jauh dikemukakan Domu (2009) bahwa penelitian kualitatif atau penelitian eksploratif lebih bersifat studi kasus, yakni peneliti menelusuri secara mendalam (in depth) tentang program, kejadian, aktivitas, dan proses yang dipermasalahkan
Pada penelitian kualitatif, model penelitiannya meliputi antara lain:
5.Etnografi; memusatkan pada kajian latar (setting) penelitian tunggal, yaitu budaya atau konteks yang asing atau bukan konteks penelitiannya.
Dalam perkembangannya muncul Etnometodologi,yaitu etnografi yang diarahkan pada studi mengenal masyarakat yang juga bagian dari masyarakat modern seperti yang dimiliki penelitinya.
6.Mikroetnografi; merupakan pendekatan etnografi tetapi sasarannya sangat terbatas, misalnya pada konteks yang sangat kecil atau khusus
7.Studi Kasus; membatasi studi pada kekhususan konteks dengan karakteristik dan keterbatasannya (wilayah)
Model ini terbagi dalam dua model utama dengan dua variasi, yakni Model Studi Kasus Tunggal (bilamana kasusnya hanya satu) dan Model Studi Kasus Ganda (bila kasusnya lebih dari satu), dan Variasi Holistik dan Variasi Terpancang. Sehingga dapat disebut Kasus Tunggal Holistik dan Kasus Ganda Holistik, serta Kasus Tunggal terpancang dan Kasus Ganda Terpancang.
Perbedaan antara Variasi Holistik dan Variasi Terpancang adalah:
•Bilamana kita sudah menentukan variabel utama yang akan menjadi fokus studi pada saat menyusun proposal, maka studi tersebut merupakan kasu terpancang
•Sebaliknya pada kasus holistik, fokus studi akan ditentukan setelah peneliti menelusuri cukup lama di lapangan studi dan menemukan hal yang sangat menarik dan dipandang sebagai sangat penting untuk dijadikan fokus dalam laporannya.
8.Pendekatan Kritik; yaitu studi yang mengungkap makna sesuatu (karya,peristiwa,atau kondisi sesuatu) dengan menggunakan pendekatan yang menggunakan struktur kritik seni.
Namun yang unik dalam penelitian kualitatif adalah ketidak terpisahkan antara pengumpulan data, pengolahan data, dengan analisis data. Artinya data diolah dan dianalisis tanpa menunggu terkumpulnya seluruh data (yang otomatis berbeda dengan penelitian kuantitatif yang proses pengolahan data dilakukan sesudah seluruh data terkumpul). Pengolahan atau penyusunan data dan analisi data dilakukan sambil terus melakukan pengumpulan data sehingga peneliti memiliki kesempatan untuk terus-menerus memperbaiki dan menyempurnakan pertanyaan-pertanyaan.
Model analysis yang biasanya digunakan pada penelitian kualitatif ini meliputi:
3)Analysis Mengalir (jalinan), dimana tiga komponen analysis (reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan) dilakukan saling menjalin dalam proses pengumpulan data
4)Analysis interaktif, dimana reduksi dan sajian sementara dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data, dan bila pengumpulan data sudah berakhir maka tiga komponen analysis tersebut berinteraksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus
Sehingga dalam proses seperti ini, peneliti sangat disarankan untuk terus mencari literatur yang relevan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi. Hal ini penting untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti; apa yang telah ditemukan peneliti lain berkenaan dengan masala-masalah yang kini sedang diteliti (misalnya, apa yang telah diabaikan dalam literatur?, bagaimana peneliti berbeda sudut pandang/perspektif dengan peneliti lain sebagaimana kelihatan dalam literatur yang dibaca?) sehingga hal-hal seperti ini justru akan sangat berarti ketika peneliti hendak menuliskan atau menegaskan temuan-temuannya. Dengan kata lain hasil penelitian terdahulu sangat kontributif sepanjang penelitian masih dalam proses, dan akan kelihatan jelas bahwa peneliti sangat dituntut untuk senantiasa mengulang/memperbaharui pertanyaan-pertanyaan, pengumpulan data, mengolah data, menganalisis data, sambil terus memeriksa literatur-literatur (sesuatu yang tidak terjadi dalam penelitian kuantitatif), dan proses ini akan berhenti pada titik dimana ketiak peneliti telah merasa cukup memperoleh atau mencapai tujuan-tujuannya.

C.Populasi dan Sampel

Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley (dalam Sugiyono:2009) dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen, yakni tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis.
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari (Sugiyono:2009). Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan, dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif juga bukan disebut sampel statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Sampel dalam penelitian kualitatif juga disebut sebagai sampel konstruktif, karena dengan sumber data dari sampel itu dapat dikonstruksikan fenomena yang semula masih belum jelas (Sugiyono:2009). Sehingga penentuan sumber data dilakukan secara purposive, yakni dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu dan hasil penelitiannya tidak digeneralisasikan ke populasi karena sampel tidak diambil secara random.
Teknik sampling yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah: purpose sampling yakni teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, dan snowball sampling yakni teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit yang kemudian lama-lama menjadi besar. Oleh karena itu Lincoln dan Guba (1985) dalam Sugiyono (2009) mengemukakan bahwa dalam penelitian naturalistic, spesifikasi sampel tidak dapat ditentukan sebelumnya seperti pada penelitian konvensional. Sehingga pada purpose sampling, ciri-ciri khusus sampelnya antara lain: a) emergent sampling design (sementara), b) serial selection of sample units (menggelinding seperti bola salju/snow ball), c) continuous adjustment or focusing of the sample (disesuaikan dengan kebutuhan), d) selection to the point of redundancy (dipilih sampai jenuh).

D.Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri, sehingga penelitipun harus divalidasi, yakni validasi terhadap pemahaman peneliti tentang metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya. Sebagai human instrument, maka peneliti yang menetapkan fokus penelitian sendiri, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menganalisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting (natural setting, metode eksperimen,diskusi,responden), berbagai sumber (sumber primer, dan sekunder), dan berbagai cara (observasi, interview, kuesioner, dokumentasi, atau gabungan/triangulasi)
Untuk pengumpulan data dengan observasi, Sanafiah Faisal (1990) dalam Sugiyono (2009) mengklasifikasikan observasi menjadi: observasi berpartisipasi (participant observation), observasi yang secara terang-terangan dan tersamar (overt observation and covert observation), dan observasi yang teak berstruktur (unstructured observation). Selanjutnya masih dalam Sugiyono, Spradley dalam Susan Stainback (1988) membagi observasi berpartisipasi menjadi empat: passive participation, moderate participation, active participation, dan complete participation.

E.Teknik Analisa Data

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Oleh karena proses analisis data dilakukan sebelum berada di lapangan, analisis selama berada di lapangan dalam bentuk data reduction kemudian data di display, verifikasi data (model Miles and Huberman), menganalisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema budaya (model Spradley), sampai diperoleh data jenuh. Dengan pengamatan yang terus menerus tersebut mengakibatkan variasi data tinggi sekali dan datanya masih bersifat kualitatif sehingga teknik analisis data yang digunakan belum ada polanya yang jelas.. Oleh karena itu sering mengalami kesulitan dalam melakukan analisis. Sehingga Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2009) menyatakan bahwa: yang paling serius dan sulit dalam analisis data kualitatif adalah karena, metode analisis belum dirumuskan dengan baik. Namun Bogdan, Susan Stainback, dan Spradley dalam Sugiyono (2009) sepakat bahwa dalam hal analisis data kualitatif, maka data dari hasil dari wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan temuan lainnya disusun secara sistematis dan mengorganisasikan, menentukan bagian-bagian, hubungan antar bagian, dan hubungannya dengan keseluruhan serta menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat dipahami oleh peneliti sendiri maupun untuk diceritakan kepada orang lain.
Jadi data kualitatif bersifat induktif yakni suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Lalu dengan hipotesis yang telah dirumuskan tersebut, dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan apakah hipotesis diterima atau ditolak. Bila berdasarkan data yang telah dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi tersebut ternyata hipotesisnya diterima, maka hipotesis ini kemudian akan berkembang menjadi teori.

F.Validitas dan Reliabilitas

Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (kebenaran realitas data bersifat jamak dan tergantung pada kemampuan mengkonstruksi fenomena yang diamati).
Uji keabsahan data pada penelitian ini meliputi:
•uji credibility (validitas internal), uji ini dilakukan dengan cara antara lain: perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi (triangulasi sumber, triangulasi teknik, triangulasi waktu), analisis kasus negatif, dan menggunakan bahan referensi.
•uji transferability (validitas eksternal), validitas ini menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi dimana sampel tersebut diambil
•uji dependability (reliabilitas), uji ini dilakukan untuk mengaudit seluruh proses penelitian, baik peneliti, data, hasil, dan lokasi penelitian untuk mengetahui apakah aktivitas penelitian benar-benar dependability, dan
•confirmability (obyektivitas), uji ini dilakukan untuk mengetahui obyektivitas penelitian (hasil penelitian dikaitkan dengan proses yang dilakukan).

Daftar Pustaka

1.Arikunto, Suharsimi : Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta: 2006.
2.Domu, Ichdar : Bahan Kuliah Metodologi Penelitian, Program Studi Manajemen Pendidikan Pasca Sarjana Universitas Negeri Manado: 2009.
3.Emzir : Metodologi Penelitian Pendidikan, Kuantitatif dan Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2009.
4.Sugiyono : Metodologi Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta, Bandung: 2009.

Selasa, 28 September 2010

KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU

Kompetensi Pedagogik Guru dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Oleh: Hayatuddin Fataruba
Menurut Lefrancois (Jamal:2009) kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar.
Menurut Achsan (Kunandar:2007) kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Menurut Piet dan Ida Sahertian (Kunandar:2007) kompetensi adalah kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang bersifat kognitif, afektif, dan performance.
Kepmendiknas 045/U/2002 menyebutkan bahwa kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu.
Sehingga dari berbagai definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa; Kompetensi adalah kemampuan seseorang berupa pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan-latihan baik secara kognitif, afektif, dan performance sebagai syarat untuk dianggap mampu dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik secara cerdas dan dapat dipertanggung jawabkan
Guru sebagaimana diuraikan dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam memaknai kompetensi guru, sebagaimana dikemukakan oleh Surya (seminar sehari 6 Mei 2005) yang dikutip dalam Kunandar (2007), adalah seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif. Kompetensi guru tersebut meliputi; (1) kompetensi intelektual, yaitu berbagai perangkat pengetahuan yang ada dalam diri individu yang diperlukan untuk menunjang berbagai aspek kinerja sebagai guru, (2) kompetensi fisik, yaitu perangkat kemampuan fisik yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan tugas sebagai guru dalam berbagai situasi, (3) kompetensi pribadi, yaitu perangkat perilaku yang berkaitan dengan kemampuan individu dalam mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri untuk melakukan transformasi diri, identitas diri, dan pemahaman diri, (4) kompetensi sosial, yaitu perangkat perilaku tertentu yang merupakan dasar dari pemahaman diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta tercapainya interaksi sosial secara efektif, (5) kompetensi spiritual, yaitu pemahaman, penghayatan, serta pengamalan kaidah-kaidah keagamaan.
Sehingga Soedijarto (2005) dalam Kunandar (2007), menyebutkan bahwa kompetensi guru meliputi: (1) merancang dan merencanakan program pembelajaran, (2) mengembangkan program pembelajaran, (3) mengelola pelaksanaan program pembelajaran, (4) menilai proses dan hasil pembelajaran, dan (5) mendiagnosis faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran.
Menurut Soedijarto (2005) dalam Kunandar (2007), kompetensi guru meliputi: (1) merancang dan merencanakan program pembelajaran, (2) mengembangkan program pembelajaran, (3) mengelola pelaksanaan program pembelajaran, (4) menilai proses dan hasil pembelajaran, dan (5) mendiagnosis faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran.
Selanjutnya Piet A. Sahertian dan Ida Sahertian (1990) dalam Kunandar (2007) mengungkapkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki guru dalam mengelola pembelajarannya antara lain: (1). kemampuan menguasai bahan pelajaran yang disampaikan, (2). kemampuan mengelola program belajar mengajar, (3). kemampuan mengelola kelas, (4). kemampuan menggunakan media/sumber belajar, (5). kemampuan menguasai landasan-landasan pendidikan, (6). kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar, (7). kemampuan menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, (8). kemampuan mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan, (9). kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi pendidikan, (10). kemampuan memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian guna keperluan mengajar.
Sedangkan kompetensi Guru sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, yakni seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Selanjutnya pada Bab IV Pasal 10 Ayat 1 dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 disebutkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional (yang diperoleh melalui pendidikan profesi), dan kompetensi sosial
a. Kompetensi kepribadian adalah, kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi ini meliputi: a). kepribadian yang mantap dan stabil, b). kepribadian yang dewasa, c). kepribadian yang arif, d). kepribadian yang dewasa, e). berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan
b. Kompetensi pedagogik adalah, kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Kompetensi ini meliputi: a). memahami peserta didik secara mendalam, b). merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pem- belajaran, c). melaksanakan pembelajaran, d). merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran, e). mengembangkan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya
c. Kompetensi profesional adalah, kemampuan penguasaan mata pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi ini meliputi: a). menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi, b). menguasai struktur dan metode keilmuan.
d. Kompetensi sosial adalah, kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini meliputi: a). mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, b). mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan, c). mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua atau wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Sehingga apabila dilihat dari komponen-komponen kompetensi guru yang merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru sebagaimana dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dijabarkan di atas lalu dihubungkan dengan keempat kompetensi guru yang dijabarkan dalam UUGD tersebut, maka komponen-komponen kompetensi yang diuraikannya lebih mengarah kepada kompetensi pedagogik. Namun isi rincian kompetensi pedagogik yang diuraikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni dalam Akhmad Sudrajat (2009) sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa kompetensi pedagogik merupakan competency based guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya, karena kompetensi ini merupakan ciri khas seorang guru.
Sangat mungkin tiga kompetensi yang lain, yaitu kepribadian, profesional, dan sosial juga merupakan syarat bagi profesi lain, namun tidak demikian halnya kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik hanya dituntut pada profesi guru. Ujung akhir dari kompetensi pedagogik adalah kemampuan dalam mengelola pembelajaran yang mendidik, namun untuk mencapai kemampuan itu seseorang harus memahami karakteristik peserta didik, karakteristik materi yang diajarkan, dan juga arah (filosofi) pendidikan yang sedang dilaksanakan (Muchlas Samani dkk, 2006).
Menurut Proyek Pembinaan Pendidikan Guru (P3G) Departemen Pendidikan Nasional, kompetensi pedagogik guru meliputi: (1). Kemampuan menguasai bahan ajar, (2). Kemampuan mengelola program belajar mengajar, (3). Kemampuan mengelola kelas, (4). Kemampuan menggunakan media/sumber belajar, (5). Kemampuan menguasai landasan-landasan pendidikan, (6). Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar, (7). Kemampuan menilai prestasi siswa untuk pendidikan dan pengajaran, (8). Kemampuan mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan konseling, (9). Kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi pendidikan, dan (10). Kemampuan memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian guna keperluan pengajaran (Udin Saefudin Saud:2009).
Sedangkan Kompetensi pedagogik sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 14 tahun 2005, adalah: pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi Pedagogik Guru (Undang-Undang nomor 14 tahun 2005) yang dikembangkan oleh Direktorat Ketenagaan Dirjen Dikti dan Direktorat Profesi Pendidik Ditjen PMPTK Depdiknas, dalam Kunandar (2007) dan dijabarkan dalam Muchlas Samani dkk (2006) ini meliputi:
1. Subkompetensi memahami karakteristik peserta didik, yang meliputi indikator:
a. Memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif
b. Memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian
c. Mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik
2. Subkompetensi merancang pembelajaran
Kemampuan merencanakan program belajar mengajar bagi profesi guru sama dengan kemampuan mendesain bangunan bagi seorang arsitek. Untuk dapat membuat perencanaan belajar mengajar, guru terlebih dahulu harus mengetahui arti dan tujuan perencanaan tersebut, serta menguasai secara teoritis dan praktis unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, kemampuan merencanakan program belajar mengajar merupakan muara dari segala pengetahuan teori, ketrampilan dasar, dan pemahaman yang mendalam tentang objek belajar dan situasi pengajaran. Makna atau arti perencanaan atau program belajar mengajar tidak lain adalah suatu proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pengajaran itu berlangsung. Dalam kegiatan tersebut secara terperinci harus jelas ke mana siswa itu akan dibawa (tujuan), apa yang harus dipelajari (isi bahan pelajaran), bagaimana cara mempelajarinya (metode dan teknik), dan bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapainya (penilaian). Tujuan, isi, metode, dan teknik serta penilaian merupakan unsur-unsur utama yang secara minimal harus ada dalam setiap program belajar mengajar. Tujuan perencanaan atau program belajar mengajar tidak lain sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan praktik atau tindakan mengajar.
Dengan demikian, apa yang dilakukan guru pada waktu mengajar di depan kelas semestinya bersumber kepada program yang telah disusun sebelumnya (Udin Saefudin Saud:2009). Subkompetensi ini meliputi indikator:
a. Memahami landasan pendidikan
b. Menerapkan teori belajar dan pembelajaran
c. Menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik
d. Menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan berdasarkan strategi yang telah dipilih
3. Subkompetensi melaksanakan pembelajaran
Melaksanakan atau mengelola kegiatan belajar mengajar merupakan tahap pelaksanaan dari program yang telah dibuat. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, kemampuan yang dituntut adalah kreativitas guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun dalam perencanaan. Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar mengajar dihentikan, ataukah dirubah metodenya, apakah mengulang dulu pelajaran yang lalu, manakala siswa belum dapat mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Pada tahap ini, disamping pengetahuan-pengetahuan teori tentang belajar mengajar, tentang siswa, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan teknis mengajar. Misalnya prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, keterampilan menilai hasil belajar siswa, keterampilan memilih dan menggunakan strategi atau pendekatan mengajar. Untuk itu, tidak cukup dengan menguasai landasan teori mengenai belajar dan mengajar saja, tetapi yang sangat penting adalah pengalaman praktik yang intensif (Udin Saefudin Saud:2009). Subkompetensi melaksanakan pembelajaran ini meliputi indikator:
a. Menata latar (setting) pembelajaran
b. Melaksanakan pembelajaran yang kondusif
4. Sub kompetensi mengevaluasi hasil belajar
Setiap guru harus dapat melakukan penilaian tentang kemajuan yang telah dicapai oleh siswa, baik secara iluminatif-observatif maupun secara struktural-objektif. Penilaian iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan yang terus menerus tentang perubahan dan kemajuan yang telah dicapai oleh siswa. Penilaian struktural-objektif berhubungan dengan pemberian skor, angka, atau nilai yang biasa dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa. Sungguhpun masih banyak kekurangan dan kelemahan, penilaian cara yang kedua telah biasa digunakan oleh guru. Namun, penilaian cara yang pertama masih belum biasa digunakan oleh guru disebabkan kemampuan dan kesadaran akan pentingnya penilaian tersebut belum membudaya (Udin Saefudin Saud:2009). Sub kompetensi mengevaluasi hasil belajar ini meliputi indikator:
a. Merencanakan dan melaksanakan penilaian (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode
b. Menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning)
c. Menggunakan informasi ketuntasan belajar untuk merancang program remedi atau pengayaan (enrichment)
d. Memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum
5. Subkompetensi mengembangkan potensi peserta didik, yang meliputi indikator:
a. Memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi akademik
b. Memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non akademik
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kompetensi Pedagogik Guru
Dalam proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah, kompetensi kepala sekolah, kesiapan sarana prasarana, ketersediaan dana, dan program yang telah direncanakan, adalah faktor-faktor yang turut berperan dalam meningkatkan produktivitas lembaga pendidikan di sekolah tersebut. Tetapi faktor yang paling esensial di dalam proses pendidikan adalah manusia yang ditugasi dengan pekerjaan untuk menghasilkan perubahan yang telah direncanakan pada anak didik. Hal ini adalah esensi dan hanya dapat dilakukan oleh sekelompok manusia profesional, yaitu manusia-manusia yang memiliki kompetensi mengajar (Wahjosumidjo:2007)
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pemicu tinggi rendahnya kompetensi guru ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Gibson et.al. (1985) dikutip Sumiati dalam Ridwan (2009:134-135), ada tiga kelompok variabel sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kinerja dan potensi individu dalam organisasi, yaitu: Pertama, variabel individu yang meliputi: (a) kemampuan/ketrampilan, (b) latar belakang (keluarga, tingkat sosial, pengalaman). Kedua, variabel organisasi yang meliputi: (a) sumber daya, (b) kepemimpinan, (c) imbalan, (d) struktur, (e) desain pekerjaan. Ketiga variabel individu (psikologis) yang meliputi: (a) mental/intelektual, (b) persepsi, (c) sikap, (d) kepribadian, (e) belajar, (f) motivasi.
Selanjutnya Sutermeister (1976) dikutip Ety Sukaetini dalam Ridwan (2009:256), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang sangatlah kompleks, diantaranya: latihan dan pengalaman kerja, pendidikan, sikap kepribadian, organisasi, para pemimpin, kondisi sosial, kebutuhan individu, kondisi fisik tempat kerja, kemampuan, motivasi kerja, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Akhmad Sudrajat: http//www.akhmadsudrajat.com.entri:2007. Kunjungan 10 Juli 2010: 21.30 WITA
2. Jamal Ma’mur Asnawi: 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional: Powerbook Publishing (IHDINA) Jogjakarta: 2009
3. Kepmendiknas Nomor 045/U/2002
4. Kunandar: Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru: Rajawali Press Jogjakarta: 2007
5. Muchlas Samani: Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia: SIC dan Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia: 2006
6. Ridwan: Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian: Alfabeta Bandung: 2009
7. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
8. Udin Saefudin Saud: Pengembangan Profesi Guru: Rajawali Press Jogjakarta: 2009
9. Wahjosumidjo: Kepemimpinan Kepala Sekolah: Rajawali Press Jogjakarta: 2007

Sabtu, 03 Juli 2010

MENGUKUR KEBERHASILAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

MENGUKUR KEBERHASILAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
DARI REORIENTASI ORGANISASINYA DAN MACAM TUGAS YANG DILAKUKAN
OLEH: HAYATUDDIN FATARUBA

A. PENDAHULUAN

Kepemimpinan sebagai salah satu fungsi manajemen, merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan amat berat seolah-olah kepemimpinan dipaksa menghadapi berbagai macam faktor seperti: struktur atau tatanan, koalisi, kekuasaan, dan kondisi lingkungan organisasi. Sebaliknya, kepemimpinan rasanya dapat dengan mudah menjadi satu alat penyelesaian yang luar biasa terhadap persoalan apa saja yang sedang menimpa suatu organisasi. Dalam hal ini kepemimpinan dapat berperan di dalam melindungi beberapa isu pengaturan organisasi yang tidak tepat, seperti: distribusi kekuasaan yang menjadi penghalang tindakan yang efektif, kekurangan berbagai macam sumber, prosedur yang dianggap buruk (archaic procedure), dan sebagainya yaitu problem-problem organisasi yang lebih bersifat mendasar.
Oleh karena peranan sentral kepemimpinan dalam organisasi tersebut, dimensi-dimensi kepemimpinan yang bersifat kompleks perlu dipahami dan dikaji secara terkoordinasi, sehingga peranan kepemimpinan dapat dilaksanakan secara efektif.
Sekolah adalah salah satu lembaga pendidikan di tingkat mikro yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang sifat unik, menunjukkan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lain.
Karena sifatnya yang kompleks dan unik tersebutlah, sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah.
Kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
Dalam kehidupan moderen saat ini, makin terasa betapa penting peranan organisasi terhadap kepentingan manusia. Hal ini disamping akibat ketidakmampuan manusia secara fisik dan psikis dalam mencapai berbagai tujuan, juga akibat sifat keberadaan sebagai makhluk sosial yang selalu terdorong untuk bekerjasama dengan individu lain. Manusia disamping dikuasai oleh egonya, mereka akan merasa berbahagia apabila keberadaannya dapat diterima oleh lingkungannya, hidup bekerjasama dengan manusia lainnya.
Bentuk kerjasama antara sekelompok individu dengan berbagai macam ikatan dalam mencapai tujuan bersama itulah pada hakekatnya disebut sebuah organisasi. Kata organisasi selalu mengandung dua macam pengertian secara umum, yaitu menandakan (signifies) suatu lambang (institution) atau kelompok fungsional, dan yang lain mengandung arti proses pengorganisasian (process of organizing), dalam hal ini pekerjaan diatur dan dialokasikan di antara para anggota organisasi, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efisien. Sehingga James A.F stoner (1982) dalam Wahjosumidjo (2007) mengungkapkan bahwa organisasi dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan, alat untuk melindungi, atau melestarikan pengetahuan (preserving knowledge), dan organisasi dipandang sebagai sumber karier (organization as sources of carier). Lebih jauh dikatakan bahwa pengorganisasia sebagai satu proses berbagai langkah, yang meliputi:
1. Rincian seluruh pekerjaan yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan organisasi
2. Membagi seluruh beban kerja ke dalam rincian kegiatan yang dapat dilaksanakan (performed) secara logis dan menyenangkan oleh seseorang atau kelompok
3. Menyatukan atau menggabungkan pekerjaan anggota-anggota organisasi ke dalam satu cara yang logis dan efisien
4. Mengadakan (setting up) satu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan-pekerjaan anggota organisasi ke dalam satu keseluruhan yang bersatu (unified) dan harmonis
5. Mengendalikan efektifitas organisasi dan melakukan penyesuaian untuk memelihara dan meningkatkan efektifitas
Sekolah sebagai komponen mikro organisasi pendidikan, adalah organisasi yang kompleks dan unik, sehingga memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Oleh sebab itu, kepala sekolah selaku pemimpin organisasi pendidikan di tingkat mikro yang berhasil, apabila dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya tercapai tujuan sekolah sebagai organisasi, dan tujuan daripada individu yang ada di dalam lingkungan organisasi sekolah yang dipimpinnya, serta memahami dan menguasai peranan organisasi dan hubungan kerjasama antar individu.
Untuk membantu para kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di dalam mengorgani sasikan sekolah secara tepat, diperlukan pemahaman-pemahaman antara lain:
1. Adanya satu esensi pemikiran yang teoritis, seperti konsepsi struktur organisasi, hierarki, kewibawaan, dan mekanisme demi pencapaian, dan koordinasi di lingkungan sekolah
2. Perlu memahami teori organisasi formal yang akan bermanfaat untuk menggambarkan (depict) hubungan kerja sama antara struktur dan hasil (outcomes) sebuah sekolah
3. Untuk memahami dan mengantisipasi konflik, perlu memahami teori dimensi sosial (social system theory) agar mampu melakukan analisis terhadap kehidupan informal sekolah dan iklim atau suasana organisasi sekolah
Sehingga pemahaman pemimpin pendidikan di sekolah akan organisasi yang dipimpinnya, akan melahirkan kemampuannya untuk mendeteksi permasalahan-permasalahn yang terjadi dalam organisasinya. Menurut Richard H.Hall (1982), ada 4 (empat) macam tugas penting seorang pemimpin dalam kepemimpinannya:
1. Involves the definition of the institutional organizational mission and role (mendefinisikan misi dan peranan organisasi), dimana misi dan peranan organisasi hanya dapat dirumuskan atau didefinisikan sebaik-baiknya, apabila seorang pemimpin memahami lebih dahulu asumsi struktural sebuah organisasi dan fungsinya sebagai pemimpin, yaitu:
• Keberadaan organisasi terutama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
• Dalam kehidupan suatu organisasi terdapat satu struktur yang tepat untuk tujuan, lingkungan, teknologi, dan anggota
• Organisasi dapat bekerja paling efektif, apabila lingkungan pemegang jabatan dan pilihan pribadi dari para anggota didukung dengan norma-norma yang rasional
• Spesialisasi memungkinkan lingkup keahlian yang lebih tinggi dan penampilan pribadi
• Koordinasi dan pengendalian dicapai paling baik melalui pelaksanaan otoritas dan peraturan-peraturan yang impersonal
• Struktur dapat dirancang secara sistematik dan tepat dilaksanakan
• Problem organisasi biasanya mencerminkan adanya struktur yang tidak tetap dan dapat dipecahkan melalui rancangan ulang reorganisasi
2. The institutional embodiment of purpose (pengejawantahan tujuan organisasi)
Dalam fungsi ini, pemimpin harus menciptakan kebijaksanaan ke dalam tatanan atau keputusan terhadap sarana untuk mencapai tujuan yang direncanakan.
Tujuan suatu organisasi adalah untuk menghasilkan suatu barang atau pelayanan/jasa. Merupakan proyeksi dari apa yang diinginkan, dicapai, dihasilkan, dan diraih oleh suatu organisasi. Sehingga fungsi pengejawantahan tujuan organisasi berarti seorang pemimpin disamping paham tujuan dibentuknya organisasi juga memahami ciri-ciri organisasi sebagai sistem terbuka. Organisasi sebagai sistem terbuka atau sistem sosial berarti organisasi melibatkan orang yang pada akhirnya organisasi ini bergantung kepada usaha orang-orang tersebut untuk tampil atau berperilaku. Sebagai sistem terbuka, organisasi mentransformasikan manusia dan sumber-sumber fisik yang diterima sebagai input dari lingkungannya ke dalam barang-barang dan pelayanan yang akhirnya dikembalikan ke lingkungan sebagai konsumen.
3. To defend the organization’s integration (mempertahankan keutuhan organisasi)
Pemimpin mewakili organisasi kepada umum dan kepada stafnya, seperti mencoba untuk mengajak bawahan mengikuti keputusannya agar fungsi tersebut dapat dilaksanakan. Sehingga untuk hal tersebut, ada beberapa asumsi pokok yang perlu dipahami, sebagaimana dikemukakan Lee G. Bolman (1984) dalam Wahjosumidjo (2007), yaitu:
 Organisasi diadakan untuk membantu kebutuhan kemanusiaan, dan manusia ada bukan untuk membantu keperluan organisasi
 Organisasi dan manusia saling memerlukan. Organisasi perlu pemikiran, gagasan, energi, dan potensi, yang diberikan manusia. Sedangkan manusia perlu karier, gaji,dan kesempatan kerja yang diberikan organisasi
 Apabila keadaan yang sesuai yang diharapakan antara individu dan organisasi, adalah tidak baik (poor), satu diantaranya akan menderita. Akibatnya individu akan dieksploitasi, atau sebaliknya bergerak untuk mengeksploitasi organisasi, atau bisa saja kedua belah pihak saling mengeksploitasi
 Apabila terjadi kecocokan keadaan antara individu dan organisasi baik, kedua-keduanya aka memperoleh keuntungan (benefit). Individu mampu melaksanakan pekerjaan yang penuh arti dan memuaskan, membantu berbagai macam sumber yang diperlukan organisasi dalam mencapai tujuan.
4. The ordering of internal conflict (mengendalikan konflik internal yang terjadi di dalam organisasi)
Dalam kehidupan organisasi moderen, konflik tidak bisa dihindarkan. Organisasi yang didefinisikan sebagai hal yang bersifat kolektif, dibentuk untuk mencapai sasaran yang spesifik. Organisasi memiliki profil lain yang mencakup satu tatanan yang normatif (normative order), tingkatan aturan (authority ranks) sistem komunikasi, dan incentive system.
Konflik dalam organisasi dapat bersumber pada faktor internal, seperti struktur organisasi yang tidak tepat, sumberdaya manusia dan sebagainya, disamping faktor eksternal, yaitu adanya macama-macam perubahan dan perkembangan, seperti lingkungan, teknologi, organisasi, suasana politik, dan kepimpinan. Akibat faktor-faktor tersebut, seorang pemimpin harus mampu mengantisipasi serta mengendalikannya sehingga konflik dapat ditertibkan. Untuk itu seorang pemimpin harus berusaha untuk mengerti dan mempelajari segi-segi yang berkaitan dengan konflik, seperti proses terjadinya konflik, gaya manajemen konflik, serta peranan kepemimpinan dalam mengatasi konflik.
Sehingga perlu disadari oleh para pemimpin, di dalam kehidupan organisasi moderen telah menjadi lebih kompleks, terjadi berbagai macam spesialisasi, pengelompokan (segmented). Sehingga keadaan ini menyebabkan lebih sulit memelihara kesatuan organisasi. Oleh sebab itu, tanpa koordinasi dan kontrol yang tepat, maka organisasi akan menjadi terpecah-pecah, terpenggal-penggal (fragmented) dan tidak efektif. Dengan demikian betapa pentingnya peranan seorang pemimpin untuk mempertahankan keutuhan organisasinya.
Kepemimpinan adalah suatu kekuatan penting dalam rangka pengelolaan, oleh sebab itu kemampuan memimpin secara efektif merupakan kunci keberhasilan organisasi. Karena esensi kepemimpinan adalah kepengikutan kemauan orang lain untuk mengikuti keinginan pemimpin, maka kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu:
1. Menimbulkan kemauan yang kuat dengan penuh semangat dan percaya diri para bawahan dalam melaksanakan tugas masing-masing
2. Memberikan bimbingan dan mengarahkan para bawahan serta memberikan dorongan, memacu dan berdiri di depan demi kemajuan dan memberikan inspirasi dalam mencapai tujuan
3. Menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan yang bersifat memaksa atau bertindak keras
4. Mampu melakukan tindakan yang melahirkan kemauan untuk bekerja dengan semangat dan percaya diri yang tinggi
5. Mampu membujuk bawahan, sehingga bawahan yakin apa yang dilakukan adalah benar (induce)
Sehingga keberhasilan kepemimpinan pada hakikatnya berkaitan dengan tingkat kepedulian seorang pemimpin terlibat terhadap kedua orientasi, yaitu apa yang telah dicapai oleh organisasi (organizational achievement) dan pembinaan terhadap organisasi (organizational maintenance) (Lee G. Bolman and Terrence E. Deal) dalam Wahjosumidjo (1983).
1. Organizational achievement, mencakup produksi, pendanaan, kemampuan adaptasi dengan program-program inovatif, dan sebagainya. Dengan pendekatan ini, keberhasilan seorang pemimpin dapat dikaji dengan langkah-langkah atau cara:
1) Pengamatan terhadap produk yang dihasilkan oleh proses transformasi kepemimpinannya, seperti:
a. Penampilan kelompok
b. Tercapainya tujuan kelompok
c. Kelangsungan hidup kelompok
d. Pertumbuhan kelompok
e. Kemajuan kelompok menghadapi krisis
f. Bawahan merasa puas terhadap pemimpin
g. Bawahan merasa bertanggung jawab terhadap tujuan kelompok
h. Kesejahteraan psikologi dan perkembangan anggota kelompok
i. Bawahan tetap mendukung kedudukan dan jabatan pemimpin
2) Berkaitan dengan hasil transformasi tersebut dapat dilihat pula beberapa hal, seperti:
a. Pertumbuhan keuntungan
b. Batas minimal keuangan
c. Peningkatan produk pelayanan
d. Penyebaran jasa pelayanan
e. Target yang tercapai
f. Investasi mengalami pertumbuhan

2. Organizational maintenance
Dengan pendekatan ini, dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap sikap bawahan dan orientasi pemimpin terhadap bawahan:
1) Sikap bawahan terhadap pemimpin
a. Apakah bawahan merasa puas terhadap pemenuhan kebutuhan dan harapan
b. Apakah bawahan menghargai, hormat, dan kagum terhadap pemimpin
c. Apakah para bwahan merasa bertanggung jawab dengan kuat untuk melaksanakan permintaan (perintah), atau mereka berkeinginan untuk bertahan, tidak memperhatikan atau menolak (menggagalkan) perintah pemimpin
2) Berkaitan dengan sikap bawahan terhadap pemimpin tersebut, dapat dilakukan (dipergunakan) bermacam-macam alat pengukur perilaku, seperti:
a. Ketidakhadiran (absensteeism)
b. Pergantian dengan mendadak
c. Keluhan
d. Pengaduan terhadap pemimpin yang lebih atas
e. Permintaan pindah
f. Kemunduran (slowdown)
g. Pemogokan liar (wildcat strikes)
h. Peristiwa-peristiwa sabotase yang sengaja terhadap perlengkapan dan fasilitas yang secara tidak langsung menunjukkan bawahan tidak puas dan sikap permusuhan terhadap pimpinan mereka.
3) Keberhasilan pemimpin kadang-kadang dapat diukur pula melalui orientasi pemimpin terhadap kualitas bawahan yang dapat dirasakan oleh bwahan atau pengamatan dari luar, seperti:
a. Apakah pemimpin meningkatkan rasa kebersamaan kelompok:
• Kerjasama kelompok
• Motivasi kelompok
• Pemecahan masalah
• Pengambilan keputusan, dan
• Pemecahan konflik antar anggota
b. Apakah pemimpin memberikan bantuan terhadap:
• Efisiensi demi spesialisasi peranan
• Kegiatan organisasi
• Akumulasi sumber, dan kesiapan kelompok menghadapi perubahan dan krisis
c. Apakah pemimpin melakukan perbaikan:
• Kualitas kehidupan kerja
• Menciptakan rasa percaya diri bawahan
• Meningkatkan keterampilan bawahan, dan
• Membantu pertumbuhan dan perkembangan psikologi bawahan

DAFTAR PUSTAKA
Hall, Richard H, 1982: Organizations: structure and Process, Prentice Hall, Inc, Englewood
Cliffs, New Jersey.
Hanafi, Mamduh.M. (2003). Manajemen. Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Handoko, T.H. (1992). Manajemen. Edisi 2. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM
Kambey, D.C. (2006). Landasan Teori Administrasi/Manajemen. Manado: Yayasan Tri Ganesha
Mulyono. (2008). Manajemen Administrasi & organisasi Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Robbins, S.P. (1994). Teori Organisasi; Struktur, Desain & Aplikasi. Edisi 3. Alih Bahasa Jusuf
Udaya. Jakarta: Arcan

Senge, P. 1995. The Fifth Discipline: The Art And Practice of The Learning Organization.
New York: Publishing Group. Inc.

Suryosubroto, B. (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta
Usman, Husaini. (2009). Manajemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara
Wahjosumidjo, 1983: Kepemimpinan, Departemen Pendidikan, Pusat Pendidikan dan Latihan
Pegawai. Pusdiklat Depdikbud RI, Jakarta
------------------, 2007: Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoretik dan Permasalahnnya.
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Yukl, Gary. (2009). Leadership in Organization (Kepemimpinan Dalam Organisasi). Jakarta:
Indeks