MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL

MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL
NEGERI YANG DAMAI DAN PENUH PESONA

Jumat, 30 April 2010

PENGERTIAN,TEORI,DAN KONSEP BELAJAR

PENGERTIAN, TEORI, DAN KONSEP-KONSEP BELAJAR

Oleh:Hayatuddin Fataruba


A.PENGERTIAN BELAJAR
Apakah belajar itu?
a.Macam-macam aktifitas yang disebut belajar.
Kalau ditanyakan apakah belajar itu? Maka jawabannya akan berfariasi,karena apa yang disebut perbuatan belajar itu beracam-macam. Banyak aktifitas-aktifitas yang oleh hampir semua orang dapat disetujui kalau disebut perbuatan belajar seperti misalnya;mendapatkan perbendaharaan kata-kata baru, menghafal syair, menghafal nyanyian, dan sebagainya. Belajar adalah proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang.
b.Macam-macam definisi belajar.
Merumuskan definisi mengenai belajar yang memadai bukanlah suatu pekerjaan yang mudah,sehingga banyak ahli yang mengemukakan argumentasinya mengenai belajar bermacam-macam. Sehingga di bawah ini digunakan beberapa definisi ahli yang dapat dipakai sebagai data untuk mencari inti persoalannya.
1. Crombach (didalam bukunya Educational Psychology, 1954:47) menyatakan bahwa; learning is shown by a change in behavior as a result of experience (Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami; dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan panca inderanya).
2. Harold Spears (1955:94) menyatakan bahwa; learning is to observe,to read,to imitate,to try something
themselves,to listen,to follow direction (belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengarkan dan mengikuti petunjuk).
3. Mc.Geoh (dalam Skinner,1958:109) menyatakan bahwa; learning is a change in performance as a result of practice (belajar adalah suatu perubahan yang dicapai setelah mencoba sesuatu atau mempraktekkan sesuatu).
4. William Stern (dalam Stern, 1950:313) menyatakan bahwa; learn ist kenntnisserwerb durch wiedurholte darbeitungen (der ansignung neur fertigkeiten durch wiederholung die rede.
5. James O.Wittaker (dalam Psychologi Pendidikan landasan kerja pemimpin pendidikan;Drs.Wasty Soemanto) menyatakan bahwa; belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
6. Di dalam buku yang sama, Howard L.Kingsley menyatakan bahwa; belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam artian luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.

Sehingga dari definisi-definisi yang dikemukakan para ahli sebagaimana tersebut di atas, maka didapatkan hal-hal pokok mengenai belajar sebagai berikut:
a.bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, aktual maupun potensial)
b.bahwa perubahan itu pada intinya adalah didapatkannya kecakapan baru.
c.bahwa perubahan-perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).
d.bahwa belajar semakin efektif, dibutuhkan latihan-latihan atau pengalaman-pengalaman.
Dengan demikian, maka menurut saya belajar adalah mendayagunakan pengetahuan seoptimal mungkin untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
Dalam proses belajar maka akan terbentuk pengetahuan-pengetahuan, yang pada konsepnya ada pengetahuan yang ada dan muncul karena pengalaman dan mitos-mitos yang berkembang tanpa pembuktian ilmiah, dan ada pengetahuan yang muncul karena dilandasi pembuktian-pembuktian ilmiah.
Pengalaman-pengalaman yang muncul ini sering diidentikkan dengan pengetahuan, sedangkan pembuktian-pembuktian kebenaran dari apa yang didapat secara ilmiah, terorganisisr dan valid ini disebut ilmu.
B.PENGERTIAN ILMU
Lalu apa itu pengetahuan dan apa itu ilmu?
Kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu memerlukan dua pertimbangan, yakni obyektifitas yang tertuju kepada kebenaran, dan nilai-nilai hidup kemanusiaan yang merupakan pertimbangan moril. Pertimbangan nilai ini sangat berpengaruh pada tujuan ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah pada umumnya. Para ilmuwan yang yang hanya menggunakan pertimbangan nilai kebenaran fisika dengan mengesampingkan nilai metafisika akan tiba pada prinsip ilmu pengetahuan yang bebas nilai yang menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya ukuran dan segala-galanya bagi seluruh kegiatan ilmiah. Beberapa tokoh yang berpandangan ilmu pengetahuan harus bebas nilai diantaranya:
1. Jacob Bronowski yang berpendapat; tujuan pokok ilmu adalah mencari sesuatu yang benar tentang dunia. Aktifitas ilmu diarahkan untuk melihat kebenaran, dan hal ini dinilai dengan ukuran pembenaran fakta.
2. Victor Reisskop yang berpendapat; tujuan pokok ilmu bukan pada penerapan, tujuan ilmu ialah mencapai pemahaman-pemahaman terhadap sebab dan kaidah-kaidah tentang proses-proses ilmiah.
3. Carl G.Hempel dan Paul Oppenheim berpendapat; menjelaskan fenomena dalam dunia pengalaman, menjawab pertanyaan “mengapa?” daripada semata-mata pertanyaan “apa?” merupakan salah satu dari tujuan-tujuan semua penyelidikan rasional; dan khususnya penelitian ilmiah dalam aneka cabangnya berusaha melampaui sekedar hanya suatu pelukisan mengenai pokok soalnya dengan menyajikan suatu penjelasan mengenai fenomena yang diselidiki.
4. Maurice Richter yang berpendapat; tujuan ilmu sebagaimana biasanya diakui dewasa ini meliputi perolehan pengetahuan yang digeneralisasi , disistematisasi mengenai dunia alamiah; pengetahuan yang membantu manusia untuk memahami alam, meramal kejadian-kejadian dan mengendalikan kekuatan-kekuatan alamiah.

Sedangkan para ilmuwan yang memandang perlunya pertimbangan nilai-nilai etik, kesusilaan dan kegunaan untuk melengkapi pertimbangan nilai kebenaran dan berprinsip bahwa ilmu pengetahuan harus taut nilai diantaranya:

1. Francis Bacon yang berpendapat; ilmu pengetahuan adalah kekuasaan, lebih lanjut; tujuan ilmu ialah sumbangan terhadap hidup manusia dengan ciptaan-ciptaan dan kekayaan baru (The Liang Gie, 1984)
2. Daoed Yoesoef yang berpendapat; ilmu pengetahuan memang merupakan suatu kebenaran ersendiri, tetapi otonomi ini tidak dapat diartikan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM;2007).
3.C.A van Peursen yang berpendapat; betul bahwa ilmu merupakan sistem dalam suatu konteks, tapi tidak betul bahwa ilmu dilarutkan dalam konteks itu. Betul bahwa fungsi ilmu berubah sesuai dengan lingkungan budaya dan konstelasi sosial. Dalam arti ini, ilmu harus sanggup mengakui pengaruh timbal balik dari penelitian, namun demikian jangan sampai larut karena ilmu itu justru merupakan imbangan yang berharga menghadapi ideologi. Apabila ilmu diserap oleh ideologi, hilanglah kemungkinan akan kritik diri. Ketegangan antara keduanya hendaknya dipertahankannya karena dapat menjernihkan kedua belah pihak.
4.Notonagoro (dalam Filsafat Ilmu) berpendapat; metode ilmiah merupakan landasan tetap yang menjadi kerangka pokok atau pola dasarnya ilmu, sedangkan pertimbangan nilai-nilai menjadi latar belakang kegiatan ilmiah; merupakan segi pertimbangan metafisikanya. Pertimbangan metafisika disamping meliputi nilai kebenaran yang menjadi ukuran pokok dan tetap bagi ilmu pengetahuan , juga meliputi nilai kebaikan dan nilai keindahan kejiwaan.
Sedangkan Jujun Suriasumantri berpendapat bahwa; semua pengetahuan, apakah ilmu,seni atau pengetahuan apasaja pada dasarnya memilki tiga (3) landasan:
1.Ontologi yang membahas tentang apa yang ingin diketahui atau merupakan pengkajian mengenai teori tentang ada.
2.Epistemologi yang membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk
memperoleh pengetahuan.
3.Aksiologis yang membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang
didapatkannya.
Jika menyelami konsep-konsep yang dikemukakan para ahli tersebut, maka masalahnya terletak pada hakikat ilmu itu sendiri, karena sebenarnya ilmu bersifat netral, tidak mengenal sifat baik dan buruk. Manusialah yang menjadi faktor penentu dalam artian netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologisnya saja.
Dengan demikian maka, ilmu adalah suatu metode untuk penggambaran, penciptaan, dan pemahaman terhadap pengalaman manusia.
Sedangkan pengetahuan adalah pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia baik melalui kajian ilmiah maupun berdasarkan asumsi-assumsi, dogma-dogma, mitos-mitos yang berkembang dan ditemui disekitarnya.
Sehingga kesimpulannya, Ilmu adalah pengetahuan yang teratur dan teruji , terproses, secara metodik dan rasional dari data eksperimental dan empirik, konsep-konsep sederhana, dan hubungan perspektual menjadi generalisasi-generalisasi, teori-teori, dan kaidah-kaidah ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan guna kemaslahatan manusia dan alam semesta.
C.TEORI-TEORI BELAJAR
Sebuah teori pembelajaran biasanya memiliki tiga (3) fungsi yang berbeda namun saling terkait erat. Pertama, teori pembelajaran adalah pendekatan terhadap suatu bidang pengetahuan;suatu cara menganalisis,membicarakan dan meneliti pembelajaran. Kedua, belajar itu berupaya untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukum-hukum pembelajaran ke dalam ruang yang cukup kecil. Dan yang Ketiga, secara kreatif belajar itu berupaya menjelaskan apa itu pembelajarn dan mengapa pembelajaran berlangsung seperti adanya. Dewasa ini terdapat bermacam-macam teori dalam membahas belajar ini, diantaranya:
A.Teori belajar Behavioristik (tingkah laku) yang menekankan pada hasil.
Pandangan dari teori ini adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Para ahli yang merumuskan teori ini antara lain:

1. Thorndike (1911)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran,perasaan atau gerakan) dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan atau gerakan).
2. Watson (1963)
Menurut Watson, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable)
3. Clark Hull (1943)
Menurut Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup oleh karena itu, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral dimana kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive),seperti lapar,haus,tidur,hilangnya rasa nyeri dan sebagainya (stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini meskipun respons mungkin bermacam-macam bentuknya).
4. Edwin Guthrie (teori kontiguiti)
Menurut Guthrie, belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu. Hubungan antara stimulus dengan respons merupakan faktor kritis dalam belajar, untuk itu diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respons akan lebih kuat (bahkan menjadi kebiasaan) apabila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus.
Guthrie juga mengemukakan bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang.
5. Skinner (1968) (neo-behavioris,yang mengalihkan dari laboratorium ke praktik kelas)
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respons untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) seperti Hull dan Guthrie adalah deskripsi yang tidak lengkap. Mengapa? karena respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan interaksi itu akhirnya mempengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa. Oleh karena itu untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan pemahaman terhadap respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons tersebut.
B.Aliran Kognitif (mementingkan proses)
Teori belajar Kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Menurut penganut teori ini, belajar bukan hanya sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons, tetapi lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan yang diusulkan Jean Piaget, “belajar bermakna” yang dikonsepka oleh Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas (free discovery learning)”nya Jerome Bruner.
1. Jean Piaget (1975)
Menurut Jean Piaget, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga (3) tahapan, yakni
1.Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
Bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadi proses pengintegrasian antara proses penjumlahan (yang sudah ada di benak siswa) denga prinsip perkalian (sebagai informasi baru dari guru).
2.Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Jika seseorang diberikan soal perkalian, maka yang bersangkutan akan menggunakan prinsip-prinsip perkalian. Berarti pemakaian (aplikasi) prinsip-prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan lebih spesifik.



3.Equilibrasi (penyeimbangan) adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Agar seseorang dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan (antara dunia luar dengan dalam). Tanpa proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur (disorganized).
2. Ausubel (1968)
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa (advance organizers).
Ausubel yakin bahwa “advance organizers (pengatur kemajuan belajar)” dapat memberikan tiga (3) manfaat, yakni:
1.dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan diperlajari siswa.
2.dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat
ini dengan apa yang akan dipelajari siswa sedemikian rupa.
3.mampu membantu siswa untuk memahami bahan ajar secara lebih mudah.

3. Bruner (1960) (free discovery learning)
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep,teori,definisi,dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya (dengan kata lain siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum).
Disamping itu, Brunner juga mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas.
Menurut pandangan Bruner, bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran bersifat preskriptif. Misalnya teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan penjumlahan.
C.Aliran Teori Humanistik.
Dari beberapa teori belajar, teori Hymanistik inilah yang paling abstrak dan yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Teori ini lebih menekankan isi dari proses belajar dan lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuk paling ideal daripada belajar seperti apa adanya. Pakar yang mengusulkan teori ini selain dari Ausubel dengan teori belajar bermakna (meaningful learning)-nya, juga beberapa ahli antara lain:
1.Bloom dan Krathwohl
Mereka mengemukakan bahwa apa yang mungkin dipelajari atau dikuasai siswa,tercakup dalam:
a.Kognitif
Kognitif terdiri dari 6 (enam) tingkatan:
1.pengetahuan (mengingat,menghafal)
2.Pemahaman (menginterpretasikan)
3.aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
4.analisis (menjabarkan suatu konsep)
5.sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
6.evaluasi (membandingkan nilai,ide,metode dan sebagainya)
b.Psikomotor
Psikomotor terdiri dari 5 (lima) tingkatan:
1.peniruan (menirukan gerak)
2.penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3.ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4.perangkaian (melakukan beberapa gerak sekaligus denga benar)
5.naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
c.Afektif
Afektif terdiri dari 5 (lima) tingkatan:
1.pengenalan (ingin menerima,sadar akan adanya sesuatu)
2.merespons (aktif berpartisipasi)
3.penghargaan (menerima nilai-nilai,setia kepada nilai-nilai tertentu)
4.pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
5.pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).
Sedangkan David R.Krathwohl dalam buku “A taksonomy for learning, teaching, and assessing” mengadakan refisi aspek kemampuan kognitif dari Bloom dengan memilah menjadi 2 (dua) dimensi yakni, dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif. Dalam dimensi pengetahuan, didalamnya meuat objek ilmu yang disusun dari (1) pengetahuan fakta, (2) pengetahuan konsep, (3) pengetahuan prosedural, dan (4) pengetahuan meta kognitif. Sedangkan dalam dimensi proses kognitif, didalamnya memuat enam tingkatan meliputi (1) mengingat, (2) mengerti, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, dan (6) mencipta.
2. Kolb
Kolb membagi tahapan belajar menjadi 4 (empat) tahap:
a.pengalaman konkret
b.pengamatan aktif dan reflektif
c.konseptualisasi, dan
d.eksperimentasi aktif.

3.Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa dalam 4 (empat) type:
1.aktifis; mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman terbaru.
2.reflektor; mereka sangat cenderung berhati-hati mengambil langkah.
3.teoris; mereka biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau
penilaian yang sifatnya subjektif.
4.pragmatis; mereka biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal.
4. Habermas
Dalam pandangan Habermas, belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, maka Habermas mengelompokkan type belajar menjadi 3 (tiga) bagian:
1.belajar tekhnis (technical learning); dimana siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya.
2.belajar praktis (practical learning); dimana siswa juga belajar berinteraksi, tetapi antara siswa dengan orang-orang disekelilingnya saja.
3.belajar emansipatoris (emancipator learning); dimana siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan (oleh Habermas, transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi).
D.Aliran Sibernetik.
Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Sekilas teori ini mirip teori kognitif yang lebih mementingkan proses. Namun yang lebih penting lagi dari teori ini adalah sistem informasi yang diproses, karena informasi inilah yang menentukan proses.
Assumsi lain dari teori ini adalah bahwa tidak ada satu proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa.

Para pendukung dan pengembang teori ini antara lain:
1.Landa (pendekatan algoritmik dan heuristic)
Menurut Linda, ada 2 (dua) macam proses berpikir. Pertama disebut proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir linear, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu, dan yang kedua disebut cara berpikir heuristic, yaitu cara berpikir divergen menuju ke beberapa target sekaligus.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari atau masalah yang hendak dipecahkan diketahui ciri-cirinya, lebih tepatnya apabila disajikan dalam bentuk “terbuka” dalam urutan teratur, linier, sekuensial dan memberi keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berfikir. Namun untuk memahami satu konsep yang lebih luas dan banyak memiliki interpretasi, maka akan lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing ke arah yang “menyebar (heuristic)” sehingga pemahaman mereka terhadap konsep tersebut tidak monoton, tunggal atau dogmatis.
2.Pask dan Scott (pembagian siswa type wholist dan type serial).
Konsep yang diusulkan dalam teori ini hampir sama dengan pendekatan algoritmik, namun cara berpikir menyeluruh adalah cara berpikir yang cenderung melompat ke depan langsung ke gambaran lengkap dan utuh dalam sebuah sistem informasi.
Dengan demikian menurut teori Sibernetik ini, agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu dipahami, tetapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itupun perlu diketahui.
D.HUKUM-HUKUM BELAJAR.
Dalam proses belajar terjadi hubungan antara tanggapan (bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan) yang satu dengan tanggapan yang lainnya dalam jiwa. Menurut ahli-ahli psychology, hubungan antara tanggapan-tanggapan itu ada semacam kekuatan halus yang menyebabkan bahwa apabila tanggapan yang satu memasuki wilayah kesadaran, maka tanggapan itu akan memanggil tanggapan yang lain dan membawanya memasuki wilayah kesadaran.
Sehingga kekuatan tanggapan ini menimbulkan sebab akibat yang berdasarkan aturan atau hukum-hukum tanggapan, dapat dibagi ke dalam beberapa bagian:
1.Hukum sama saat atau serentak; dimana beberapa tanggapan yang dialami dalam waktu bersamaan cenderung untuk berasosiasi (hubungan antara tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lainnya dalam jiwa) antara satu dengan yang lainnya.
2.Hukum berturutan; dimana beberapa tanggapan yang dialami berturut-turut, cenderung untuk berasosiasi antara satu dengan yang lainnya.
3.Hukum kesamaan atau kesesuaian; dimana beberapa tanggapan yang bersesuaian cenderung untuk berasosiasi antara satu denga yang lainnya.
4.Hukum berlawanan; dimana tanggapan-tanggapan yang saling berlawanan akan berasosiasi satu sama lainnya.
5.Hukum sebab akibat; dimana tanggapan yang mempunyai hubungan sebab akibat cenderung untuk berasosiasi satu sama lainnya.
Sehingga dalam belajar, agar ingatan anak lebih bisa dipertajam, maka:
a.Pada waktu menghafal hendaklah kondisi-kondisi diatur sedemikian rupa, sehingga dapat dicapai hasil maksimal; seperti menyuarakan, melafalkan, pembagian waktu belajar yang tepat, pemilihan tekhnik yang tepat, dan sebagainya.
b.Mereproduksi (pengaktifan kembali hal-hal yang telah dicamkan;dimana terdapat dua bentuk yakni, mengingat kembali/recall, dan mengenal kembali/recognition) dengan memperlancar dan memperkaya atau menyempurnakan bahasa yang disampaikan.
c.Agar interfensi dalam proses belajar lebih tajam, dapatlah diatur waktu untuk belajar sebaik mungkin, sehingga hal-hal yang dipelajari dapat tertanam benar dalam ingatan anak.
d.Setiap individu berbeda dalam kemampuannya mengingat, tapi tiap orang dapat meningkatkan kemampuan mengingatnya dengan pengaturan kondisi yang lebih baik dan penggunaan metode yang lebih tepat.
E.KONSEP-KONSEP BELAJAR
A.Konsepsi yang disusun atas dasar pemikiran Spekulatif
a.Belajar menurut ahli-ahli golongan Skolastik
Belajar itu pada hakikatnya ialah mengulang-ulang bahan yang harus dipelajari. Dengan semakin diulang, maka bahan pelajaran akan makin diingat.
b.Belajar menurut golongan Kontrareformasi
Inti kegiatan belajar adalah ulangan. Pokok atau induk belajar itu ialah mengulangi.
c.Belajar menurut konsepsi ahli-ahli psikologi Daya (the psychology of faculty)
Para ahli aliran ini memikirkan bahwa jiwa dianalogikan dengan raga atau jasmani.Sebagaimana jasmani memiliki daya, maka jiwapun dianggap memiliki daya,misalnya daya untuk mengenal,mengingat,berkhayal, berpikir, merasakan,menghendaki,dan sebagainya.Seluruh daya ini akan meningkat bila sering dilatih berulang-ulang.
d.Pendapat Herbart (teori tanggapan atau Vorstellungstheorie)
Herbert menentang teori daya, karena teori daya tidak dapat menerangkan kehidupan jiwa.Berlandaskan pada latar belakangnya sebagai seorang ahli matematika,Herbert ingin menerangkan kehidupan jiwa dengan cara matematis,dan berusaha mendapatkan unsur yang paling sederhana dari isi jiwa yaitu tanggapan atau vorstellung (jiwa kita berisi tanggapan-tanggapan) dan kebanyakan selalu dalam keadaan tidak kita sadari.Semakin kuat suatu tanggapan,maka makin besarlah peranannya dalam menentukan tingkah laku manusia.Secara matematis,masih menurut Herbert, kekuatan tersebut tergantung kepada dua (2) hal,yaitu:
1.Jelas atau tidaknya pada waktu pertama kali diterima oleh manusia;jadi makin jelas makin besar kekuatannya.
2.Frekuensinya atau sering-tidaknya tanggapan tersebut masuk ke dalam kesadaran,jadi makin sering suatu tanggapan masuk ke dalam alam kesadaran makin bertambah kekuatannya.
Untuk itu ada dua (2) hal yang harus ditempuh dalam mendidik sehingga bisa menentukan tingkah laku seseorang,yaitu:
1.memberikan tanggapn sejelas-jelasnya
2.memasukkan tanggapan tersebut sesring mungkin ke dalam kesadaran.
B.Pendekatan Eksperimental Ebbinghaus
Pendekatan ini menyatakan bahwa bahan yang ingin kita ingat dengan baik, haruslah terus-menerus kita ulangi.
C.Koneksionisme atau Bond-Psychologi (Teori Thorndike)
Yang menjadi dasar belajar ialah asosiasi (penyatuan) antara kesan panca indera (sense impression) dengan impuls untuk bertindak (impulse to action). Asosiasi seperti inilah yang disebut oleh Thorndike sebagai Bond Psychologi atau Connection.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadi,Abu dan Nur Uhbiyati,Ilmu Pendidikan.
Jakarta:Rineka Cipta,2003.
2. Hill,Winfred F,Theories of Learning;Teori-teori Pembelajaran (Konsepsi,Komparasi,dan Signifikansi.
Bandung:Nusa Media,2009
3. Soeryabrata,Soemadi, Psikologi Pendidikan;Suatu Penyajian Secara Operasional,Jilid 2.
Yogyakarta:Rake Press,1981.
4. Soemanto,Wasty, Psikologi Pendidikan;Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
Jakarta:Rineka Cipta,2006.
5. Soetriono,dan Rita Hanafie,Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.
Yogyakarta:Andi 2007.
6. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,Filsafat Ilmu;Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Yogyakarta:Liberty,2007.

SOSIAL BUDAYA SEBAGAI SALAH SATU LANDASAN PENDIDIKAN NASIONAL

SOSIAL BUDAYA
SEBAGAI SALAH SATU LANDASAN PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh: Hayatuddin Fataruba
A. Latar Belakang
Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial budaya. Sebab sebagian besar dari kegiatan manusia dilakukan secara kelompok.
Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia itu senang bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain di dalam kehidupan bermasyarakatnya, maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hidup di masyarakat merupakan manifestasi bakat sosial individu, namun apabila tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, maka individu yang sesungguhnya berbakat hidup sosial di dalam masyarakat dan lingkungannya akan mengalami kesulitan apabila suatu kelak akan berada di tengah-tengah kehidupan sosialnya.
Sosial mengacu kepada hubungan antar individu, antar masayarakat, dan individu dengan masayarakat. Unsur sosial ini merupakan aspek individu secara alami, artinya telah ada sejak manusia dilahirkan ke dunia ini. Karena itu aspek sosial melekat pada diri individu yang perlu dikembangkan dalam hidup agar agar menjadi matang. Disamping tugas pendidikan mengembangkan aspek sosial, aspek itu sendiri sangat berperan dalam membantu anak dalam upaya mengembangkan dirinya.
Salah satu dari sekian banyak landasan yang dipakai dalam pendidikan adalah bagaimana lingkungan sosial pendidikan mempersiapkan individu untuk kelak dapat hidup secara serasi dan berkesinambungan dengan masyarakat sosial dimana nanti individu itu berada. Jadi yang paling penting di sini adalah membekali kemampuan individu agar kelak dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya dengan masyarakat tempat di mana individu tersebut hidup.
Mengapa hidup di tengah-tengah masyarakat sosial itu tidak mudah?,mengapa pendidikan harus memperhitungkan nilai-nilai sosial budaya manusia?. Hal ini disebabkan karena:
1. Bahwa di dalam masyarakat terdapat tata kehidupan yang beraneka ragam.
Didalam masyarakat memang terdapat begitu banyak tata kehidupan berupa aturan-aturan dan norma-norma yang diberlakukan dan dipatuhi oleh masyarakat karena memiliki nilai-nilai pembentukan kepribadian, berupa norma moral, tradisi, adat kebiasaan, dan aturan sosial.
2. Bahwa kepentingan individu yang satu tidak sama dengan kepentingan individu yang lain.
Didalam masyarakat begitu banyak individu. Individu-individu tersebut mempunyai kepentingan dan tujuan hidup sendiri-sendiri, dan mempunyai cara serta jalan hidup sendiri-sendiri pula. Sehingga bila setiap individu tidak berhati-hati, maka kepentingan individu yang satu akan bertabrakan dengan kepentingan individu yang lain.
3. Bahwa masyarakat itu sendiri selalu mengalami perkembangan-perkembangan.
Masyarakat, betapapun statisnya, cepat atau lambat pasti mengalami perubahan. Apalagi dengan berkembangnya kebutuhan manusia yang semakin kompleks, diiringi ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang berkembang begitu pesat, serta perkembangan kebudayaan manusia yang dari kehidupan tradisional ke arah kehidupan moderen.
4. Bahkan akhir-akhir ini dengan kemajuan sains dan tekhnologi yang dicapai manusia, menjadikan nilai-nilai sosial manusia mulai terkikis. Hal ini dapat dilihat pada konteks pekerjaan manusia yang menghendaki manusia bekerja menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dengan pekerjaannya sehingga menghilangkan sebagian waktunya untuk bergaul dan berinteraksi sosial dengan lingkungan sosial budayanya. Apalagi dunia maya mulai ramai dengan hadirnya “face book” yang merupakan jejaring sosial yang semakin memarjinalkan manusia dengan lingkungan sosialnya yang nyata, dimana terjadi saling bertukar informasi dan pergaulan yang semu. Hal ini menjadikan nilai-nilai sosial manusia semakin terpinggirkan.
Padahal pendidikan pada dasarnya adalah upaya manusia dan hasil budaya terbaik yang mampu disediakan setiap generasi manusia untuk kepentingan generasi berikutnya agar melanjutkan kehidupan dan cara hidupnya dalam konteks sosial budaya yang lebih baik. Oleh karena itu, setiap masyarakat pluralistik di zaman moderen senantiasa menyiapkan warganya yang terpilih sebagai pendidik bagi kepentingan kelanjutan pendidikan dan kehidupan dari masyarakat bersangkutan. Pada sisi itulah diperlukan pendidikan, yang melampaui tata aturan di dalam keluarga namun tidak menghilangkan nilai-nilai sosial budaya yang terbanguan dalam lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sosial yang lebih besar untuk meningkatkan harkat dan kepribadian individu agar menjadi manusia yang lebih cerdas dan mampu berada di tengah-tengah pergaulan masyarakatnya.
Dalam konteks ini, maka dapat dikatakan bahwa persoalan pendidikan merupakan suatu persoalan yang kompleks karena melibatkan berbagai komponen. Karena pendidikan melibatkan berbagai unsur terkait dan komponen di dalamnya, maka beragam masalahpun sering bermunculan. Untuk itu diperlukan kondisi yang matang dan dinamis serta kesiapan pelaku pendidikan agar beragam masalah itu dapat disikapi secara arif dan bijaksana.
Dengan demikian, nilai-nilai sosial yang terbentuk pada diri individu karena berada dalam lingkungan pergaulan sosialnya yang matang, merupakan landasan dasar guna membentuk dirinya sebagai manusia cerdas yang terbentuk dari lingkungan sosial yang memadai, yang pada akhirnya akan kembali berada dalam tatanan lingkungan masyarakat sosialnya yang lebih luas.



B. Nilai-Nilai Sosial Manusia

Siapakah manusia?.Pertanyaan ini terkadang membutuhkan jawaban yang harus dikaji dari berbagai sudut pandang. Namun pada hakekatnya, manusia adalah makhluk multi-dimensional, kumpulan terpadu baik fisik biologis maupun psychis (integrated), makhluk individual-sosial, makhluk rasional, makhluk religius, makhluk berbudaya, dan lain sebagainya.
Manusia sejak kecil hidup dalam masyarakat. Ia dilahirkan dalam lingkungan keluarga, dimana pada saat itu ia telah menjadi anggota lingkungan dan akan tetap menjadi anggota itu, sampai pada akhirnya akan menjadi bagian dari lingkungan sosial yang lebih besar, yakni lingkungan masyarakat dunia. Didalam kehidupannya, manusia sebagai makhluk sosial akan berinteraksi dengan manusia lain, juga dengan lingkungannya. Didalam berinteraksi itu, maka manusia akan berhadapan dengan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang diberlakukan di tengah-tengah kehidupan sosialnya yang menghendakinya untuk selalu mengikuti kaidah-kaidah tersebut sebagai makhluk sosial, agar sinergis dengan tatanan yang telah diatur sebagai bagian dari budaya sosialnya. Kaidah-kaidah sosial budaya tersebut diantaranya:
1. Kaidah Moral
2. Kaidah Sosial
3. Kaidah Budaya
4. Kaidah Agama
Kaidah-kaidah ini kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui proses pendidikan. Cara-cara untuk mewariskan budaya sosial ini di masing-masing masyarakat berbeda-beda, terutama dalam pola pewarisan tingkah laku, namun pada umumnya terdapat tiga lembaga yang dijadikan sebagai media pembelajaran yakni; lembaga informal, lembaga formal, dan lembaga non-formal.
Setiap bangsa selalu memiliki nilai sosial budaya yang mungkin berbeda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, namun ada kesamaan yang sifatnya universal yakni aturan, norma, atau nilai selalu dianut demi kebaikan.
Proses sosial dimulai dari interaksi sosial dan dalam proses sosial itu selalu terjadi interaksi sosial. Menurut Made Pidharta (2000), interaksi dan proses sosial didasari oleh faktor-faktor:
1) Imitasi
Imitasi atau peniruan bisa bersifat positif, bisa pula negatif. Kalau anak meniru orang tuanya, gurunya, atau masyarakat lingkungan bergaulnya berpakaian rapai atau bertutur kata yang terpuji, maka anak ini sudah mensosialisasi diri secara positif baik terhadap orang tuanya, guru, maupun lingkungan sosialnya. Tetapi kalau anak meniru perilaku jelek dan negatif yang dilakukan orang tuanya, gurunya, masyarakat dilingkungan sosialnya, maka anak akan masuk pada lingkungan sosial negatif yang kemudian akan membentuk pribadi dan pola tingkah laku sosialnya dimasa datang.
2) Sugesti
Sugesti akan terjadi jika anak menerima atau tertarik pada apa yang dilihatnya terhadap mayoritas sikap orang-orang yang berwibawa dan bernilai positif, serta disegani dan dihormati di lingkungan sosialnya, maka Sugesti terhadap apa yang dilihatnya akan memberi jalan bagi anak untuk mensosialisasi dirinya dengan keadaan tersebut.
3) Identifikasi
Anakpun dapat mensosialisasikan dirinya lewat identifikasi, dimana anak berusaha atau mencoba menyamakan dirinya dengan orang lain, baik secara sadar maupun di bawah sadar.
4) Simpati
Simpati akan terjadi manakala seseorang merasa tertarik kepada orang lain. Faktor perasaan memegang peranan penting dalam simpati. Sebab itu, hubungan yang akrab perlu dikembangkan antara guru, orang tua, lingkungan sosial dengan anak, agar simpati ini mudah muncul, sosialisasi mudah terjadi, dan anak akan tertib mematuhi segala tata aturan yang diberlakukan di lingkungan keluarganya, sekolahnya, maupun di lingkungan masyarakatnya.
Maka untuk memudahkan terjadinya sosialisasi dalam pendidikan, guru perlu menciptakan situasi; terutama pada dirinya sendiri agar faktor-faktor yang mendasari sosialisasi itu muncul pada diri anak-anak.
Coleman (1984) dalam Made Pidharta (2000) menulis bahwa hal yang terpenting dari fungsi sekolah ialah memberikan dan membangkitkan kebutuhan sosial dan rekreasi.
Kebutuhan rekreasi di sini membuat anak-anak akan merasa gembira, antusias, dan tidak merasa seperti dipaksa datang ke sekolah. Perasaan seperti ini bertalian erat dengan perasaan sosial. Karena bila anak-anak sudah dapat berteman dengan baik antara satu dengan yang lainnya, maka anak akan merasa aman, bebas dari rasa curiga dan takut, sehingga akan memberikan rasa senang, dan puas dalam belajar di sekolah.
Di dalam proses sosial terdapat interaksi sosial, yaitu suatu hubungan sosial yang dinamis. Interaksi ini menurut Made Pidharta (2000), akan terjadi apabila memenuhi 2 (dua) syarat:
1. Kontak sosial
Kontak sosial ini dapat berlangsung dalam 3 (tiga) bentuk, yakni:
· Kontak antar individu
· Kontak antara individu dengan kelompok sosialnya atau sebaliknya, dan
· Kontak antar kelompok
2. Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan sesorang kepada orang lain atau sekelompok orang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara; melalui pembicaraan, mellui mimik, melalui lambang-lambang, dan dengan alat-alat.
Sedangkan bentuk-bentuk interaksi sosial menurut Abu Ahmadi (2003) antara lain:
Ø Kerjasama
Ø Akomodasi
Ø Asimilasi
Ø Persaingan
Ø Pertikaian

C. Nilai-Nilai Budaya Manusia

Kebudayaan, menurut Taylor yang dikutip Imran Manan (1989) dalam Made Pidharta (2000) adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan menurut Hassan (1983) dalam Made Pidharta (2000), kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain-lain kepandaian.
Menurut Kneller yang dikutip Imran Manan (1989) dalam Made Pidharta (2000), menyatakan bahwa kebudayaan adalah cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat.
Dengan demikian, maka dapatlah dikatakan bahwa kebudayaan adalah hasil karya dan karsa manusia yang dikembangkan sebagai bagian dari peradaban manusia sepanjang masa yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam berlaku dan bertindak.
Kebudayaan bisa dikatakan bertahan lama ditengah-tengah peradaban manusia apabila kebudayaan tersebut memiliki nilai-nilai yang tetap berlaku dan bersifat universal, seperti; norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, adat-adat, tradisi-tradisi, gagasan-gagasan, ideologi-ideologi, teknologi, kesenian, dan benda-benda hasil ciptaan manusia.
Namun kebudayaan tetap akan mengalami proses penyempurnaan dan perubahan-perubahan sesuai perkembangan zaman dan kemajuan yang dicapai manusia. Perubahan-perubahan kebudayaan tersebut menurut Kneller yang dikutip Imran Manan (1989) dalam Pidharta (2000) disebabkan oleh:
1. Originasi, yaitu sesuatu yang baru atau penemuan-penemuan baru. Hasil penemuan itu akan menggeser posisi penemuan-penemuan yang telah lama.
2. Difusi, yaitu pembentukan kebudayaan baru akibat masuknya elemen-elemen budaya yang baru ke dalam budaya yang lama.
3. Reinterpretasi, yaitu perubahan kebudayaan akibat terjadinya modifikasi elemen-elemen kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan keadaan zaman.
Suatau budaya sesungguhnya merupakan bahan masukan atau pertimbangan bagi manusia itu sendiri dalam mengembangkan dirinya. Adakalanya bagian budaya akan dipakai terus-menerus, adakalanya diperbaiki, dan adakalanya diganti dengan yang baru.
Dalam kehidupan manusia, kebudayaan ini perlu ditanamkan dari sejak anak-anak agar nilai-nilai kebudayaan ini bisa diperdomani dan menjadi bagian dari kehidupan anak dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kebudayaan memiliki fungsi sangat sentral dalam kehidupan manusia. Kerbe dan Smith dalam Pidharta (2000) menyebutkan ada 6 (enam) fungsi utama kebudayaan dalam kehidupan manusia antara lain:
1. Penerus keturunan dan pengasuhan anak. Suatu fungsi yang menjamin kelangsungan hidup biologis kelompok sosial. Budaya yang baik dalam kehidupan kelompok sosial masyarakat menciptakan masyarakat sebagai tempat pengasuhan yang baik terhadap nilai-nilai budaya. Contohnya, budaya pemberian pemahaman yang baik terhadap penggunaan alat-alat kontrasepsi dan perbaikan kesehatan ibu dan anak menjadikan budaya ini sebagai wahana memperbaiki pola hidup dan peningkatan kualitas natalitas.
2. Pengembangan kehidupan berekonomi. Pendidikan yang baik terhadap perilaku ekonomi masyarakat, menjadikannya sebagai budaya yang akan membuat orang mampu menjadi pelaku ekonomi yang baik, bisa berproduksi secara efektif dan efisien, dan mengembangkan bakat ekonomi pada bidang tertentu sehingga tercipta tenaga kerja yang baik, serta menjadi konsumen yang rasional.
3. Transmisi budaya. Salah satu bagian dari budaya adalah bagaimana pendidikan mampu membentuk dan mengembangkan generasi baru menjadi orang-orang dewasa yang berbudaya.
4. Meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah Subhana Wata’ala. Sebagai budaya, maka dibutuhkan pendidikan terhadap nilai-nilai keimanan ini agar terbentuk budaya keimanan yang kuat ditengah-tengah masyarakat. Pendidikan harus bisa membuat masyarakat mengembangkan kata hati dan perasaannya untuk taat terhadap ajaran-ajaran agama, mengembangkan tindakan dan perilaku yang cocok dengan ajaran agama. Sehingga budaya ini harus dididik sejak anak-anak.
5. Pengendalian sosial, yakni pelembagaan konsep-konsep untuk melindungi kesejahteraan individu dan kelompok, serta masyarakat secara keseluruhan.
6. Rekreasi, yakni kegiatan-kegiatan yang memberi kesempatan kepada orang untuk memuaskan kebutuhannya dalam rangka mengalihkan perhatiannya sementara dari rutinitas pekerjaan.
Semua warisan budaya tersebut disampaikan kepada generasi berikutnya lewat transmisi (penyebaran/pengoperan) pendidikan, kegiatan belajar mengajar, dan dengan penekanan pada faktor rasio dan wawasan. Oleh karena itu, upaya mendidik dan kegiatan belajar-mengajar pada anak itu sifatnya lebih kondisional dan kultural. Dalam pandangan ini maka van Peursen (1972) dalam Kartini Kartono (1997) menyebutkan bahwa; seluruh kebudayaan manusia itu adalah produk dari kegiatan belajar, dan kegiatan belajar itu berlangsung terus sepanjang sejarah manusia.

D. Pendidikan

Semua manusia dilahirkan sama dan mempunyai hak yang sama; salah satu diantaranya adalah hak memperoleh pendidikan dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilannya. Pendidikan yang dimaksud adalah bagaimana manusia berupaya untuk memperoleh pemahaman dan pengalaman berupa pengetahuan yang berorientasi pada ilmu dan tekhnologi guna menunjang kehidupannya nanti. Dari pemahaman di atas, maka secara definitif pendidikan diartikan oleh para ahli diantaranya:


1. Ki Hajar Dewantara
Mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
2. Langeveld
Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara oarang dewasa dengan orang yang belum dewasa.
3. S.A. Bratanata dkk
Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pendidikan itu merupakan upaya yang dilakukan manusia dewasa; baik orang tua di dalam keluarga, masyarakat dilingkungan sosial, maupun guru di lingkungan sekolah, secara sadar dengan bantuan lingkungannya yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendewasaan diri.
Pendidikan adalah enkulturasi, dimana pendidikan merupakan suatu proses membuat orang menerima budaya, dan membuat orang berperilaku mengikuti budaya yang diterimanya. Enkulturasi ini terjadi di mana-mana, sebab di manapun orang berada, di situlah terjadi penyerapan nilai-nilai dan proses pendidikan yang berujung pada terciptanya budaya.
Keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah adalah salah satu dari media/tempat enkulturasi. Dengan demikian maka sejak dini anak-anak perlu dididik untuk berpikir kritis agar enkulturasi dalam pendidikan tidak menyebabkan kekakuan dan menerima apa adanya.
Sehingga pendidikan itu memiliki fungsi sebagaimana dikemukakan oleh Wuraji (1988) dalam Made Pidharta (2000) antara lain:
1. Pendidikan sebagai lembaga konservasi yang mencakup fungsi kontrol sosial, pelestari budaya, dan seleksi serta alokasi.
2. Pendidikan sebagai perubah nilai-nilai sosial budaya yang mencakup reproduksi, difusi, meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis, memodifikasi hierarki ekonomi masyarakat, dan sebagai agen perubahan.
Pendidikan juga berfungsi sebagai; transmisi budaya, meningkatkan integritas sosial atau bermasyarakat, mengadakan seleksi dan alokasi tenaga kerja melalui pendidikan itu sendiri, dan mengembangkan kepribadian (Broom:1981 dalam Pidharta:2000).
Sehingga proses belajar yang baik dalam pendidikan tidaklah cukup bila hanya dilaksanakan di sekolah saja, tetapi lingkungan keluarga dan masyarakat juga merupakan wahana yang cukup ideal dalam kegiatan pengembangan pendidikan dan belajar anak. Karena nilai-nilai sosial budaya anak bisa lebih terbentuk sempurna apabila anak berada di tengah-tengah lingungan sosialnya yang nyata sehingga penyerapan nilai-nilai akan terbentuk kuat dalam sikap dan tingkah laku anak dengan cara meniru langsung nilai-nlai sosial budaya yang dialaminya di tengah-tengah lingkungan sosial budaya masyarakatnya.

E. Nilai-nilai Sosial Budaya sebagai Landasan Pendidikan

Ø Keluarga sebagai lingkungan sosial pendidikan

Kalau ditinjau dari ilmu Sosiologi, keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan, yakni kesatuan antara ayah, ibu, dan anak yang merupakan satu kesatuan kecil dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat.
Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan di dalam keluarga. Orang tua secara otomatis langsung memikul tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik awal yang bersifat sebagai pemelihara, pengasuh, pembimbing, pembina, maupun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya. Ini adalah tugas kodrati dari manusia sebagai orang tua. Anak akan menyerap norma-norma pada anggota keluarganya. Sehingga dari sinilah anak akan belajar tentang pendidikan dari suasana yang dibangun dan diajarkan serta dicontohkan orang tuanya. Pendidikan itu berupa kebiasaan-kebiasaan yang kemudian akan tertanam dalam memori anak untuk menjadi bekal. Anak akan menyerap nilai-nilai yang ditanamkan dalam bentuk pembiasaan-pembiasaan yang kemudian akan diaplikasikan dalam kehidupan sosial dan bermasyarakatnya dikemudian hari kelak. Jika anak itu dibiasakan dan diajari perbuatan-perbuatan baik, maka anak akan mengaplikasikan apa yang diterimanya dalam kehidupannya, begitupula sebaliknya.
Pendidikan keluarga adalah juga pendidikan sosial, karena disamping keluarga itu sendiri sebagai kesatuan kecil dari bentuk kesatuan-kesatuan masyarakat sosial, pendidikan keluarga yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anaknya di masyarakat kelak. Sehingga pembentukan karakter anak di lingkungan pendidikan keluarga yang sangat positif, akan berpengaruh terhadap warna pendidikannya dimasayarakat.

Ø Sekolah sebagai lingkungan sosial pendidikan

Sekolah sebagai lingkungan sosial budaya, memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak. Dengan sekolah, anak akan memperoleh pendidikan berupa pemahaman ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dan merupakan wahana lanjutan dari pendidikan keluarga. Di sana anak akan bersosialisasi dengan lingkungan sosial yang lebih besar dan banyak dibandingkan lingkungan keluarganya yang terdiri dari jumlah masyarakat kecil. Anak akan berada pada lingkungan dimana dia tidak lagi hanya dengan kedua orang tuanya, tetapi dengan teman-teman dengan berbagai type, dan lingkungan pendidikannya yang telah jauh berbeda dengan keadaannya di dalam lingkungan keluarga. Anak akan merasakan bagaimana berbagi, bagaimana menahan keinginan-keinginan, bagaimana beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan masih asing baginya serta aturan-aturan yang lebih luas cakupannya dibandingkan yang ada dalam keluarganya.
Dengan demikian mengingat cukupnya waktu dan pentingnya fungsi sekolah dalam ikut serta membentuk kepribadian anak, maka pendidikan di sekolah harus bersifat menyeluruh. Mengapa demikian? Karena pendidikan yang hanya berorientasi pada intellectualistisch saja adalah kurang efektif, menghianati nilai-nilai psychology anak, bahkan bisa menghambat pertumbuhan rohani anak yang merupakan satu kesatuan utuh dari perkembangan manusia, dan akan melahirkan sistem rasionalisme pada anak tanpa pertimbangan nilai-nilai moral yang pada akhirnya tercipta anak yang individualistic.

Ø Masyarakat sebagai lingkungan sosial pendidikan

Kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari dua orang atau lebih dan bekerjasama di bidang tertentu untuk mencapai tujuan tertentu adalah merupakan sumber pendidikan bagi warga masyarakat, seperti lembaga-lembaga sosial budaya, yayasan-yayasan, organisasi-organisasi, perkumpulan-perkumpulan, yang kesemuanya itu merupakan unsur-unsur pelaksana asas pendidikan masyarakat. Kesemua kelompok sosial tersebut merupakan unsur-unsur pelaku atau pelaksana asas pendidikan yang dengan sengaja dan sadar membawa masyarakat kepada kedewasaan, baik jasmani maupun rohani yang realisasinya terlihat pada perbuatan dan sikap kepribadian warga masyarakat.

Ø Norma sosial budaya sebagai bagian dari proses pendidikan.

Masalah pendidikan di keluarga dan sekolah tidak bisa terlepas dari nilai-nilai sosial budaya yang dijunjung tinggi oleh semua lapisan masyarakat. Setiap masyarakat, dimanapun berada tentu mempunyai karakteristik tersendiri sebagai norma khas di bidang sosial budayanya yang berbeda dengan karakteristik masyarakat lain, disamping norma-norma yang berlaku secara universal.
Di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti oleh warganya, dan norma-norma itu berpengaruh dalam pembentukan kepribadian warga masyarakatnya dalam bertindak dan bersikap. Norma-norma masyarakat yang berpengaruh tersebut sudah merupakan aturan-aturan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan yang dilakukan secara sadar dan memiliki tujuan ini sudah merupakan proses pendidikan masyarakat.
Setiap negara memiliki sistem pendidikan Nasional yang berbeda-beda, yang pada intinya terlahir dan dijiwai oleh sosial budaya bangsanya. Setiap aspek sosial budaya tersebut selalu sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah peradaban bangsa tersebut sehingga mewarnai gerak hidup negara tersebut, begitu juga dengan bangsa Indonesia.
REVERENSI
1. Ahmadi,Abu.H, dan Nur Uhbiyati; Ilmu Pendidikan; Rineka Cipta Jakarta;2003
2. Kartono,Kartini; Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional; Pradnya Paramita Jakarta;1997
3. Pidharta,Made.M; Landasan Pendidikan,Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia; Rineka Cipta Jakarta;2000.
4. Sukarjo,M dan Ukim Komarudin; Landasan pendidikan Konsep dan Aplikasinya; Rajawali Pers;2009

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN BERORIENTASI MUTU

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN BERORIENTASI MUTU
Oleh: Hayatuddin Fataruba

A. Pendahuluan
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa sumberdaya yang paling bernilai bagi peningkatan daya saing saat ini adalah sumberdaya manusia. Hal ini jelas terlihat dari pengalaman Jerman dan Jepang yang bangkit dari kehancuran akibat Perang Dunia II. Kedua negara tersebut tidak banyak memiliki sumberdaya alam. Mereka hanya memiliki sumberdaya manusia, sehingga mereka lebih memilih untuk mengembangkan dan mengorganisasikan sumberdaya manusianya sebagai upaya pengembangan ekonomi mereka.
Belajar dari pengalaman Jerman dan Jepang tersebut, maka bangsa kita sudah seharusnya merubah pola pikir dari kekuatan ekonomi suatu negara dapat berkembang apabila memiliki sumberdaya alam yang melimpah tapi memiliki sumberdaya manusia yang kurang bermutu, menuju ke memacu peningkatan mutu sumberdaya manusia secara maksimal dan memanfaatkannya guna pengembangan ekonomi bangsa walaupun minim sumberdaya alam.
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari kesuksesan Jerman dan Jepang, diantaranya adalah strategi yang diterapkan dalam mengelola sumberdaya manusianya agar bisa berdaya saing ditingkat regional maupun global.
Strategi-strategi tersebut, sebagaimana diungkapkan Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana (2003) antara lain:
1. Kerjasama
Di Jerman maupun Jepang, setiap organisasi ekonomi maupun sosial menggunakan social partner dimana mereka meyakini bahwa pelaku bisnis haruslah bekerjasama dengan pelaku ekonomi utama lainnya dalam usaha membangun organisasi ekonominya, berupaya menghubungkan tujuan-tujuan pribadinya atau organisasinya dengan kepentingan-kepentingan negara, dan menjauhi kecenderungan sifat-sifat individualistic dalam membangun organisasi ekonomi, karyawan juga tidak hanya melakukan pekerjaan tim tetapi juga karyawan dilibatkan dalam perencanaan dan perancangan pekerjaan, pengenalan teknologi baru, dan penetapan tingkat kompensasi yang melibatkan wakil dari tenaga kerja dan pihak manajemen organisasi tersebut.
2. Pendidikan dan Pelatihan Berkualitas Tinggi
Jerman menggunakan program magang yang sangat terstruktur yang menekankan pada pengembangan ketrampilan dan prestasi akademik, sedangkan Jepang mengandalkan pendidikan dasar dan lanjutan yang dilengkapi dengan pelatihan yang bersifat industry-based untuk mempersiapkan karyawan garis depan (front-line).
3. Keterlibatan dan empowerment karyawan
Baik Jerman maupun Jepang, para karyawan dilibatkan dalam fungsi-fungsi manajemen, seperti penentuan jam kerja, pengenalan teknologi baru, penetapan tingkat kompensasi, perencanaan sumberdaya manusia, perancangan pekerjaan, dan pengadaan latihan.
4. Kepemimpinan pada setiap Level
Di Jerman dan Jepang, kepemimpinan terdapat pada setiap level dan pelatihan, dimana kepemimpinan disediakan tidak hanya bagi para manajer, tetapi juga bagi karyawan front-line. Hal ini berguna dalam meningkatkan kualitas keterlibatan karyawan dalam usaha perbaikan terus-menerus.
Dari budaya yang diterapkan Jerman dan Jepang tersebut diatas, kemudian melahirkan sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan kualitas sumberdayanya secara terus-menerus, dan nilai-nilai ini kemudian menjadi tradisi yang mendasari organisasinya guna peningkatan mutu organisasinya untuk mampu bersaing dengan organisasi lain dalam meningkatkan pelayanan terhadap stakeholders.

B. Pengertian
Dalam pengertian umum, mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible (Akhmad Sudrajat;2009).
Sementara dalam konteks pendidikan, pengertian mutu dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu, terlibat input seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi, sarana prasarana, dan sumberdaya lainnya, manajemen sekolah, penciptaan suasana yang kondusif yang berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa, sarana pendukung di kelas maupun diluar kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup substansi yang akademis maupun non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Sedangkan mutu dalam konteks “ hasil pendidikan” mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai (student achievement) dapat berupa kemampuan akademis, dapat pula prestasi di bidang non-akademis.
Selanjutnya kepemimpinan, pengertiannyapun terus mengalami perubahan sesuai dengan peran yang dijalankan, kemampuan untuk memberdayakan (empowering) bawahan/anggota sehingga timbul inisiatif untuk berkreasi dalam bekerja dan hasilnya lebih bermakna bagi organisasi dengan sering mengarahkan, menggerakkan, dan mempengaruhi anggota. Dengan demikian, secara umum Wahyudi (2009) mengemukakan bahwa kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggerakkan, mengarahkan, sekaligus mempengaruhi pola pikir, cara kerja, setiap anggota agar bersikap mandiri dalam bekerja terutama dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan percepatan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Sehingga kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tujuan tertentu sebagai salah satu indikator keberhasilan seorang pemimpin. Dimana penerapan kepemimpinan ini sangat ditentukan oleh situasi kerja atau keadaan anggota dan sumberdaya pendukung organisasi. Karena itu jenis organisasi dan situasi kerja menjadi dasar pembentukan pola kepemimpinan seseorang. Dengan melihat kenyataan, dimana lingkungan terus berubah maka peran pemimpin tidak hanya berusaha menyesuaikan organisasi terhadap pergerakan inovasi di luar, tetapi juga harus mampu membawa organisasi sebagai referensi bagi institusi lain. Sehingga kreativitas dan inovasi muncul dalam suasana yang kompetitif dan penuh konflik diantara anggota untuk berbuat lebih baik pada setiap kesempatan.

C. Kepemimpinan di Bidang Pendidikan
Pemimpin Pendidikan juga memiliki peranan yang hampir sama dengan pemimpin organisasi formal lainnya. Sehingga dalam rangka peningkatan mutu, maka pemimpin pendidikan haruslah memahami budaya-budaya yang telah ada dalam organisasinya sebelum melakukan perubahan-perubahan menuju ke arah perbaikan, sebagaimana disampaikan oleh para ahli diantaranya:
1. Selalu mengidentifikasi perubahan-perubahan yang dibutuhkan, perlu diketahui bahwa biasanya budaya suatu organisasi sangat menentukan bagaimana orang-orang di dalam organisasi tersebut berperilaku, menanggapi masalah, dan saling berinteraksi. Untuk mengetahui apakah suatu organisasi telah memiliki budaya mutu, maka perlu dilakukan penilaian secara komprehensif apakah organisasi yang bersangkutan telah memiliki karakteristik-karakteristik budaya mutu, seperti:
· Komunikasi yang terbuka dan terus menerus
· Kemitraan internal yang saling mendukung
· Pendekatan kerjasama tim dalam proses dan dalam mengatasi masalah
· Obsesi terhadap perbaikan atau inovasi terus menerus
· Pelibatan dan pemberdayaan sumberdaya manusia secara luas
· Menginginkan masukan dan feedback dari stakeholders
2. Menuliskan perubahan-perubahan yang direncanakan, dimana penilaian komprehensif terhadap budaya organisasi yang ada saat ini biasanya akan mengidentifikasi perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan. Perbaikan ini membutuhkan perubahan-perubahan dalam status quo. Perubahan-perubahan ini harus diidentifikasi dan didaftar karena akan menjadi bahan kajian guna melakukan perbaikan-perbaikan.
3. Mengembangkan suatu rencana untuk melakukan perubahan, dimana rencana untuk melakukan perubahan dikembangkan berdasarkan model “siapa”,”apa”,”kapan”, “dimana”, dan “bagaimana”. Masing-masing elemen ini merupakan bagian penting dari rencana. Dimana “siapa” yang akan dipengaruhi perubahan tersebut? siapa yang harus dilibatkan agar perubahan tersebut dapat berhasil? siapa yang mungkin menentang adanya perubahan?. Sementara tugas “apa” saja yang harus diselesaikan? apa yang menjadi hambatan utama? proses dan prosedur apa yang akan dipengaruhi perubahan tersebut? Selanjutnya “kapan” perubahan itu harus dilaksanakan? kapan perkembangannya harus diukur? kapan tugas-tugas yang berhubungan dengan perubahan itu harus diselesaikan? kapan pelaksanaannya dirampungkan? Begitu juga “dimana” perubahan itu harus dilaksanakan? orang dan proses mana yang akan dipengaruhi? Dan “bagaimana” perubahan itu seharusnya dilaksanakan? bagaimana pengaruhnya terhadap orang dan proses yang ada saat ini? bagaimana pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas, produktivitas, dan daya saing?
4. Memahami proses transisi emosional, karena perlu diketahui bahwa pendukung perubahan memainkan peranan penting dalam pelaksanaan perubahan. Keberhasilan pelaksanaan tersebut sangat tergantung pada kemampuan para pendukung perubahan didalam memainkan peranannya. Mereka harus memahami fase-fase transisi emosional yang dilewati seseorang bila menghadapi perubahan, terutama perubahan yang tidak diharapkan. Transisi ini terdiri atas tujuah fase, yaitu goncangan (shock), penolakan (denial), realisasi (realization), penerimaan (acceptance), pembangunan kembali (rebuilding), pemahaman (understanding), dan penyembuhan (recovery). Sehingga bisa mengakomodir dan mengarahkan kondisi emosional ini untuk siap menerima perubahan yang diinginkan.
5. Mengidentifikasi orang-orang kunci dan menjadikan mereka pendukung perubahan. Orang kunci adalah orang-orang yang dapat mempermudah pelaksanaan perubahan dan orang-orang yang dapat menghambat pelaksanaan perubahan tersebut. Orang kunci harus diidentifikasi, dilibatkan, dan diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan permasalahannya. Agar bisa diketahui apa-apa saja yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam perubahan.
6. Menerapkan hearts and minds approach, karena biasanya pada awalnya orang yang cenderung bereaksi terhadap setiap perubahan lebih banyak berdasarkan level emosionalnya (hearts) daripada level intelektualnya (mind). Oleh karena itu para pendukung perubahan perlu menerapkan strategi komunikasi yang rutin dan terbuka. Setiap orang diberi kesempatan (termasuk penentang yang paling ekstrim) untuk menyampaikan persoalan dan keberatannya dalam forum terbuka. Kemudian keberatan tersebut dijawab dengan objektif, sabar, dan tidak bersifat pembelaan atau menepiskan.
7. Menerapkan strategi courtship (kemesraan). Courtship merupakan tahap dimana suatu hubungan berjalan secara lamban tetapi berarti, ke arah yang diharapkan. Bila pendukung perubahan menganggap hubungannya dengan penentang potensial sebagai hubungan yang mesra, maka mereka akan dapat melibatkan para penentang tersebut dengan lebih baik dan akhirnya dapat mengubah mereka menjadi pendukung perubahan.
8. Memberikan dukungan, dimana strategi ini meliputi dukungan material, moral, dan emosional yang dibutuhkan orang dalam menjalani perubahan.

D. Peran dan Upaya Pemimpin Pendidikan dalam Mengembangkan Budaya Mutu Organisasinya
Memang banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, namun yang paling esensi dari faktor-faktor penentu ini adalah pemimpin pendidikan itu sendiri. Karena pemimpin pendidikan merupakan perencana/konseptor, manajer/pelaksana, dan supervisor/penyelia.
Sebagai Konseptor/perencana/administrator, maka pemimpin harus memahami betul bahwa perencanaan pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis dalam keseluruhan proses pendidikan. Perencanaan pada hakikatnya merupakan kegiatan yang berorientasi ke depan. Sehingga dalam memberikan pendidikan yang bermutu, perencanaan pendidikan harus dirumuskan secara menyeluruh, mulai dari tingkat nasional (makro), departemen/daerah (meso), sampai pada tingkat institusi/sekolah (mikro). Pada tingkat mikro, perencanaan pendidikan diterapkan dalam konteks penyusunan perencanaan sekolah (Mulyono:2008). Dalam penyusunan perencanaan tingkat mikro ini dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan kontekstual, sebagaimana diungkapkan Djam’an Satori (2000) dalam Akdon (2007) mencakup:
1. Analisis pihak-pihak yang berkepentingan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi para guru dan kepala sekolah sebagai stakeholders internal, serta aspirasi siswa dan orang tua, masyarakat, dunia kerja, dan pemerintah sebagai stakeholders eksternal.
2. Perumusan visi, misi, dan tujuan pengembangan sekolah merefleksikan aspirasi para stakeholders, dimana visi, misi, dan tujuan menunjukkan arah dan orientasi pengembangan sekolah seperti yang dikehendaki oleh stakeholders.
3. Perumusan bidang hasil pokok (perluasan dan pemerataan mutu, relevansi, dan efektivitas dan efisiensi pengelolaan) perlu diartikulasikan sebagai rumusan-rumusan yang khas untuk lembaga sekolah tersebut.
4. Analisis posisi mencakup kajian lingkungan internal dan eksternal sekolah.
5. Kajian yang sistematis dan kritis terhadap lingkungan internal dan eksternal lembaga akan melahirkan sejumlah isu-isu strategis sebagai sumber bagi pengembangan sasaran dan program prioritas.
6. Perumusan sasaran pengembangan sekolah menggambarkan nilai-nilai perubahan atau keadaan yang diinginkan oleh lembaga.
7. Perencana perlu merumuskan dengan jelas strategi sasaran-sasaran perencanaan dan pengembangan sekolah, dan melibatkan seluruh komponen pendukung (dalam hal ini stakeholders internal dan stakeholders eksternal) sehingga semua kebutuhan stakeholders ini terakomodir guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
8. Program pengembangan lembaga sekolah diturunkan dari strategi tindakan untuk mencapai sasaran pengembangan.
9. Pelaksanaan atau implementasi suatu program merupakan fase kritis, sehingga dibutuhkan peran seluruh komponen pendukung pelaksana program secara menyeluruh dan optimal.
10. Pengendalian dan umpan balik dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pencapaian sasaran dan mengkaji aspek efisiensinya.
Sebagai Manajer/pelaksana/pengelola, maka pemimpin pendidikan secara operasional melaksanakan pengelolaan kurikulum, peserta didik, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan ketatausahaan. Semua kegiatan-kegiatan operasional tersebut dilakukan melalui seperangkat prosedur kerja yang meliputi; perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Berdasarkan tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan di tingkat mikro utamanya, maka pemimpin pendidikan melaksanakan pendekatan-pendekatan baru dalam rangka meningkatkan kapasitas sekolah (Yukl:2009).
Dengan demikian dibutuhkan pemimpin pendidikan yang memiliki ketrampilan manajerial yang baik mencakup conceptual skill, human skill, dan technical skill. Menurut Tracey (tanpa tahun) dalam Akhmad Sudrajat (2009), conceptual skill yakni kemampuan seorang pemimpin dalam melihat organisasi sebagai satu kesatuan secara menyeluruh, human skill yakni kecakapan pemimpin untuk bekerja secara efektif sebagai anggota kelompok dan untuk menciptakan usaha kerjasama dilingkungan kelompok yang dipimpinnya, sedangkan technical skill yakni kecakapan spesifik tentang proses, prosedur, atau teknik-teknik, atau merupakan kecakapan khusus dalam menganalisis hal-hal khusus dan penggunaan fasilitas, peralatan, serta teknik pengetahuan yang spesifik.
Dari ketiga skill tersebut, technical skill merupakan karakteristik khas pemimpin pendidikan yang harus didalami dan dimiliki pemimpin pendidikan di tingkat mikro, yang berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 13 tahun 2007, antara lain:
1. Kemampuan menyusun perencanaan sekolah untuk berbagai tingkat perencanaan (yakni perencanaan strategis, perencanaan operasional, perencanaan tahunan, sampai pada perencanaan anggaran belanja).
2. Kemampuan mengembangkan organisasi sekolah sesuai dengan kebutuhan (yakni kebijakan, struktur, deskripsi tugas personalia)
3. Kemampuan memimpin sekolah dalam rangka pendayagunaan sumberdaya sekolah secara optimal (baik sumberdaya manusia, sumberdaya dana, dan sumberdaya sarana prasarana).
4. Kemampuan mengelola perubahan dan pengembangan sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif.
5. Kemampuan menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik.
6. Kemampuan mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumberdaya manusia dalam rangka peningkatan mutu secara optimal.
7. Kemampuan mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran secara optimal.
8. Kemampuan mengelola hubungan sekolah dengan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber-sumber belajar, dan pembiayaan pendidikan di sekolah.
9. Kemampuan mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan siswa baru, penempatan, dan pengembangan kapasitas siswa secara optimal.
10. Kemampuan mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran secara optimal sesuai dengan arah dan tujuan yang ingin dicapai, dan
11. Kemampuan memonitoring dan mengevaluasi semua program kegiatan yang dilaksanakan guna perbaikan dan peningkatan kualitas.
Sebagai Supervisor/penyelia/evaluator, maka sebagai pemimpin pengajaran, pemimpin pendidikan di sekolah berfungsi melakukan pembinaan profesional kepada guru dan tenaga kependidikan. Untuk itu kegiatan pemantauan atau observasi kelas mutlak dilakukan secara teratur sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai, melakukan pertemuan guna memberikan pengarahan teknis kepada guru dan staf dan menawarkan solusi bagi permasalahan pembelajaran yang dialami guru (Suryosubroto:2004). Dalam pelaksanaan kegiatan sebagai supervisor (Permendiknas nomor 13 tahun 2007), pimpinan pendidikan diharapkan harus mampu:
1. Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru
2. Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan teknik supervisi yang tepat
3. Menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
Sehingga dalam posisi sebagai pengambil keputusan dan kebijakan di tingkat mikro, pemimpin pendidikan di sekolah; sebagaimana diisyaratkan dalam manajemen pendidikan berbasis sekolah diberi keleluasaan melakukan inovasi-inovasi dan kreatif dalam me-manaj institusinya guna peningkatan mutu institusi yang dipimpinnya. Upaya-upaya peningkatan mutu masing-masing institusi berbeda-beda, namun dari beberapa pengalaman kami dalam upaya ke arah ini dapat kami sampaikan seperti:
1. Sumberdaya
Pimpinan pendidikan harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumberdaya sesuai kebutuhan institusinya. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk; (a) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalokasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (b) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (c) mengurangi kebutuhan birokrasi.
2. Personil
Pimpinan pendidikan harus; (a) terlibat dan bertanggungjawab dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan, kualifikasi, loyalitas, profesionalisme, performa pedagogic yang diinginkan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya), (b) pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kompetensi semua personil, termasuk pemimpin pendidikan dilakukan secara terus-menerus.

3. Kurikulum
Berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, pimpinan sekolah bertanggungjawab untuk mengembangkan kurikulum tersebut, baik standar materi (content) maupun proses penyampaiannya. Sehingga ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ini, antara lain: (a) pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa, (b) bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumberdaya yang ada, (c) pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
4. Pertanggungjawaban (accountability)
Dimana pada tataran ini, pemimpin pendidikan secara khusus, dan institusi yang dipimpinnya secara umum dituntut untuk memiliki akuntabilitas baik kepada stakeholders, karena hal ini merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan stakeholders.
Namun ada satu hal lagi yang mungkin agak ekstrim, tetapi bisa jadi merupakan sebuah solusi, karena tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu motivasi masyarakat kita dalam mengenyam pendidikan adalah memperdalam berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan berbagai ketrampilan guna persiapan memasuki dunia kerja dan menciptakan lapangan kerja. Sehingga diharapkan ke depannya nanti lembaga-lembaga pendidikan kita sudah harus di desain menjadi lembaga pendidikan yang berorientasi pada penyiapan tenaga kerja terampil, yakni lembaga pendidikan kejuruan yang sudah harus dimulai dari pendidikan dasar setingkat SMP/MTs (mengikuti pola Jepang dalam menyiapkan sumberdaya manusianya) sehingga spesialisasi ini akan terbangun sejak siswa berada di lembaga pendidikan dasar dan pada akhirnya spesialisasi ini akan terbawa sampai ke jenjang pendidikan lanjut sekaligus sampai menuju ke dunia kerja. Kita lebih memilih pola kolaborasi Jerman dan Jepang dalam mepersiapkan sumberdaya manusianya. Dimana Jerman dengan pola magang, sementara Jepang dengan menerapkan industry-based mulai dari tingkat pendidikan dasarnya. Sehingga untuk memperkaya pengetahuan dan ketrampilan, kita juga bisa melanjutkan proses perbaikan pendidikan kita dengan magang (mengikuti pola Jerman dalam mempersiapkan sumberdaya manusianya).
REVERENSI

Akdon. (2007). Strategic Management for Educational Management (Manajemen Strategik
untuk Manajemen Pendidikan). Bandung: Alfabeta.
Depdiknas. (2007). Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007, tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah.

Mulyono (2008). Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Salis, Edward (Penerjemah D.C.Kambey dan E.S.Kambey) (2004). Total Quality Management
in Education (Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan). Universitas Negeri
Manado.

Sudrajat,Akhmad (2009). Manajemen Kepala Sekolah Dalam Pelayanan Publik (Artikel Jurnal
UPI Bandung). Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

Suryosubroto,B (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Tjiptono,Fandi & Anastasia Diana (2003). Total Quality Management. Yogyakarta: Andi

Umaedi (1999). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (sebuah pendekatan baru
dalam Pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu). Direktorat Pendidikan
Menengah Umum Jakarta

Wahyudi (2009). Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajar (Learning
Organization). Bandung: Alfabeta

Yukl, Gary (2009). Leadership in Organization (Kepemimpinan Dalam Organisasi). Jakarta:
Indeks.