MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL

MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL
NEGERI YANG DAMAI DAN PENUH PESONA

Rabu, 05 Mei 2010

IPTEK SEBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI SEBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh:
UDIN WAHYUDIN
A. PENDAHULUAN
Perkembangan pesat yang dialami dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sebagaimana yang kita saksikan pada masa ini telah mengundang berbagai reaksi. Dan di antara reaksi-reaksi tersebut, sekurang-kurangnya ada dua model reaksi ekstrim sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad. W, Praktiknya Ekstrim pertama adalah mereka yang melihat berbagai perkembangan itu secara optimistik yang berlebihan, dan beranggapan bahwa keadaan itu adalah suatu yang wajar sebagai indikasi modern. Mereka memandang kehadiran dan perkembangan IPTEK itu sebagai variabel modern yang bersifat mutlak dan dominan. Sedangkan mereka yang berada pada Ekstrim lain melihat perkembangan IPTEK tersebut secara pesimistik dan cemas yang berlebihan. (Blasius Lodo Dai; Globalisasi, IPTEK, dan harapan Manusia,” dalam seri buku Vox: Citra Manusia abad ke-21 (Flores; Arnoldus Ende, 1998), hal. 129.
IPTEK dipandang sebagai salah satu landasan pendidikan. Mengapa? Karena peran IPTEK ini sangat besar dalam mengembangkan pendidikan. Sebelum menjelaskan peranan IPTEK sebagai salah satu landasan pendidikan, terlebih dahulu kita akan mencari pemahaman yang jelas tentang apa itu Ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dua tema sentral yang akan menjadi objek kajian penulis berhubungan dengan topik ini adalah IPTEK dan Pendidikan. Mengapa? Karena IPTEK merupakan salah satu landasan pendidikan. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan bagaimana peran IPTEK itu sehingga ia bisa dikatakan sebagai salah satu landasan dalam pendidikan. Namun sebelumnya, penulis akan memberikan sebuah gambaran atau deskripsi singkat tentang apa itu hakikat pendidikan.
B. Hakikat Pendidikan
Untuk memehami hakikat pendidikan seharusnya kita mengambil karakter evolusi. Mengapa demikian? Karena manusia secara kodrati adalah makhluk evolusi. Secara kodrati manusia berada dalam proses menjadi; yaitu proses perkembangan dari keadaan yang tidak sempurna menjadi semakin sempurna. Proses evolusi manusia melibatkan fisik, mental dan intelektual. Proses perkembangan manusia lebih menyangkut kepribadian.
Dalam pengertian ini pendidikan harus ditempatkan dalam perkembangan dan perubahan kepribadian manusia. Semakin manusia berubah, semakin pula pendidikan berkembang dan berubah serta menemukan maknanya.
Berbicara tentang pendidikan, kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa ada subyek pendidik dan subyek anak didik. Subyek pendidik dan anak didik harus ditempatkan dalam konteks pelaku pendidikan. Disini kita dapat memahami bahwa pendidikan dimengerti sebagai upaya transformasi pengetahuan semata, namun lebih merupakan hubungan timbal balik antara pendidik dan subyek anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Pada umumnya dalam proses evolusi pendidikan, anak didik mengalami perjumpaan dengan beberapa pelaku pendidikan, misalnya: pertama, pendidikan informal, disini anak didik mengalami pembinaan dan pendidikan dari orang tua. Orang tua menjadi pelaku utama pendidikan dasar anak dalam keluarga sebelum anak masuk pada usia sekolah. Penekanan pendidikan dalam keluarga lebih menyangkut nilai-nilai moral dan etis anak untuk tahu menghargai orang lain, orang tua, dan teman-teman. Pendidikan yang kedua adalah pendidikan formal. Di sini anak didik berjumpa dengan guru yang memberikan perhatian pada dimensi intelektual dan mental. Pendidikan selanjutnya yaitu pendidikan non-formal. Anak didik secara tak terelakkan dalam pergaulannya ia berjumpa dengan masyarakat yang menjadi ruang lingkup keberadaannya. Dalam pendidikan non-formal penekanannya terletak pada dimensi sosial.
Pihak lain juga yang wajib terlibat dalam upaya peningkatan pendidikan adalah pemerintah. Pemerintah mempunyai kewajiban dan komitmen untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan; gedung sekolah, para pendidik serta memberikan kesejahteraan kepada para pendidik. Pihak yang lain ialah pihak peserta didik itu sendiri. Tekanan yang harus ditunjukan pada subyek didik adalah dimensi kemanusiaan dalam pendidikan. Anak didik tidak harus dipandang sebagai obyek pendidikan namun sebaliknya harus dipandang sebagai subyek pendidikan. Dalam pengertian ini bahwa pendidikan tidak dipahami sebagai tindakan transformasi ilmu pengetahuan oleh pendidik yang menganggap tahu banyak kepada anak didik yang dianggap tidak tahu. Upaya yang harus dilakukan oleh pendidik yaitu memotivasi dan menuntun anak untuk berperan aktif, kreatif dan dinamis dalam proses pendidikan.
Memahami keberadan manusia dalam proses evolusi kita akan mengenal tiga status manusia yang serentak menjadi identitasnya yakni; “manusia berada”, “manusia harus berada”.
Manusia berada dimaksudkan manusia mempunyai status quo yaitu status keadaan semula keberadaan manusia. Manusia harus berada, dimengerti sebagai status deontologis yaitu status ideal keberadaan manusia. Dan manusia dapat berada sering disebut sebagai status situasional. Status manusia yang mempunyai potensi mencapai tujuan akhir atau idealitas perkembangan manusia.
Pendidikan dalam kerangka evolusi berhubungan erat dengan konsep antropologis manusia. Bahwa manusia yang berubah dan terarah pada perkembangan ke depan mempunyai dasar antropologis yaitu possum (Possum artinya saya dapat). Prinsip perkembangan manusia adalah manusia mempunyai potensialitas yang terarah pada aktualitas.
Dalam kaitannya dengan subyek pendidik harus ditegaskan bahwa anak didik secara kodrati tidak berada dalam keberadaan yang tetap namun terus-menerus berevolusi, berubah dan berkembang menuju kesempurnaan dan kematangan hidup. Demikian juga proses pendidikan yang berlangsung harus dijiwai oleh proses evolusi bahwa perkembangan pendidikan seiring dan selaras dengan perkembangan kepribadian manusia.
C. Pendidikan Sebagai Ilmu
Untuk memahami pendidikan sebagai ilmu kita harus merujuk kepada kriteria yang menegaskan keabsahan sebuah pengetahuan. Pengetahuan dapat disebut ilmu harus memiliki tiga unsur yaitu sistimatis, metodis, dan koheren. Sistimatis berarti pendidikan harus mengikuti sistim dan syarat yang dapat dipertanggungjawabkan. Metodis berarti pendidikan harus diselenggarakan dengan metode ilmiah. Sedangkan koherensi menunjuk pada satu kesatuan sistim dan metode yang berlangsung. Demikian pendidikan sebagai ilmu menempatkan manusia dalam keseluruhan proses evolusinya. Proses evolusi yang melibatkan aspek biologis, sosiologis, mental dan intelektual.
Pendidikan sebagai ilmu meliputi tiga hal yaitu pertama, ilmu teoritis, yaitu ilmu yang menentukan pernyataan-pernyataan teoritis dan syarat bagi pendidikan. Kedua, ilmu praktis yang berkaitan dengan sarana-sarana tertentu untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan. Dan yang ketiga ilmu deskriptif dan normatif, yaitu ilmu yang merumuskan hukum dan kriteria pendidikan dalam kaitannya dengan kepribadian subyek didik dan situasi lingkungan.

D. Pendidikan sebagai Seni
Mengutip istilah A. Mercateli, pendidikan dimengerti sebagai seni untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menunjang untuk kegiatan yang mampu mengarahkan evolusi seorang individu; seni untuk memanipulir praktek-praktek tertentu, seni untuk menuntut anak didik menuju sasaran-sasaran tertentu. (A. Mercateli; Pedagogia, Educare Oggi (Brecia: La Scola, Roma Antonianus, 1991), dalam J. Montolalu, Filsafat Pendidikan).
Pendidikan sebagai seni dimaksudkan bahwa dalam proses pendidikan, subyek pendidik harus tampil sebagai seorang seniman atau artis. Pendidik adalah figur yang patut diteladani oleh subyek didik. Peran ketokohan pendidik ditunjukan melalui kemampuan untuk mengadaptasi dan mengakomodasi sarana dan metode pendidikan serta situasi dan lingkungan dimana anak didik mengalami dan mengenyam pendidikan.
Sampai disini kita dapat memahami bahwa agar tidak mengalami ketimpangan dalam proses pendidikan, pendidikan harus bersifat ilmu dan bersifat seni. Subyek pendidik tidak hanya membagikan pengetahuan namun juga tampil sebagai seniman yang senantiasa mencari sarana-sarana dan model konseptual demi suatu campur tangan yang cocok dan mendidik (J. Montolalu; Filsafat Pendidikan) hal.7.


E. Pendidikan sebagai Usaha Pemanusiawian Manusia
Menurut Driyarkara, Pendidikan adalah suatu usaha pemanusiawian. Dikatakan manusiawi mengingat pendidikan berhubungan dengan manusia. Pendidikan merupakan hak dan kebutuhan mendasar manusia. Manusia sendirilah yang merupakan subyek yang menentukan dan mengalami pendidikan. Kerangka pemikiran Driyarkara tentang pendidikan adalah proses pemberdayaan manusia menuju tingkat yang lebih sempurna. (Sudiarja, A. “Driyarkara: Pendidikan Kepribadian Nasional”. Senada dengan konsep Driyarkara ini, Dr. Sam Ratulangi mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya pemanusiawian manusia. Konsepnya ini didasarkan atas tesis dasar pemikirannya tentang SI TOU TIMOU TUMOU TOU artinya manusia ada untuk memanusiakan manusia lain. Manusia secara kodrati berada tidak hanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi manusia hadir untuk orang lain juga. Disini dapat dimengerti bahwa pendidikan merupakan usaha manusia untuk memanusiakan orang lain. Dalam hubungan dengan pendidikan ditekankan aspek humaniora. Bahwa subyek pendidik memandang anak didik sebgai individu yang pantas dan patut diperhatikan. Motivasi utama yang muncul dalam diri seorang pendidik adalah panggilan kemanusiaan. Manusia terpanggil untuk saling memberdayakan satu dengan yang lain.


F. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
1. Ilmu Pengetahuan
Imu pengetahuan merupakan gabungan dari dua kata; “ilmu” dan “pengetahuan”. Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata bahasa inggris : science, yang aslinya berasal dari bentuk kata bahasa latin scinentia yang berarti “pengetahuan”. Kata ini berasal dari bentuk kata kerja scire yang artinya mempelajari atau mengetahui.
Pada mulanya ilmu mempunyai cakupan yang secara etimologis menunjuk pada pengetahuan semata-mata. Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian ilmu ini mengalami perluasan arti, sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik (systematic knowledge), (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 126). Selanjutnya, kata “pengetahuan” berasal dari kata dasar “tahu” atau dalam bahasa Inggris ‘to know’ yang berarti tahu atau mengetahui. Kata ini menunjuk pada pemahaman tentang dunia dan hakikat sesuatu. Ada sebagian tokoh yang menganggap ilmu juga secara sederhana sebagai pengetahuan, namun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua pengetahuan itu bisa disebut sebagai ilmu, karena ilmu merupakan kumpulan pengetahuan sistematis.
Dari penjelasan di atas, Penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu penjelajahan ilmiah berdasarkan observasi setiap person terhadap realitas untuk memperoleh pemahaman yang penuh. Definisi ini kurang lebih sama dengan pandangan M. T. Zen yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu eksplorasi ke alam materi berdasarkan observasi, dan yang mencari hubungan-hubungan alamiah yang teratur mengenai fenomena yang diamati serta bersifat mampu menguji diri sendiri. (M.T. Zen, Sains, Teknologi dan Hari Depan; Jakarta; P.T. Gramedia, 1982, hal. 9).
G. Teknologi
Ensiklopedi Nasional Indonesia mengartikan kata Teknologi sebagai ilmu mengenai teknik. (Ensiklopedi Nasional Indonesia, Entri Teknologi, hal. 163). Teknik ialah metode / cara dan keterampilan untuk membuat sesuatu atau mengerjakan benda-benda. Dalam arti yang sempit teknologi diartikan dengan peristilahan, dan praktik sains terapan yang mempunyai nilai praktek atau penggunaan di industri. Dalam arti yang agak lebih luas: teknologi adalah semua proses yang bersangkutan dengan bahan. Teknologi bukanlah bakat atau kodrat, melainkan harus dipelajari, baik sebagai sains terapan maupun sebagai suatu kecakapan tangan.
Teknologi sebenarnya mencakup ilmu pengetahuan dan engineering atau teknik. Jadi teknologi itu sendiri sebenarnya telah mengandung ilmu pengetahuan di dalamnya. Namun dalam arti tertentu dan banyak dipakai bahwa teknologi merupakan applied science, yaitu penerangan ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan manusia.
Jadi sebenarnya, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena saling terkait. Ilmu pengetahuan tanpa teknologi bagaikan pohon tidak berbuah, sedangkan teknologi tanpa ilmu pengetahuan bagaikan pohon tanpa akar.
Sementara itu, Burhanudin Salam dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi” hal. 20 memberikan pengertian bahwa yang dimaksud teknologi adalah: “Penggunaan yang efisien dari ilmu, keterampilan, dan bahan untuk memproduksi benda-benda kebudayaan”. Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa dalam teknologi, kerja sama antara pikiran dan tangan merupakan alat yang efektif untuk memproduksi barang. Melalui kerja sama antara pikiran dan tangan, manusia yang tidak lengkap ini mampu bertahan untuk hidup, tidak saja dalam menghadapi binatang buas dan secara alamiah lebih diperlengkapi, tetapi juga dalam menghadapi keganasan alam. Untuk mempertahankan diri terhadap binatang buas misalnya, manusia primitif membuat senjata. Sedangkan untuk mempertahankan diri terhadap perubahan cuaca, mereka membuat baju, tempat tinggal, membuat api, dan lain-lain. Melalui teknologi orang telah mampu memperluas jangkauannya membuat gerobak, kapal, mobil, dan kapal terbang. Disamping memperkuat dan memperluas jangkauan tangan, teknologi juga mampu menyempurnakan organ-organ tubuh lainnya. Alat-alat optik misalnya, mampu membantu mata melihat benda-benda yang sangat kecil atau yang letaknya sangat jauh. Telepon dan radio mampu meningkatkan kemampuan manusia dalam mendengar dan komputer dalam berpikir.
Bila dipandang secara keseluruhan maka perkembangan teknologi menunjukkan kemajuan yang terus-menerus. Pada tahap pertama perkembangan kebudayaan, teknologi baru membantu pekerjaan yang dilakukan dengan tangan manusia. Kemudian dengan digunakannya binatang, roda, dan as, setahap demi setahap tenaga alam menggantikan tenaga manusia. Mesin-mesin makin lama makin disempurnakan dan menjadi lebih kuat sesuai dengan adanya perkembangan di bidang tenaga uap, tenaga listrik, dan tenaga nuklir. Sejalan dengan perubahan setahap demi setahap dari penggunaan secara langsung tangan manusia pada alat-alat dan mesin maka terjadi pula perubahan dari penggunaan hasil alam secara langsung kepada penggunaan bahan-bahan sintetis hasil teknologi.
Sekarang kemajuan teknologi sudah sampai pada pengembangan otomatisasi. Masalahnya sudah bukan lagi pada peningkatan kemampuan organ-organ tubuh manusia, akan tetapi sudah sampai pada meniru perbuatan manusia sebagai suatu sistem tertutup. Dalam otomatisasi, mesin mengambil alih segala pekerjaan yang tadinya dilakukan manusia.
Kemajuan teknologi ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan individual, sosial, dan kebudayaan. Dengan adanya peningkatan produksi yang tinggi maka berbagai macam kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan lebih baik. Tetapi di lain pihak teknologi cenderung membuat manusia menjadi suatu unit yang abstrak dalam hubungan yang abstrak dari suatu masyarakat dan kebudayaan teknologi. Jadi, inti dari masalah kehidupan modern adalah proses menjadi abstrak, yang dapat melemahkan kehidupan pribadi dan hubungan sosial. Kepribadian kehilangan perasaan aman, dan dalam kehidupan sosial, perasaan setia kawan menjadi berkurang.
Teknologi, pada dasarnya adalah suatu hasil dari proses evaluasi secara teoretis dan ekonomis. Proses evaluasi secara teoretis menghasilkan pengetahuan yang diperlukan tentang alam. Sedangkan proses evaluasi secara ekonomis memungkinkan adanya efisiensi dalam pembuatan benda-benda berdasarkan pengetahuan teoretis. Karena itu, prestasi terbesar dari teknologi adalah dalam lingkungan kehidupan ekonomi, yaitu dalam menghasilkan benda-benda ekonomi. Akan tetapi, tentu saja masalah efisiensi ini juga penting pada benda-benda kebudayaan lainnya.
Teknologi tidaklah hanya menjangkau benda-benda yang bersifat materi saja. Teknologi dapat juga menjangkau ruang lingkup benda-benda nonmateri, seperti konsep, ide, gagasan, cita-cita, norma, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup benda-benda nonmateri, peranan benda-benda instrumen seperti isyarat dan simbol sangatlah penting. Bahasa merupakan suatu sistem dari simbol.
Baik pengetahuan filsafat maupun pengetahuan ilmu tidak dapat menjawab seluruh permasalahan manusia dengan tuntas, atau kebenarannya karena bersifat nisbi (relatif). Apabila kita ingin memperoleh jawaban yang tuntas dari segala permasalahan hidup dan kehidupan manusia maka kita harus mengejar jenis pengetahuan yang terakhir, ialah pengetahuan agama, yang memiliki kebenaran yang mutlak (absolut), karena bersumber dari yang Maha mutlak, Maha benar, Maha bijaksana, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
H. SEKILAS PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mengalami perjalanan yang panjang, berliku-liku dan bertahap-tahap, namun kesemuanya itu sambung-menyambung. Perkembangan ilmu pengetahuan terlebih khusus boleh dibilang telah dimulai sejak abad ke-3 SM, yaitu oleh para ahli pikir Yunani Kuno.
Selama kurun waktu 24 abad, tentu banyak sekali pengusahaan ilmu pengetahuan itu, baik yang menyangkut titik tolak dan motivasinya , maupun obyek dan hasil-hasil kesimpulannya. Bermacam-macam pemikiran religius dan filsafat telah pula mempengaruhi kesemuanya itu, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan paham dalam hal persepsi ilmiah yang harus diambil, kriteria yang diperlukan, fungsi yang diberikan pada ilmu pengetahuan itu sendiri, dan sebagainya. Demikian juga berbagai bidang telah digarap dan ditekuni, baik yang fisik maupun metafisik, yang eksak maupun abstrak, yang terapan maupun yang murni, dan sebagainya, sehingga kita sekarang mengenal bermacam-macam disiplin ilmu, masing-masing dengan teori dan metodologinya sendiri-sendiri, yang hanya dapat dipahami dan ditangani dengan baik oleh para ilmuwan yang menekuninya secara khusus. (Sutarno, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Perkembangan Moral Manusia; dalam Ilmu, Pengetahuan dan Etika, penyunting Supardan; Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 1991), hal. 133.
Dalam perkembangannya sampai kira-kira abad ke-16, ilmu pengetahuan manusia itu boleh dikatakan masih belum dikaitkan dengan, ataupun dimanfaatkan bagi teknik. Teknologi baru dimulai pada zaman renaisance, sebagai akibat munculnya dorongan dari dua pihak. Pada satu pihak, muncul pandangan-pandangan baru di dalam pemikiran filsafat, dimana kedudukan dan peran manusia terhadap alam (termasuk dirinya sendiri) memperoleh arti dan tekanan yang semakin besar. Dan pihak lain, yaitu desakan perkembangan kebutuhan serta persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapi dan harus diatasi. Dengan demikian, ilmu pengetahuan semakin memperoleh, dan memang diarahkan kepada, watak yang utilitarian, artinya dikaitkan kemanfaatan dan kegunaannya yang langsung bagi kehidupan kongkret manusia. (Sutarno, Ibid; hal. 138).
I. IPTEK SEBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN
Seperti telah dikatakan di atas, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia sekarang telah berlangsung dalam lintasan sejarah yang cukup panjang. Sejak kurang lebih abad ke tiga sebelum Masehi, ilmu pengetahuan telah berusaha dikembangkan oleh para filsuf Yunani kuno. Sedangkan teknologi baru mulai sejak Zaman renaisance. Pertanyaannya adalah mengapa ilmu pengetahuan dan teknologi dikatakan sebagai salah satu landasan dalam pendidikan?
Keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan akibat langsung dari eksistensi manusia yang kemudian membentuk historisitas pendidikan sejak lahir sampai mati. Jadi, jika manusia tidak eksis dalam rentetan panjang kependidikan, sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mungkin ada.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu sistem intelektual pemberdayaan manusia yang dihasilkan dari sistem kegiatan pendidikan. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, segala perubahan yang direncanakan oleh pendidikan dapat dikerjakan. (Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan; AR-RUZZ MEDIA: Yogyakarta, 2009), hal. 111.
Fakta membuktikan bahwa teknologi mampu mempraktikkan teori ilmu dalam sistem perindustrian. Dengan perindustrian, dinamika kehidupan manusia mengalami perubahan yang begitu cepat. Dengan teknologi dan perindustrian, kini manusia seolah-olah bisa melakukan semua hal sesuai dengan yang dikehendaki. Ada yang berpendapat bahwa dengan teknologi dan industri, manusia semakin mampu untuk membuktikan bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling istimewa.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi mendukung tanggungjawab untuk membudayakan eksistensi kehidupan manusia. Artinya: dengan peralatan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia semakin lebih berpeluang untuk menciptakan perubahan-perubahan yang bermanfaat bagi kehidupan yang lebih berkembang dan maju. Perkembangan di bidang ilmu pengetahuan misalnya, telah mampu memberikan manusia paradigma-paradigma yang baru. Sebagai contoh: dulunya manusia menganggap bahwa adalah mustahil kita bisa sampai ke bulan, namun ternyata pada abad 20 karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang bisa merakit sebuah pesawat dan bisa sampai di bulan (pesawat Apollo yang dikendarai Neil Amstrong dapat sampai ke bulan).
Selain itu, dengan teknologi, pendidikan mampu membuat perubahan; dan dengan pendidikan, teknologi diharapakan mampu membuat kehidupan semakin berkembang dan maju. Berkembang dan maju dalam arti bernilai kultural manusiawi, sehingga segala kebutuhan hidup dapat lebih mudah dicukupi dan dapat dimanfaatkan secara adil dan merata. Dengan pendidikan teknologi, jalan menuju kesejahteraan umum semakin terbuka. (Ibid).
Dengan adanya teknologi, manusia mampu menciptakan berbagai mesin dan alat-alat elektronik yang bisa menunjang pendidikan. Misalnya: mesin foto copy, komputer, LCD, internet dan lainnya. Tentunya semua sarana ini sangat memberikan sumbangan yang berarti bagi pendidikan manusia sehingga pola pikir manusia bisa berkembang dan maju dalam segala segi kehidupan manusia.
J. REFLEKSI KRITIS ATAS PERKEMBANGAN IPTEK BAGI KEHIDUPAN PENDIDIKAN MANUSIA
Dari pembahasan di atas, kita dapat melihat betapa pentingnya IPTEK dalam pendidikan. Oleh karena kepentingannya inilah maka IPTEK dimasukkan sebagai salah satu landasan dalam pendidikan. Seperti diketahui bahwa di zaman sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu maju dengan pesat, dan merupakan dasar bagi kemajuan pendidikan; kimiawi, medis dan industrialisasi. IPTEK telah menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat sekarang ini, bahkan seolah-olah menjadi dewa dalam era globalisasi yang telah merambah. IPTEK dipandang dapat membantu manusia menyelesaikan sejumlah persoalan yang menghadang dalam kehidupannya. Sampai pada titik ini, IPTEK dapat memberikan banyak manfaat bagi pendidikan manusia secara umum.
Di balik keberhasilan IPTEK tersebut, ternyata terdapat wajah lain yang berlawanan. IPTEK juga menghadirkan sejumlah kontribusi yang mengecewakan. “Dunia resah gelisah ditengah kemakmuran yang mengapung di atas kemiskinan, berdansa menari di bawah lampu perdamaian di atas ubin berlandaskan bom-bom nuklir. Dua pertiga warga dunia berada dalam kemiskinan, menderita lapar dan kekurangan gizi. Sumber daya alam dan energi semakin menyusut. Di mana-mana timbul keresahan mengenai pencemaran lingkungan. Kota-kota di negara berkembang bertambah pengap dan sesak. Kenakalan remaja, kriminalitas dan ancaman narkotika tidak lagi terbatas pada kota-kota negara maju. Dari daratan Asia sebelah selatan ratusan manusia bergelimang dalam sedih dan derita memilih ditelan ombak laut yang ganas daripada tinggal di daratan dan hidup di bawah pemerintahan lalim yang mereka tolak.” (M. T. Zen, Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia, hal. 24).
Itulah contoh-contoh akibat dari wajah suram kemajuan IPTEK. Perlombaan senjata nuklir, polusi industri, mesin-mesin pertambangan canggih yang menguras hasil bumi, yang kesemuanya itu hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat elit dan pemerintah, ternyata memberikan dampak negatif bagi sebagian besar masyarakat dunia terutama mereka yang miskin. Contoh-contoh lain yang bisa ditambahkan yaitu kemajuan IPTEK di bidang medis seperti: kloning, eutanasia, aborsi dan bayi tabung.
Kemajuan-kemajuan tersebut memperlihatkan bahwa begitu lajunya perkembangan IPTEK sehingga ada sebagian nilai-nilai pendidikan yang tertinggal di belakang. Sebut saja nilai pendidikan kemanusiaan misalnya seolah-olah terkikis dengan daya pikat IPTEK yang begitu dahsyatnya. Manusia sering menjadi objek bagi perkembangan IPTEK itu sendiri. Sehingga menjadi kabur antara siapa yang menguasai dan dikuasi; apakah manusia yang menguasai IPTEK atau IPTEK yang menguasai manusia? Manusialah yang menguasai IPTEK dan oleh sebab itu pendidikan yang membangun sangat diharapkan bisa dilakukan oleh para pengajar di sekolah, atau pun di rumah. IPTEK digunakan sebagai sarana yang berguna dalam pendidikan, dan bukannya sebaliknya, IPTEK digunakan sebagai sarana yang menghancurkan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedia Nasional Indonesia, Entri Teknologi, hal. 163.
Lodo Dai, Blasius. “Globalisasi, IPTEK, dan Harga Manusia,” dalam
seri buku Vox: Citra Manusia abad ke-21 (Flores:
Arnoldus Ende, 1998).
Mercatali, A. Pedagogia, Educare Oggi (Bracia: La scola, Roma
Antonianus,1991), dalam J. Montolalu, Filsafat
Pendidikan.
Salam. Burhanudin, Drs., M.M. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi:
Rineka Cipta, Jakarta, 2000).
Sudiarja, A. “Driyarkara: Pendidikan Kepribadian Nasional” dalam
Basis No. 07-08, Tahun ke-56, Juli-Agustus 2007.
Suparlan Suhartono, M.Ed., Ph.D., Filsafat Pendidikan, (AR-RUZZ
MEDIA: Yogyakarta, 2009).
Sutarno, “Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Perkembangan
Moral Manusia” dalam Ilmu, Pengetahuan dan Etika,
Penyunting Drs. Supardan M.A. (Jakarta: P.T. BPK Gunung
Mulia, 1991).

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Liberty, Yogyakarta,
2007.
Zen, M.T. Sains, Teknologi dan Hari Depan (Jakarta: P.T. Gramedia, 1982).

PERAN INFORMASI DALAM ORGANISASI PENDIDIKAN

PERAN INFORMASI DALAM ORGANISASI PENDIDIKAN

OLEH :

Udin Wahyudin

A. Pengertian Informasi
Terdapat beragam definisi sistem informasi yang telah dikemukakan oleh para pakar informasi. Berikut adalah beberapa definisi informasi yang dikutip dari berbagai literatur informasi.
1. Informasi merupakan sesuatu yang menunjukkan hasil pengelolaan data yang diorganisasikan dan berguna kepada orang yang menerimanya (Barry E. Cushing, 1985. Dalam Kambey Daniel C, MA. Ph.D, 2010).
2. Informasi dapat didefinisikan sebagai data yang telah diubah (converted) menjadi sesuatu yang memiliki arti (meaningful) dan berguna secara khusus bagi orang yang membutuhkannya. (James A O’Brien, 1990. Dalam Kambey Daniel C, MA. Ph.D., 2010).
3. Informasi adalah data yang sudah dikelompokkan, di proses dan didistribusikan kepada pemakai. (James A. Hall, 2001. Dalam Kambey Daniel C, MA. Ph.D., 2010).
4. Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam pengambilan keputusan saat ini atau saat mendatang. (Gordon B. Davis, 1999. Dalam Kambey Daniel C, MA. Ph.D., 2010).
5. Informasi adalah data yang telah di proses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan data tersebut.
6. Informasi adalah data yang telah di proses, atau data yang memiliki arti (Raymond Mc Leod Jr, 1995. Dalam Kambey Daniel C, MA. Ph.D., 2010).
7. Informasi adalah hasil daripada pengolahan data melalui suatu proses transformasi data dibuat menjadi bermakna bagi para penggunanya. (Kambey Daniel C, MA. Ph.D., 2010). Pengertian bermakna pada informasi bersifat relatif sebagai contoh: angka-angka di koran yang memuat kurs mata uang asing bisa saja hanya merupakan data bagi orang yang membacanya sepintas lalu tetapi menjadi informasi bagi orang yang jual beli valuta asing.

B. Nilai Informasi

Beberapa pakar menentukan nilai informasi dari segi manfaat (use) dan biaya (cost).
Menurut mereka, suatu informasi dianggap bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya untuk memperolehnya dan sebagian besar informasi yang diperoleh tidak dapat dinilai keuntungannya dengan satuan nilai uang, tetapi dapat ditaksir nilai efektifitasnya.
Menurut Zulkifli Amsyah, (1997:316), dalam Kambey Daniel C, MA. Ph.D., (2010:24) nilai informasi ditentukan oleh lima karakteristiknya yaitu:
1. Ketelitian (accuracy)
Ketelitian adalah perbandingan dari informasi yang benar dari jumlah seluruh informasi yang dihasilkan pada satu proses pengolahan data tertentu. Sebagai contoh, dari 1000 lembar cek gaji tiap bulan yang diproses dengan komputer terdapat 980 lembar yang angkanya benar, maka dikatakan bahwa tingkat ketelitian adalah 0,98 atau 98%.
2. Ketepatan waktu (timeliness)
Laporan harian sudah harus diterima pimpinan pada akhir jam kerja dari hari yang bersangkutan. Kalau laporan tersebut nanti masuk pada keesokan harinya, laporan tersebut sudah tidak tepat waktu. Walaupun informasinya akurat tetapi kalau diterimanya atau diketahuinya terlambat, informasi tersebut tidak berguna lagi.

3. Kelengkapan (completeness)
Informasi yang lengkap berarti bahwa informasi yang dihasilkan terdiri dari satu kesatuan informasi yang menyeluruh dan mencakup berbagai hal yang terkait didalamnya. Bila sebuah biodata tidak mencantumkan tanggal lahir atau jenis kelamin, informasi tersebut dapat dianggap kurang lengkap. Kelengkapan ini penting karena terkadang, kegiatan bisnis yang memerlukan pengambilan keputusan yang cepat tertunda hanya karena kurang lengkapnya informasi yang diperlukan.

4. Ringkas (conciseness)
Informasi yang disampaikan dengan panjang lebar dan bertele-tele akan membingungkan manajer, apalagi kalau informasinya terlalu rinci sehingga membutuhkan lebih banyak waktu bagi manajer untuk membacanya dan mengambil keputusan. Informasi hendaknya ringkas dan “to the point”. Bila perlu dapat berbentuk bagan, grafik, tabel, dan bentuk statistik lainnya.

5. Kesesuaian (relevaney)
Informasi hendaklah sesuai dengan keperluan pekerjaan dan keperluan manajemen. Informasi tersebut harus relevan dengan tujuan yang akan dicapai.
Sejalan dengan Zulkifli, Gaspersz (1998:15,16) dalam Kambey Daniel C, MA. Ph.D., (2010: 26,27) mengatakan bahwa nilai suatu informasi bergantung pada:
1. Apakah informasi itu sesuai dengan tujuan yang mencari informasi
2. Apakah informasi itu mengandung ketelitian baik dalam pengelolaannya maupun dalam penyampaiannya.
3. Apakah informasi “up to date”
4. Apakah informasi itu tersedia dalam ruangan atau tempat yang tepat
5. Apakah informasi itu cukup jelas
6. Apakah informasi itu dilihat dari bentuknya, dapat dipergunakan secara efektif, misalnya dalam menunjukkan hubungan-hubungan yang diperlukan, kecenderungan-kecenderungan, dan bidang-bidang yang memerlukan perhatian manajemen serta menekankan situasi-situasi yang ada hubungannya.
Anoraga (2004:314) dalam Kambey Daniel C, MA. Ph.D. (2010:27) menilai kualitas informasi dari segi yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan:
1. Kesalahan dalam proses mengumpulkan dan mengukur informasi
2. Kesalahan dalam prosedur pengelolahan informasi
3. Kesalahan dalam pencatatan
4. Kesalahan diakibatkan penggunaan dokumen yang salah.
5. Kesalahan yang dilakukan dengan sengaja.

C. Bentuk Informasi

Berdasarkan bentuknya informasi dapat dikategorikan menjadi delapan bentuk (Zulkifli A, 1997:296-247) dalam Kambey Daniel C, MA. Ph.D., (2010:28-29)
1. Informasi uraian, yaitu informasi yang disajikan dalam bentuk laporan, notulen, surat dan memo.
2. Informasi rekapitulasi yaitu: neraca, kwitansi, rekening, daftar pembelian dan penjualan, kalkulasi harga.
3. Informasi gambar, yaitu informasi yang dibuat dalam bentuk gambar. Misalnya gambar konstruksi dan bagan organisasi.
4. Informasi model yaitu informasi dalam bentuk formulir dengan model-model yang dapat memberikan nilai ramalan atau prediksi terhadap hasil pemecahan masalah.
5. Informasi statistik yaitu informasi yang disajikan dalam bentuk angka yang ditunjukkan dalam bentuk grafik dan atau tabel.
6. Informasi formulir adalah informasi yang dibuat dalam bentuk formulir dengan format isian (boleh berupa kolom-kolom).
7. Informasi animasi yakni informasi dalam bentuk animasi dengan suara dan video. Informasi bentuk ini dapat juga disebut informasi multimedia.
8. Informasi simulasi, misalnya simulasi untuk pendidikan pilot pesawat terbang dengan menggunakan perangkat lunak khusus.

D. Medium Informasi

1. Kertas
Kertas adalah medium keluaran (output) komputer yang permanen dan paling populer. Keluaran informasi bentuk kertas dapat dicetak dengan menggunakan bermacam alat cetak “printer”

2. Microfilm dan Microfiche
Di samping penyimpanan informasi kertas sebagai arsip otentik, maka untuk keperluan pengiriman dan kemudahan lainnya, adakalanya orang menambahkan penggunaan medium informasi lain yaitu microfilm berupa film mikro keluaran komputer (computer output microfilm/COM) yaitu informasi pada medium bentuk kecil. COM yang berbentuk rol (panjang) disebut microfilm, sedangkan microfilm yang dipotong pendek sepanjang kartu pos dan disusun dalam bentuk lembaran kartu pos disebut microfiche. Keduanya dibuat pada kertas film (celluloid) di mana teks keluaran diproduksi secara fotografis.

3. Layar Komputer
Layar peraga komputer dengan keluaran teks atau lain-lain tampilan adalah yang paling banyak digunakan sebagai alat keluaran komputer. Terdapat empat jenis layar peraga : (1) Cathode Ray Tube, (2) Layar Panel Datar (flat panel screen), (3) Peraga Alfanumerik (alphanumeric displays), (4) Peraga Grafik (grafhic displays).

4. Keluaran Suara
Alat keluaran suara dapat mengubah data menjadi suara kata-kata dengan menggunakan contoh ucapan yang sudah direkam maupun suara sintesis komputer.

E. Tindak Lanjut Informasi
Informasi dalam bentuk fisik dan non fisik. Informasi bentuk fisik adalah informasi yang sudah dicetak di atas kertas dalam bentuk “print out” atau “hardcopy”. Informasi bentuk non fisik adalah informasi yang masih dalam komputer yaitu pada “harddisk” dan media komputer lainnya seperti disket dan pita magnetik. Sesudah informasi tersebut dihasilkan, masih terdapat kegiatan lanjutan yang dilakukan terhadap informasi yang disebut sebagai kegiatan Tindak Lanjut Informasi (Follow up Information). Kegiatan tersebut adalah :
1. Komunikasi (communicating) --- informasi dapat dikomunikasikan untuk keperluan internal dan eksternal organisasi.
2. Penyimpanan (storing) --- penyimpanan informasi perlu dilakukan bilamana nilai informasi tersebut memang tinggi dan masih akan dipakai baik sebagai bahan bukti, ingatan atau referensi.
3. Penemuan kembali (retrieving) --- mencari kembali data dan informasi yang sudah disimpan bila diperlukan oleh manajemen atau untuk keperluan pekerjaan.
4. Reproduksi (reproducing) --- seringkali informasi yang dihasilkan perlu diperbanyak untuk keperluan penyebarannya, yang disebut reproduksi. Tergantung kepada masing-masing kegiatan, maka pekerjaan reproduksi dapat dilakukan secara manual, mesin listrik atau komputer.

F. Profesi yang Berkaitan dengan Sistem Informasi
Perkembangan yang cepat serta kebutuhan yang mendesak tentang informasi, memunculkan lapangan kerja atau profesi yang baru. Profesi tersebut adalah sebagai berikut:
1. System Analist untuk menganalisa kinerja suatu sistem atau rancangan sistem
2. System designer, untuk merancang suatu sistem.
3. Programmer, untuk mewujudkan rancangan yang dibuat oleh system analist
4. Database Administrator untuk merancang, mengelola dan meng update data.
5. Network technician untuk merancang, merawat, dan mengelola jaringan komputer di kantor.
6. End user, yang menggunakan aplikasi-aplikasi komputer yang ada di kantor.

G. Kesimpulan
Informasi adalah hasil daripada pengolahan data melalui suatu proses transformasi data dibuat menjadi bermakna bagi para penggunanya. Nilai informasi ditentukan oleh lima karakteristik yaitu: 1) ketelitian, 2) ketepatan waktu, 3) kelengkapan, 4) ringkas dan 5) kesesuaian. Agar informasi itu bernilai, maka disamping informasi itu harus berkualitas, informasi juga harus memiliki bentuk dan perlu menggunakan media yang tepat untuk menindaklanjuti informasi tersebut, sesuai dengan profesi yang berkaitan dengan sistem informasi.

Daftar Pustaka
Kambey Daniel C, MA. Ph.D., 2010. Sistem Informasi Manajemen, Manado. Yayasan Tri Ganesha Nusantara.
Kambey Daniel C, MA. Ph.D., 2006. Landasan Teori Administrasi/manajemen (sebuah Intisari), Manado. Yayasan Tri Ganesha Nusantara.
Kunjungan Internet, tgl. 27 Maret 2010, 05.00.a.m.
KOMUNIKASI DALAM FUNGSI MANAJEMEN “PENGGERAKAN”
Oleh: UDIN WAHYUDIN
A. Pendahuluan
Kunci keberhasilan proses manajemen adalah bagaimana mencapai tujuan organisasi melalui kegiatan-kegiatan orang lain. Keberhasilan ini tidak akan dicapai bila manajer tidak mengetahui bagaimana mempengaruhi orang. Untuk itu seorang manajer harus mengerti faktor-faktor manusia (human factors)dan bagaimana cara bekerjanya faktor-faktor tersebut sedemikian rupa agar dapat merealisasikan tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain seorang manajer harus memahami tingkah laku manusia, baik secara individu (perilaku individual), maupun secara berkelompok (perilaku kelompok). Kadua tingkah laku tersebut di dalam organisasi disebut tingkah laku organisasional. Oleh sebab itu pula, seorang manajer harus pandai komunikasi dalam berhadapan dengan tingkah laku organisasional tersebut.
B. Pengertian
Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicare yang berarti “membuat agar menjadi umum”. Dalam bahasa Inggris berubah menjadi “common” yang seterusnys menjadi communication dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “komunikasi”. Bermacam-macam definisi komunikasi dikemukakan orang sesuai dengan sudut pandangan masing-masing. Beberapa definisi adalah sebagai berikut:
a. Louis Forsdale dalam (Kambey 2003 : 1000)
Communication is the process by which a system is established, maintained, and altered by means of shared signals operate according to rules (komunikasi adalah suatu proses oleh mana suatu sistem dibentuk, dipertahankan dan dibedakan dengan cara berbagi sinyal yang dioperasikan melalui aturan-aturan).

b. Koontz dan Weihrich
We define communication as the transfer of information from the sender to the receiver, with the information being understood by the receiver (kami mendefinisikan komunikasi sebagai transfer informasi dari sipengirim kepada sipenerima dengan pengertian bahwa informasi tersebut dimengerti oleh penerima).
c. William J. Seller
Komunikasi ialah suatu proses dengan mana simbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima dan diberi arti.
d. Sukanto dan Handoko
Komunikasi adalah usaha mendorong orang lain menginterpretasikan pendapat seperti apa yang dikehendaki orang yang mempunyai pendapat tersebut.
e. Arni Muhammad
Komunikasi adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara pengirim dengan sipenerima pesan untuk mengubah tingkah laku.

C. Pentingnya Komunikasi
Komunikasi memperlancar fungsi-fungsi manajerial. Pengorganisasian membutuhkan komunikasi kepada karyawan mengenai tugas pekerjaannya. Pengarahan memerlukan manajer berkomunikasi kepada bawahan agar dapat memotivasi mereka, pengawasan memerlukan komunikasi berupa laporan baik tertulis maupun lisan untuk dievaluasi.
D. Fungsi Komunikasi
Komunikasi dapat dimanfaatkan untuk mencapai berbagai tujuan. Menurut Muhyadi (1989: 155) dalam (Kambey 2003: 102), fungsi komunikasi yang paling utama ialah untuk menyampaikan informasi. Menurut Koonz dan Weihrich, secara luas, tujuan informasi adalah “to effect change” (1988: 461). Selanjutnya mereka mengemukakan bahwa komunikasi secara khusus bertujuan untuk:
a. Menetapkan/menegakkan dan mendesiminasi tujuan-tujuan organisasi.
b. Mengembangkan rencana-rencana dalam rangka mencapainya.
c. Mengorganisasikan manusia dan sumberdaya lainnya seefektif dan seefisien mungkin.
d. Memilih, mengembangkan dan menilai anggota-anggota organisasi.
e. Memimpin, mengalahkan, memotivasi dan menciptakan iklim yang kondusif bagi orang untuk berpartisipasi.
f. Mengontrol kinerja.
Menurut James March dan Herbert Simon, seperti yang dikutip Sukanto dan Handoko (1999: 175), tujuan kegiatan komunikasi dapat digolongkan ke dalam:
a. Komunikasi untuk kegiatan yang tak terprogram, termasuk segala percakapan serta usaha mendengarkan apa yang dilakukan perorangan yang tak berhubungan dengan tujuan organisasi atau tugas pekerjaan. Misalnya: desas-desus, kabar burung dan percakapan kelompok informal (grapevine).
b. Komunikasi memulai dan menciptakan program, termasuk usaha menyesuaikan dan mengkoordinasikan program.
c. Komunikasi yang memberikan data penerapaqn strategi.
d. Komunikasi untuk menimbulkan program, dan komunikasi untuk memotivasi orang melaksanakan program.
e. Komunikasi yang memberikan informasi tentang hasil kegiatan dan informasi umpan balik untuk pengawasan.
Reitz (1987: 324) berpendapat bahwa komunikasi dapat berfungsi sebagai berikut:
1) Menyampaikan informasi
2) Memerintah atau memberikan instruksi
3) Mempengaruhi atau melakukan persuasi
4) Mengadakan integrasi
E. Proses Komunikasi
Secara sederhana proses komuniksi melibatkan 3 unsur yaitu: pengirim berita (sender), sarana/saluran pengiriman berita (chanel), penerima berita (receiver). Koontz dan Weihrich (1988: 426-465) dalam buku mereka “Management”mengemukakan model proses komunikasi sebagai berikut.
a. Sender (pengirim berita)
• Thought. Pengirim mempunyai gagasan atau ide atau informasi yang akan disampaikan kepada pihak lain.
• Encoding. Informasi yang akan disampaikan harus ditransformasikan dalam bentuk isyarat atau simbol-simbol seperti kata, huruf; angka dan gerakan, atau bahasa komputer. Oleh karena informasi harus disampaikan dalam bentuk kode, maka harus ada kesamaan pengertian dengan sipenerima.
b. Channel (saluran)
Pesan disalurkan melalui saluran yang menghubungkan si pengirim dan si penerima. Saluran yang biasa dalam komunikasi ialah gelombang udara dan suara. Pesan dapat berupa lisan atau tulisan dan dapat ditransmisikan melalui memo, komputer, fax, email, telepon, telegram atau televisi ataupun gerakan.
c. Receiver (penerima berita)
Penerima pesan adalah yang menerima pesan yang sudah diencode (reception). Komunikasi tidak akan terjadi kalau pesan tidak sampai diterima oleh penerima. Ia harus dapat menginterpretasikan isi pesan yang diterimanya (decoding), sehingga informasi itu mempunyai arti baginya. Dengan kata lain ia mengerti maksud pesan yang disampaikan (understanding). Proses ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, kempuan, sikap dan latar belakang kultur sosial pengirim maupun enerima.
f. Noise and Feedback (kebisingan dan balikan)
Kebisingan adalah faktor yang menggangu komunikasi entah berasal dari pengirim, saluran atau dari penerima. Umpan balik adalah respons terhadap pesan yang diterima yang dikirimkan kepada sipengirim pesan. Balikan dibutuhkan untuk mengecek keefektifan komunikasi. Bila pesan yang dimaksudkan oleh pengirim diinterpretasikan tepat oleh si penerima berarti komunikasi tersebut efektif.
F. Alur Komunikasi
Proses komunikasi dapat berlangsung ke pelbagai arah, yaitu:
a. Dari atas ke bawah (downward communication)
b. Dari bawah ke atas (upward communication)
c. Menyamping lurus pada jenjang yang sama (horizontal communication)
d. Menyamping lurus pada jenjang yang berbeda (diogonal communication)
e. Merambat dengan arah tak tentu (grapevine).
a. Komunikasi dari atas ke bawah
Berlangsung antara jenjang yang satu ke berbagai jenjang yang ada di bawahnya. Biasanya berisi petunjuk, pengarahan, penjelasan, teguran, dan permintaan laporan. Komunikasi ini biasanya disampaikan lewat saluran formal seperti: pertemuan atau rapat resmi, konferensi-konferensi, atau dalam bentuk komunikasi tulisan.
b. Komunikasi dari bawah ke atas
Berlangsung antara jenjang yang satu dengan jenjang lain yang lebih tinggi. Komunikasi jenis ini dimaksudkan untuk:
1) Sebagai laporan yang dibutuhkan atasan.
2) Menyampaikan pertanyaan dan keluhan.
3) Menyampaikan saran-saran
4) Sebagai umpan balik menyatakan bahwa informasi sudah diterima dan dimengerti.
c. Komunikasi Horizontal
Berlangsung antara jenjang yang satu ke jenjang yang lain yang kedudukannya dalam organisasi setingkat. Komunikasi ini dilakukan dalam rangka koordinasi atau untuk memperoleh informasi yang dapat menunjang atau memperlancar tugas masing-masing. Misalnya Kabag Keuangan memintakan informasi kepada Kabag Kepegawaian tentang berapa yang akan naik pangkat supaya dapat menyusun anggaran yang tepat.
d. Komunikasi diagonal
Berlangsung antara personil yang kedudukannya berbeda satu dengan yang lain tetapi bukan dalam alur vertikal/searah, melainkan menyilang. Bisa saja komunikasi berlangsung antara yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah atau sebaliknya. Komunikasi diagonal bertujuan untuk saling menukar informasi yang sumbernya berada pada bagian yang lain yang jenjangnya berbeda. Karena situasinya seperti itu sering sifatnya lebih informal.
e. Komunikasi Merambat
Komunikasi informal yang berlangsung dari mulut ke mulut antara seseorang dengan orang yang lain tanpa mengenal arah dan jenjang organisasi . Sering tersebarnya sangat cepat bergantung pada kehebohan dan kesensitifannya. Karena sifatnya informal maka komunikasi seperti itu sukar ditelusuri dari mana asalnya dan sukar dikendalikan.
G. Jenis-jenis Komunikasi
Komunikasi dapat digolongkan menurut tiga cara:
a. Berdasarkan tingkat formalitas saluran yang digunakan yaitu komunikasi formal dan informal.
b. Berdasarkan cara yang digunakan untuk melakukan komunikasi, yaitu verbal dan nonverbal;
c. Komunikasi intern dan ekstern
a. Komunikasi Formal
Komunikasi formal ialah proses komunikasi yang dilakukan melalui saluran resmi, yaitu jalur yang sudah ditentukan dalam struktur organisasi. Saluran formal sering disebut juga saluran perintah dan tanggung jawab sebab melalui saluran inilah pimpinan memberikan perintah, arahan, petunjuk, penjelasan, dan bawahan melaporkan pertanggungjawaban mereka. Komunikasi jalur ini dapat berbentuk: rapat, perintah harian, edaran resmi dan laporan.
b. Komunikasi Informal
Komunikasi informal ialah proses komunikasi yang berlangsung di luar jalur resmi. Biasanya komunikasi ini memenuhi kebutuhan yang bersifat pribadi, kemanusiaan dan sosial. Serinkali ada beberapa permasalahan yang lewat saluran resmi menemukan jalan buntujustru dapat dipecahkan melalui jalur informal, karena pendekatan informal lebih bersifat manusiawi. Komunikasi informal dapat bersifat pertemuan yang tidak resmi, lobi, pembicaraan dari hati ke hati dan tempatnya bisa di luar kantor seperti di lapangan golf, arisan, saat berada di kantin dan sebagainya.

c. Komunikasi intern
Komunikasi intern adalah proses penyampaian pesan yang berlangsung di antara anggota organisasi, baik di antara pimpinan dengan pimpinan, bawahan dengan bawahan, pimpinan dengan bawahan atau sebaliknya. Teknik yang dapat digunakan ialah lisan, tertulis ataupun dengan menggunakan simbol-simbol tertentu.
d. Komunikasi ekstern
Komunikasi ekstern ialah proses penyampaian pesan yang dilakukan oleh sebuah organisasi ke pihak luar. Sering disebut public relation. Organisasi adalah bagian dari masyarakat, berkecimpung di tengah-tengah masyarakat, demikian juga inputnya berasal dari masyarakat, dan out-putnya diserap oleh masyarakat, oleh karena itu organisasi harus menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Tekniknya bisa melalui penerbitan brosur, penerbitan majalah, konperensi pers melalui program televisi dan sebagainya. Kegunaannya adalah (1) memberikan informasi kepada masyarakat tentang eksistensi organisasi tersebut, (2) mencari simpati dan dukungan masyarakat terhadap aktivitasnya, (3) menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging).


e. Komunikasi verbal
Komunikasi verbal ialah penyampaian yang menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat. Sebagian besar komunikasi verbal berupa komunikasi lisan dan sebagian sisanya berbentuk tulisan. Komunikasi verbal berbentuk lisan banyak digunakan pada peretemuan-pertemuan resmi maupun tidak resmi sedangkan yang berbentuk tulisan banyak digunakan dalam penyampaian pesan yang berisi peraturan, prosedur kerja, perintah dan laporan.

f. Komunikasi non-verbal
Komunikasi non-verbal ialah penyampaian pesan-pesan yang tidak menggunakan cara lisan maupun tertulis melainkan dengan berbagai isyarat atau gerakan yang dapat dimengerti oleh orang lain. Contohnya antara lain ialah: gerakan tubuh, ekspresi wajah (senyuman), posisi badan, nada bicara dan sebagainya.

H. Hambatan-hambatan Komunikasi
a. Perception set differences (perbedaan persepsi)
Perbedaan persepsi antara pengirim dan penerima dapat menjadi penghalang dalam komunikasi. Persepsi seseorang dipengaruhi pengalaman sebelumnya, latar belakang pendidikan, keyakinan dan nilai yang dianut. Perbedaan persepsi ini dapat mempengaruhi terhadap pesan yang diterima.
b. Filtering (penyaringan)
Biasanya terjadi pada komunikasi ke atas (upward communication). Penyaringan adalah memanipulasi informasi dengan sengaja untuk menjadikan informasi itu lebih bisa diterima oleh penerima pesan. Bila seseorang dengan sengaja mengirimkan laporan yang tidak sesuai kepada atasannya dengan motif ABS (Asal Bapak Senang), ia sedang mengfilter informasi.

c. Information overload (informasi yang melebihi batas)
Kondisi ini muncul jika seseorang diekspos kepada informasi yang terlalu banyak dalam waktu yang sempit. Oleh karena kemudahan informasi, sering informasi dengan mudah dapat diakses sehingga baik manajer maupun karyawan sering tenggelam dalam lautan informasi sehingga tidak sanggup menyerap ataupun meresponsi semua pesan yang diarahkan kepada mereka.
d. Time preasures (tekanan waktu)
Kebanyakan organisasi memiliki deadline (batas waktu) yang sering menyebabkan tekanan yang menghalangi seseorang untuk berkomunikasi atau mengurangi kesanggupannya untuk meng”encode” informasi yang akan dikirimkan ataupun menginterpretasi informasi yang diterimanya.
e. Status differences (perbedaan status)
Suatu kondisi di mana seseorang merasa lebih tinggi atau lebih rendah dari orang lain karena posisinya di dalam organisasi. Bagi bos yang merasa lebih tinggi, ia merasa bahwa bawahannya tidak begitu penting untuk merampas waktunya memberi informasi secara rinci yang mengakibatkan ia harus kehilangan waktunya yang berharga. Bagi bawahan yang merasa lebih rendah sering merasa enggan/sungkan menghadap atau menelpon atasannya walaupun informasi itu sangat penting. Apalagi bila menghadap sang atasan harus melalui birokrasi yang ketat, seperti harus mendaftar dulu kepada sekretarisnya.
f. Semantic differences (perbedaan semantik)
Perbedaan dalam arti kata sering membingungkan penerima informasi. Seringkali satu kata bisa mempunyai arti yang lain dalam konteks yang berbeda. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, kata “bear” bisa berarti beruang bisa juga berarti menanggung. Kata “baku” dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu.
g. Physical and emotional condition (kondisi fisik dan emosi).
Orang yang sedang sakit atau berada dalam dipresi, atau dalam keadaan yang marah sering sukar menangkap dengan benar pesan yang datang kepadanya.

h. Physical nois
Dalam komunikasi lisan, sering isi pesan hilang karena perhatian si penerima terganggu dengan ribut disekitarnya, seperti suara mesin ketik, pembicaraan orang lain dan sebagainya.

I. Meningkatkan efektivitas komunikasi
a. Pengirim harus memperjelas dahulu pesan yang akan dikirimkan sebelum itu dikirim.
b. Usahakan adanya umpan balik dan tindak lanjut.
c. Gunakan bahasa yang benar dan sederhana yang lazim dipakai dan yang dimengerti oleh si penerima.
d. Jika komunikasi dilaksanakan secara lisan dapat diikuti oleh gerak badan atau anggota tubuh tertentu (gesture) untuk memperjelas apa yang sedang disampaikan.
e. Pertimbangkan dengan matang tempat, waktu dan situasi berlangsungnya komunikasi.
f. Ciptakan keterbukaan dan kepercayaan timbal balik (mutual trust). Atmosfir ini akan menunjang keterbukaan bawahan untuk menyampaikan pesan yang sesungguhnya, (tidak difilter).

RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN FILSAFAT ILMU

RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN
FILSAFAT ILMU
Oleh:
UDIN WAHYUDIN
MAHASISWA PROGRAM PASCA SARJANA (PPS) PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
A. Pendahuluan
Ruang lingkup filsafat ilmu dan bidang filsafat sebagai keseluruhan pada dasarnya men -cakup dua pokok bahasan, yaitu pertama, membahas sifat pengetahuan ilmiah, dan kedua menelaah cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah pada pokok bahasan pertama filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang merupakan bidang kajian filsafat yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk pengetahuan manusia. Pada pokok bahasan kedua yakni terkait dengan pokok soal cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah, filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan pengertiannya dengan metodologi. Jadi filsafat ilmu ialah penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan penyelididkan lanjutan.
Filsafat ilmu dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1. Filsafat ilmu umum, yang mencakup kajian tentang persoalan kesatuan, keseragaman, serta hubungan diantara segenap ilmu. Kajian ini terkait dengan masalah hubungan antara ilmu dengan kenyataan, kesatuan, perjenjangan, susunan kenyataan, dan sebagainya.
2. Filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat ilmu yang membicarakan kategori-kategori serta metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu atau dalam kelompok-kelompok ilmu tertentu, seperti dalam kelompok ilmu alam, kelompok ilmu masyarakat, kelompok ilmu tehnik dan sebagainya (beerling dkk, 1986: 40) dalam (filsafat ilmu sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan, 2007: 44).
Filsafat ilmu dapat pula dikelompokan berdasarkan model pendekatan, yaitu:
1. Filsafat ilmu terapan, yaitu filsafat ilmu yang mengkaji pokok pikiran kefilsafatan yang melatarbelakangi pengetahuan normatif dunia ilmu. Pada kajian ini dunia ilmu bertemu dengan dunia filsafat. Jadi filsafat ilmu terapan tidak bertitik tolak dari dunia filsafat melainkan dari dunia ilmu. Dengan kata lain filsafat ilmu terapan merupakan deskripsi pengetahuan normatif. Filsafat ilmu terapan sebagai pengetahuan normatif mencakup:
a. Pengetahuan yang berupa pola pikir hakekat keilmuan.
b. Pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang diturunkan dari pola pikir.
c. Pengetahuan mengenai berbagai sarana ilmiah.
d. Serangkaian nilai yang bersifat etisyang terkait dengan pola pikir dengan model praktek yang khusus. Misal etika profesi.
Dengan filsafat ilmu terapan maka menjadi jelaslah saling hubungan antara objek-objek dengan metode-metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan tujuan penyelidikan ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengolahan bahan-bahan secara ilmiah.
2. Filsafat ilmu murni, yaitu bentuk kajian filsafat ilmu yang dilakukan dengan menelaah secara kritis dan eksploratif terhadap materi kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap kemungkinan berkembangnya pengetahuan normatif yang baru. Bila filsafat ilmu terapan berangkat dari ilmu khusus menuju kajian filosofis, filsafat ilmu murni mengambil arah sebaliknya, yaitu berangkat dari kajian filosifis terhadap asumsi-asumsi dasar yang ada dalam ilmu, misalnya terkait dengan anggapan dasar tentang “realitas” dalam ilmu-ilmu khusus dan konsekuensinya pada pemahaman terhadap “realitas” secara keseluruhan.
B. Hubungan filsafat ilmu dengan epistemologi
Filsafat ilmu secara sistematis merupakan cabang dari rumpun kajian epistemologi. Epistemologi sendiri mempunyai dua cabang yaitu filsafat pengetahuan (theories of knowledge) dan filsafat ilmu (theory of science). Objek material filsafat pengetahuan yaitu gejala pengetahuan, sedang objek material filsafat ilmu yaitu mempelajari gejala-gejala ilmu menurut sebab terpokok. Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh alat pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan (Verhak dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46).
Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis. Filsafat pengetahuan memeriksa sebab-musabab pengetahuan dengan bertitik tolak pada gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat pengetahuan menggali kebenaran, kapasitas dan tahap-tahapnya, objektivitasnya, abstraksi, intuisi, asal pengetahuan dan arah pengetahuan. Yang membedakan ilmu dari pengetahuan adalah metode ilmiah. (Verhak dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46) (Verhak dan Haryono, 1989: 12). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46).
Epistemologi akan menunjukkan asumsi dasar ilmu, agar penelaahan filsafat ilmu tidak terpaku pada ragam objek material ilmu. Pertanyaan dari ontologi “apakah karakter pengetahuan kita tentang dunia?” Pertanyaan ontologi dan epistemologi tidak dijawab dengan penyelidikan empiris yang terkait dengannya. Pertanyaan filsafat dipecahkan bukan dengan penyelidikan empiris, tetapi dipecahkan dengan penalaran. Dengan bantuan telaah epistemologi maka akan didapat pemahaman hakiki tentang karakter dari objek ilmu. Misal: terdapat karakter yang berbeda antara ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial humaniora dalam hal objek material, yakni bahwa ilmu alam memiliki karakter objek yang deterministik, sedangkan ilmu sosial-humaniora memiliki karakter objek yang indeterministik dan penuh motivasi.
Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan: “mengapa prosedur ini dan bukan yang lain?”, “apa jaminannya, bila ada, metode itu membuktikan yang lainnyakah?”. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan peneliti sosial dari disiplin sosial apapun yang membuat mereka superior (dan memberi mereka otoritas intelektual terbesar). Apa dasar klaim otoritas intelektualnya?.
Relevansi problem filsafat muncul dari fakta bahwa setiap perangkat riset atau prosedur tidak dapat diterangkan dengan memisahkan pandangan khusus tentang dunia. Tidak ada tehnik atau metode penyelidikan ilmiah yang memperkokoh dirinya sendiri. Berbagai status instrumen riset pada dasarnya tergantung pada jastifikasi epistemologis. Instrumen riset tidak dapat dipisahkan dari teori, sebagai peralatan riset, mereka bekerja hanya bersama-sama dengan asumsi-asumsi tentang hakekat dunia fisik, masyarakat, keberadaan manusia, dan bagaimana mereka mengetahuinya.
Ilmu alam, terkait secara pokok dalam term-term positivistik, mempelajari sesuatu yang objektif, tidak hidup, dunia fisik. Masyarakat, hasil akal manusia, adalah subyektif, emotif sebaik intelektual. Apa yang kita tunjuk sebagai causal, mekanistik dan pengukuran berorientasikan model eksplanasi adalah tidak memadai, karena kesadaran manusia tidak ditentukan oleh kekuatan alam. Tingkah laku masyarakat manusia adalah selalu mengandung nilai, dan pengetahuan reliabel tentang kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini, atau tujuan khusus sejarah masyarakat. Itu membuat tindakan sosial adalah penuh makna subyektif.
Toulmin dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 47). Mengatakan bahwa epistemologi tidak berakar pada periode pemikiran, tidak terkait pada prosedur praktis dan problem-problem yang secara historis berkaitan dengan disiplin. Misal: debat metodologis ilmu sosial tidak dapat dipahami secara bebas dari tempat budaya yang lebih luas dari penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh riset awal yang didasarkan pada asumsi epistemologis yang berbeda, yaitu seperti pada ilmu alam
Alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap objek. Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk memproses ilmu harus selaras atau konsisten dengan karakter objek material ilmu. Disini timbul perbedaan paradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang berbeda. Misal antara ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai.
Adapun validitas/keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan ia adalah hasil atau konsekuensi dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah validitas apakah ukurannya cocok (realiable) atau tidak itu tergantung pada metode dan karakter objek. Sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain kita tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu dari teropong ilmu lainnya. Misal: ilmu-ilmu empiris validitas untuk produk ilmunya harus-lah empiristis (Hindes Barry, 1977: 5-6) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
1. Asumsi beberapa jenis objek ilmu
Dewasa ini kita sudah memasuki masa spesialisasi ilmu, kita hanya tahu masing-masing metodologi ilmu kejuruan. Namun kita juga harus mempunyai wawasan yang luas tentang metodologi ilmu-ilmu pada umumnya, yang didalamnya dijabarkan perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara masing-masing ilmu. Dalam khasanah filsafat ilmu, kita banyak mengenal bentuk ilmu, jenis ilmu, dan paradigma ilmu. Dari berbagai bentuk, jenis dan paradigma ilmu tersebut maka kita dapat memperoleh gambaran adanya ragam, tingkat dan aliran ilmu.
a. Ilmu alam dan empiris
Ilmu empiris berpandangan sebagai berikut: ilmu mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Jadi berdasarkan objek telaahnya maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun, 1981: 6) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
Ilmu empiris mempunyai beberapa asumsi mengenai objek (empiris), antara lain:
(1) Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal: bentuk, struktur, dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual, melainkan suatu kelas tertentu.
(2) Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
(3) Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama (Paul Niddich dalam Yuyun S, 1981: 7-9) yang dikutif dari
(Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
Namun ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan atau (peluang) besar untuk mengakibatkan terjadinyakejadian lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal itu perlu, sebab kejadian alam sangat komplek.
Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktek ilmu alam merupakan suatu aktifitas manusiawi yang khas. Manusia memang dapat terlibat sebagai subjek dan sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah yang mempraktekkan dan diprakteki.
b. Ilmu abstrak
Ilmu formal seperti halnya matematika, logika, filsafat, dan statistika adalah jenis ilmu yang berfungsi sebagai penopang tegaknya ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang tergolong formal pada umumnya berasumsi bahwa objek ilmu adalah bersifat abstrak, tidak kasat mata, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Objek dapat berupa konsep dan bilangan, ia berada dalam pemikiran manusia.
c. Ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan
Ilmu kemanusiaan mencakup juga ilmu-ilmu sosial, ia merupakan ilmu empiris yang yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya baik perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar.
Objek material ilmu sosial adalah lain sama sekali dengan objek material dalam ilmu alam yang bersifat deterministik. Objek material dalam ilmu sosial adalah berupa suatu tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministik, ia mengandung: pilihan, tanggung jawab, makna, pengertian, pernyataan privat dan internal, konvensi, aturan, motif dan sebagainya, oleh karena itu tidak cocok apabila diterapi dengan predikat “sebab-akibat”.
Konsekuensi epistemologis dari perdebatan tersebut diawali dengan tidak memadainya metodologi ilmu alam untuk memahami fenomena manusia kecuali sebagai objek alamiah. Kerja dari penelitian empiris adalah untuk menemukan secara persis pola yang menghubungkan antara aturan-aturan, motif, situasi, hubungan sosial dan tingkah laku, dan memformulasikannya sebagai pembawa keteraturan. Tentu saja data mentah sebagai realitas sosial objektif mempunyai status subjektif, karena terkait dengan nilai-nilai, kepercayaan, ideologi. Lantas apakah ilmu sosial dapat digolongkan sebagai ilmu yang subjektif?, padahal semua ilmu mengklaim dirinya menafsirkan data secara objektif.
Ilmu berbeda-beda terutama tidak karena objek material berbeda, tetapi khususnya karena mereka berbeda menurut objek formal. Objek ilmu kemanusiaan yaitu manusia sebagai keseluruhan. Ia melampaui status objek benda-benda disekitarnya. Peneliti dalam penelitian ilmu sosial juga berada pada taraf yang sama sebagai objek. Perbedaan tersebut juga menimbulkan perbedaan pendekatan, dimana dalam rangka cara berpikir ilmu-ilmu alam adalah univok, sedangkan dalam rangka ilmu-ilmu sosial maka cara berpikirnya analog: setiap lingkungan masyarakat “sama” namun dalam “kesamaannya” itu juga berbeda. Karena ciri khas di atas, maka ilmu-ilmu kemanusiaan harus menggunakan titik pangkal dan kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya. Titik pangkal berbeda karena peneliti tidak lagi berada di luar objek penelitian, dengan kata lain subjek terlibat dalam penelitian tentang sesamanya (Veuger dan Haryono, 1989: 70) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 50).
Dalam ilmu manusia kita menghadapi keadaan bahwa praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga objek penelitian ilmu manusia. Misal: merupakan objek psikologi, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan psikis; merupakan aspek sosiologi, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan sosial; objek ilmu sejarah, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan historis.
Dalam ilmu kemanusiaan, manusia dari dalam terlibat dalam aktivitas-aktivitasnya sendiri. Hal itu merupakan sumber informasi tentang motivasi intern manusia. Namun hal itu sekaligus membuat menipu kita, kecuali kalau ia kritis.
d. Ilmu sejarah
Ciri ilmu sejarah dibandingkan dengan ilmu empiris lainnya yaitu sifat objek materialnya, yaitu data-data peninggalan masa lampau baik berupa kesaksian, alat-alat, makam, rumah, tulisan, karya seni. Semuanya itu mirip dengan objek material ilmu kealaman, karena sama-sama sebagai benda mati. Namun objek ilmu sejarah tidak dapat dikenai eksperimen karena menyangkut masa lampau dan tidak dapat dibalikkan lagi. Sering peninggalan sejarah tertelan oleh masa, terlindung dan merupakan saksi bisu, bahkan sering hilang. Karena sering banyak hal yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan dengan sikap menilai dari subjek penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu kemanusiaan menjadi problem dalam menentukan patokan objektivitas.
2. Taraf-taraf kepastian subjektivitas dan objektivitas ilmu
a. Evidensi
Evidensi objek pengetahuan berkenaan dengan taraf kepastian kepastian pengetahuan yang dapat dicapai subjek dalam ilmu-ilmu terjadi berdasarkan evidensi objek yang dikenal. Evidensi dan kepastian itu perlu dilihat dari sudut kesatuan asli subjek dan objek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya. Misal: dalam filsafat, evidensi objek bersangkutan dialami subjek dengan cara mendalam. Dengan demikian mutu kepastian adalah meyakinkan dan paling tinggi, paling bebas, sekaligus paling pribadi.
a.1. Dalam ilmu-ilmu empiris
Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan mengejar kepastian. Namun taraf kepastian konkret dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas. Artinya tidak pernah ada paksaan pada akal agar sesuatu disetujui. Dengan kata lain evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu bersifat nisbi, sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.
Makin dekat bidang ilmu tertentu pada pengalaman manusia seutuhnya, maka makin besar kesatuan subjek-objek, sehingga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi evidensi dan kepastian diwarnai subjektivitas yang membangun. Misal: dalam filsafat dan humaniora.
Makin jauh bidang ilmu tertentu dari pengalaman manusia seutuhnya, maka makin kurang kesatuan subjek objek, sehinga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi evidensi dan kepastian lebih diwarnai oleh objektivitas (di luar pengalaman subjektif). Misal: dalam ilmu alam.
a.2. Dalam ilmu-ilmu pasti
Dalam context of discovery sebagaimana ilmu yang lain memang ilmu pastipun masih dalam taraf coba-coba. Sedangkan dalam context of justification, maka tidak ada hipotesa lagi, melainkan ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis dan dalil-dalil.
Ia berlaku tanpa terikat ruang dan waktu. Memang ilmu-ilmu pasti tidak bersifat empiris, sehingga sifat evidensinya bersifat mutlak.
Sekali seorang ilmuwan memilih sistem tertentu maka ia sudah tidak bebas lagi untuk meragukan atau menolak hasil sistem ilmu yang bersangkutan (Verhak, 1989: 116) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 52).
Ilmu alam agak jauh dari pengalaman konkrit, sebab sifatnya eksak. Tidak saja keeksakan dalam konsep-konsepnya. Konsep dalam ilmu alam jauh dari pengalaman yang terbuka (bersifat eksklusif). Isi konsep dan isi observasi berkaitan secara univok. Konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu alam agak jauh dari data-data dri pengalaman yangterbuka bagi setiap orang, sehingga ilmu alam sukar untuk dimengerti bagi orang yang bukan ahli. Lagi pula ilmu alam dalam dalam menyelididki realitas jasmani terus-menerus memperluas sarana observasinya, sehingga peran indera berkurang. Contoh: melihat data cukup dengan membaca petunjuk grafik, jarum.
b. Objektivitas
Ilmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati fakta-faktanya secara metodis, artinya menurut cara penelitian yang dikembangkan oleh subjek yang mengenal. Misal: ilmu alam berhasil menyalurkan pengaruh subjektif, sehingga terbentuk ilmu yang benar-benar intersubjektif. Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu manusia yaitu bahwa ilmu-ilmu itu dalam praktek tidak dapat melakukan eksperimen secara netral. Misal: tidak bisa menguji coba terlebih dahulu pelbagai bentuk sosial. Walaupun pengalaman eksperimental dalam ilmu-ilmu manusia diperlukan, maka hal yang memungkinkan yaitu arah menuju kemanusiaan yang lebih baik serta utuh (Van Peursen, 1986: 64) dalam (Tim dosen filsafat ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 52).
Objektivitas ilmu alam adalah objektivitas yang menyangkut apa yang diberikan sebagai objek. Ojek tidak mesti berupa suatu benda, tetapi objek itu merupakan sesuatu yang tampak bagi indera manusia (panca indera).
Ilmu alam maupun ilmu sosial adalah non-refleksif sejauh tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai kodratnya sendiri sebagai ilmu dengan mempergunakan sarana-sarana teoritis dan eksperimentalnya.
B. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Cabang Filsafat Lain
Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti ontologi (ciri-ciri susunan kenyataan), filsafat pengetahuan (hakekat serta otensitas pengetahuan), logika (penyimpulan yang benar), metodologi (konsep metode), dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).
Pertama, Ontologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan masalah “ada” dan meliputi persoalan sebagai berikut: apakah artinya “ada”, apakah golongan-golongan dari hal yang ada?, apakah sifat dasar kenyataan dan ada yang terakhir?, apa cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori logis yang berlainan (objek fisik, pengertian universal, abstraksi dalam bilangan) dapat dikatakan ada?
Filsafat ilmu berkaitan dengan ontologi karena filsafat ilmu dalam telaahnya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan ontologis dari suatu ilmu. Landasan ontologis ilmu dapat dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek materi maupun objek formal?, apakah objek bersifat phisik ataukah bersifat kejiwaan?
Kedua, Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Epistemologi berkaitan dengan pemilahan dan kesesuaian antara realisme atas pengetahuan: tentang proposisi, konsep-konsep, kepercayaan, dan sebagainya., dan realisme tentang objek, secara terpilih disusun dalam term “objek real”, fenomena, pengalaman, data indera, dan lainnya. Epistemologi berusaha untuk memaparkan dan menjawab problem-problem yang muncul dalam area tertentu, misal: positivisme logis. Semua epistemologi meletakkan beberapa oposisi sebagai penyusun teori pengetahuan, tujuannya yaitu meletakkan yang memungkinkan bagi suatu pengetahuan. Misal: teori-fakta, manusia-dunia, transendental subjektif-transendental objektif. Epistemologi meliputi konsepsi yang spesifik tentang “subjek”, “objek” dan hubungan keduanya, dan itu dievaluasi dan menderivasikan keterangan untuk mengevaluasi pengetahuan dari “pengetahuan” tentang hubungan. Spesifikasi epistemologis tentang kriteria validitas semua pengetahuan harus memperkirakan validitas pengetahuan yang mendahuluinya, yang darinya spesifikasinya diderivasi.
Ketiga, Logika adalah cabang filsafat yang persoalannya begitu luas dan rumit, namun ia berkisar pada persoalan penyimpulan, khususnya berkenaan dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang absah. Penyimpulan yaitu proses penalaran guna mendapat pengertian baru dari satu atau lebih proposisi yang diterima sebagai benar, dan kebenaran dari kesimpulan itu diyakini terkandung dalam kebenaran proposisi yang belakangan. Tatanan logis adalah merupakan syarat mutlak bagi suatu ilmu. Pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan mengenai esensi-esensi dan sebab-sebab dari objek dalam bidang pengetahuan tertentu tidak bisa dihitung secara sewenang-wenang, tetapi harus ditata dan diklasifikasi sesuai dengan prinsip tertentu dan mengikuti metode tertentu. Penyelidikan mengenai “cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah” bersangkutan dengan susunan logik dan metode logik, urutan serta hubungan antara pelbagai langkah dalam penyelidikan ilmiah.dan bersangkutan pula dengan, susunan logik serta metodologik, urutan serta hubungan antara unsur-unsur serta struktur-struktur yang berlaku dalam pemikiran ilmiah.
Namun persoalan-persoalan logika yang penting dalam kaitannya dengan ilmu yaitu: apakah ciri-ciri suatu sistem aksiomatik, bagaimana kita dapat memastikan bahwa suatu aksioma sesungguhnya bukan suatu dalil yang dapat diturunkan dari aksioma yang lain?, apakah sekumpulan aksioma tertentu akan menghasilkan semua yang dapat dikatakan dalam bidangnya?. Bagaimanakah kita dapat mengetahui bahwa kesimpulan aksioma tersebut tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang salah? (The Liang Gie: 1977: 186) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 54).
Keempat, Metodologi yaitu berkaitan dengan suatu konsep metode, ia mempersoalkan: apakah arti suatu metode, apakah sifat dasar metode, apakah ada metode yang khas bagi ilmu?, apakah ada kaitan antara tujuan suatu penyelidikan dengan metode yang hrus dipakai?. Disinyalir dalam ilmu-ilmu terdapat derajat kebebasan yang tinggi antara tujuan dan metode.
Filsafat ilmu mempersoalkan masalah metodologik, yaitu mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat memperoleh predikat “pengetahuan ilmiah”. Filsafat akan mencari prinsip metodis suatu ilmu, sebab prinsip metodis merupakan titik tolak penyelidikan suatu ilmu. Fungsi metodologi yaitu menguji metode yang dipergunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid. Metodologi meletakan prosedur yang dipergunakan untuk menguji proposisi. Prosudur ini dijastifikasi maknanya dengan argumen filosofis. Adalah jelas metodologi-metodologi mengklaim untuk menentukan prosudur yang benar bagi ilmu, harus memperkirakan bentuk pengetahuan yang didalamnya beberapa pengertian superior dihasilkan dalam ilmu. Ilmu diperkirakan valid hanya bila hasilnya sesuai dengan prosedur: yang diperkirakan tidak dapat disahkan oleh ilmu. Metodologi meletakkan aturan bagi prosedur praktek ilmu, penderivasian makna pengetahuan dibuktikan oleh filsafat. Metodologi adalah produk filsafat dan ilmu-ilmu adalah realisasi dari metodologi (Barry Hindes, 1977: 5) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 55).
Perkiraan metodologis mungkin diderivasi dari epistemologi, yakni suatu konsepsi bentuk pengetahuan yang memungkinkan dicapainya pengetahuan yang valid (dari ontologi tentang apa yang eksis). Karakter pengetahuan sangat berhubungan dengan apa yang menjadi sifat esensial dari objek penyelidikan.
Kelima, Etika, yaitu cabang filsafat yang mempersoalkan baik dan buruk. Dalam kaitannya dengan ilmu yaitu berkaitan dengan tujuan ilmu, tanggungjawab ilmu terhadap masyarakat.
Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan ilmu agar tidak mencelakakan manusia, melainkan membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana mensejahterakan manusia. Ilmu bertendensi untuk membuka tabir/kedok dari kemutlakan-kemutlakan alam yang oleh sejarah diangkat menjadi kemutlakan budaya. Tujuan ilmu yang memperoleh pengertian lebih mendalam tentang motif-motif tingkah laku manusia yang diliputi kegelapan supaya manusia menjadi lebih utuh, dewasa, dan bebas (Van Melsen, 1985: 123-4) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 55).
C. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu-Ilmu.
Perkembangan ilmu yang makin cepat ini juga dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat. Untuk itu sudah saatnya kita memberi perhatian yang besar terhadap filsafat ilmu, sehingga kita dapat mengatasai keterkungkungan spesialisasi ilmu.
1. Perbedaan Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai banyak persamaan. Kedua bidang tersebut tumbuh dari sikap refleksif, sikap bertanya, dan dilandasi oleh kecintaan yang tidak memihak terhadap kebenaran. Hanya saja kalau filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran ilmu, sedang ilmu dengan metodenya tidak mampu mempertanyakan asumsi limu, metode ilmu, kebenaran ilmu, dan keabsahan ilmu. Ilmu tertentu menyelidiki bidang-bidang yang terbatas, sedang filsafat lebih bersifat inklusif dan bukan eksklusif, ia berusaha untuk memasukkan dalam pengetahuannya apa yang bersifat umum untuk segala bidang dan untuk pengalaman manusia pada umumnya. Dengan begitu filsafat berusaha mendapatkan pandangan yang lebih komperhensif tentang benda-benda (Titus dkk, 1984: 283) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 56).
Ilmu dalam pendekatannya lebih analitik dan diskriptif: ia berusaha untuk menganalisa scara keseluruhan pada unsur-unsur yang menjadi bagian-bagiannya, serta menganalisa organisme kepada anggota-anggotanya. Filsafat lebih sintetik atau sinoptik: menghadapi sifat dan kualitas alam dan kehidupan sebagai keseluruhan. Filsafat berusaha menggabungkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif dan menemukan arti benda-benda. Jika ilmu condong untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi dan menganggap sepi nilai-nilai demi menghasilkan objektivitas, maka filsafat mementingkan personalitas, nilai-nilai dan bidang pengalaman (Titus dkk, 1984: 283) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 56).
2. Spesialisasi Ilmu
Dewasa ini setiap pengetahuan terpisah satu dari yang lainnya. Ilmu terpisah dari moral, moral terpisah dari seni, dan seni terpisah dari ilmu. Kita tidak lagi memiliki pengetahuan yang utuh, melainkan terpotong-potong. Spesialisasi pendidikan, pekerjaan, dan kemajuan diberbagai bidang pengetahuan menyebabkan jurang pemisahsemakin lebar. Ilmu semakin diperluas juga diperdalam oleh para ilmuannya, dengan demikian timbul suatu subdisiplin yang akhirnya dapat menjadi disiplin yang berdiri sendiri.
3. Kerja Sama Filsafat dengan Ilmu
Dalam beberapa abad terakhir filsafat telah mengembangkan kerjasama yang erat dengan ilmu.
D. Kesimpulan
Berpikir filsafat berarti berpikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis filsafat tentang hakekat ilmu harus ditekankan kepada upaya keilmuan dalam mencari kebenaran, yang selanjutnya terkait secara erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran. Analisis filsafat ilmu tidak boleh berhenti pada upaya untuk meningkatkan penalaran keilmuan melainkan sekaligus harus mencakup pendewasaan moral keilmuan (Yuyun, 1981: 43) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).
Filsafat ilmu mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transendent daripada ilmu-ilmu. Maka dari itu filsafat pun mempunyai wilayah lebih luas daripada penyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas meneliti hakekat ilmu. Diantaranya paham tentang kepastian, kebenaran, dan objektivitas (Verhak, 1989: 108) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).
Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang didekati secara filsafat dengan tujuan untuk lebih memfungsionalkan wujud keilmuan baik secara moral, intelektual, maupun sosial. Filsafat ilmu harus mencakup bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu sendiri beserta segenap perangkatnya melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kebudayaan, moral, sosial dan politik. Demikian juga pembahasan yang bersifat analitis dari tiap-tiap unsur bahasan harus diletakkan dalam kerangka berpikir secara keseluruhan (Yuyun, 1981: 39) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).


DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gaja Mada (UGM), 2007, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Liberty, Yogyakarta.
Soetrisno dan Hanafi, Rita, 2007, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Salam, Burhanuddin, 2000, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Rineka Cipta, Jakarta.

Senin, 03 Mei 2010

PENGKONDISIAN BELAJAR (CONDITIONING LEARNING)

PENGKONDISIAN BELAJAR (CONDITIONING LEARNING)
DALAM RANGKA MEMPERKUAT MOTIVASI ANAK PADA PROSES PEMBELAJARAN
(Makalah disampaikan pada Seminar Hari Guru di Kampus Universitas Negeri Manado)
Disusun oleh
HAYATUDDIN FATARUBA

I.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Aktivitas belajar bagi setiap individu tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang menggairahkan, lancar, cepat memahami apa yang dipelajari, dan cepat menangkap apa yang diberikan guru dalam proses pembelajaran, namun ada yang sebaliknya tidak bisa berkonsentrasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, tapi pada intinya ada dua faktor utama yang berperan sangat penting dalam aktivitas anak dalam proses belajarnya yakni, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor fisiologis dan psikologis anak, dan faktor eksternal meliputi faktor sosial budaya dan faktor non-sosial anak.
Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran.
Berdasarkan kenyataan real di lapangan dari berbagai hasil riset dan penelitian, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan kreatifitas siswa. Masih banyak tenaga pendidik yang belum memahami psikologi belajar dan psikologi pendidikan yang masih menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajarannya di kelas, sehingga suasana proses pembelajaran terkesan kaku, kurang bergairah, dan kegiatan dimonopoli atau didominasi oleh guru. Padahal proses belajar itu pada intinya harus lebih mengutamakan peserta didik.
Proses pembelajaran yang dilakukan banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi pelajaran biasanya guru menggunakan metode yang tidak pernah divariasikan dan hanya itu-itu saja, dimana siswa hanya duduk mencatat dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru dan sedikit sekali peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif.
Dari faktor-faktor ini, maka guru/orang tua dituntut untuk harus memahami betul aspek-aspek pendukung pembelajaran, karena setiap anak memiliki perbedaan karakter terhadap apa yang akan dipelajari. Perbedaan-perbedaan seperti inilah yang sering kita jumpai di dalam setiap proses pembelajaran, baik itu di sekolah maupun di rumah. Padahal setiap anak memiliki kecenderungan untuk mengetahui segala sesuatu, namun tidak semua pengetahuan itu akan melekat kuat dalam memorinya, begitu pula tidak semua pengetahuan itu akan memberikan rangsangan kepada anak untuk memahaminya lebih jauh.
Pada hakikatnya inti persoalan belajar terletak pada anak didik, sebab pendidikan adalah perlakuan terhadap anak didik yang secara psikologis perlakuan tersebut harus selaras dengan keadaan anak didik. Dengan demikian, permasalahan psikologis yang berperan dalam proses pendidikan anak dapat terjawab apabila guru dapat memberikan bantuan kepada anak didik agar berkembang secara wajar melalui konsep-konsep belajar, model belajar dan perlakuan-perlakuan psikologis dalam belajar yang dapat merangsang motivasi anak untuk merespons setiap stimuli belajar yang dikondisikan oleh guru.
Dengan demikian, maka pemahaman dan prinsip yang selama ini melekat kuat dalam pandangan guru bahwa yang penting guru mahir menguasai bahan ajar dan mahir menggunakan berbagai perangkat pendukung pembelajaran maka kegiatan belajar akan sukses, dan merupakan pandangan yang sangat keliru itu bisa dirubah dengan paradigma bahwa tidaklah cukup hanya dengan menguasai bahan ajar dan ketrampilan menggunakan perangkat pembelajaran saja.
Karena kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa akhir-akhir ini, dengan semakin lengkapnya sarana prasarana pendukung pembelajaran berupa buku-buku manual, buku-buku elektronik, alat-alat peraga manual, alat-alat peraga berupa animasi komputer, audio visual dan lain-lain belum menjamin siswa menguasai bahan ajar secara maksimal. Mengapa demikian, karena guru melupakan salah satu faktor penting dalam diri anak yang merupakan potensi yang memotivasi anak untuk belajar, yakni faktor internal anak. Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa faktor eskternal akhir-akhir ini lebih kita kedepankan, disebabkan karena kita lebih menaruh perhatian terhadap bagaimana mempersiapkan anak untuk memasuki pangsa pasar tenaga kerja, sehingga kita melupakan esensi penting dari belajar yakni life skill (pengalaman seumur hidup) sang anak untuk mempersiapkan dirinya berada di tengah-tengah lingkungan sosialnya. Dengan keteledoran kita inilah yang kemudian melahirkan anak-anak yang selesai dan tuntas melalui jenjang-jenjang pendidikan formalnya, namun tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk berada di tengah-tengah lingkungan sosialnya, apalagi mengembangkan dirinya dan mengembangkan lingkungan sosialnya. Bahkan anak akan menjadi terasing dalam lingkungan sosialnya sendiri.
Pengkondisian belajar yang seharusnya merangsang dan memotivasi anak untuk memahami apa yang dipelajarinya untuk menjadi bekal pengetahuannya di masa yang akan datang, berubah menjadi pengkondisian belajar untuk menciptakan anak siap bekerja.
Dengan demikian kita mengkhianati potensi anak yang seharusnya bisa berkembang untuk menjadi dirinya sendiri, mampu menciptakan sendiri lapangan pekerjaannya sendiri, berubah menjadi anak yang membutuhkan pekerjaan dan harus bergantung kepada orang lain secara terus menerus.
BAB. II PEMBAHASAN MASALAH
A.PENGERTIAN BELAJAR
Kalau ditanyakan apakah belajar itu? Maka jawaban yang kita dapatkan akan berfariasi, disebabkan karena banyak aktivitas yang dilakukan oleh hampir semua orang dapat disebut perbuatan belajar. Dengan demikian, maka definisi tentang belajar inipun bermacam-macam. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi belajar yang dapat dipakai sebagai data untuk mencari inti persoalannya:
1. Crombach (didalam bukunya Educational Psychology, 1954:47)dalam Sumadi Suryabrata (2006)menyatakan bahwa; learningis shown by a change in behavior as a result of experience (Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami; dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan panca inderanya).
2. Harold Spears (1955:94) dalam Sumadi Suryabrata (2006)menyatakan bahwa; learning is to observe,to read,to imitate,to try something themselves,to listen,to follow direction (belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengarkan dan mengikuti petunjuk).
3. Mc.Geoh (dalam Skinner,1958:109) dalam Sumadi Suryabrata (2006) menyatakan bahwa; learning is a change in performance as a result of practice (belajar adalah suatu perubahan yang dicapai setelah mencoba sesuatu atau mempraktekkan sesuatu).
4. William Stern (dalam Stern, 1950:313) dalam Sumadi Suryabrata (2006)menyatakan bahwa; learn ist kenntnisserwerb durch wiedurholte darbeitungen (der ansignung neur fertigkeiten durch wiederholung die rede.
5. James O.Wittaker (dalam Psychologi Pendidikan landasan kerja pemimpin pendidikan;Drs.Wasty Soemanto; 2006) menyatakan bahwa; belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
6. Di dalam buku yang sama, Howard L.Kingsley menyatakan bahwa; belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam artian luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.

Sehingga dari definisi-definisi yang dikemukakan para ahli sebagaimana tersebut di atas, maka didapatkan hal-hal pokok mengenai belajar sebagai berikut:
a.bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, aktual maupun
potensial)
b.bahwa perubahan itu pada intinya adalah didapatkannya kecakapan baru.
c.bahwa perubahan-perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).
d.bahwa belajar semakin efektif, dibutuhkan latihan-latihan atau pengalaman-pengalaman.
B.TEORI-TEORI BELAJAR
Sebuah teori pembelajaran biasanya memiliki tiga (3) fungsi yang berbeda namun saling terkait erat. Pertama, teori pembelajaran adalah pendekatan terhadap suatu bidang pengetahuan;suatu cara menganalisis,membicarakan dan meneliti pembelajaran. Kedua, belajar itu berupaya untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukum-hukum pembelajaran ke dalam ruang yang cukup kecil. Dan yang Ketiga, secara kreatif belajar itu berupaya menjelaskan apa itu pembelajarn dan mengapa pembelajaran berlangsung seperti adanya. Dewasa ini terdapat bermacam-macam teori dalam membahas belajar ini, sebagaimana dikutip dari Winfred F. Hill dalam bukunya “Theories of learning”diantaranya:
1.Teori Belajar Aliran Behavioristik (tingkah laku) yang menekankan pada hasil.
Pandangan dari teori ini adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Para ahli yang merumuskan teori ini antara lain:
a.Thorndike (1911)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran,perasaan atau gerakan) dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan atau gerakan).
b.Watson (1963)
Menurut Watson, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable)
c.Clark Hull (1943)
Menurut Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup oleh karena itu, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral dimana kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive),seperti lapar,haus,tidur,hilangnya rasa nyeri dan sebagainya (stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini meskipun respons mungkin bermacam-macam bentuknya).
d.Edwin Guthrie (teori kontiguiti)
Menurut Guthrie, belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu. Hubungan antara stimulus dengan respons merupakan faktor kritis dalam belajar, untuk itu diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respons akan lebih kuat (bahkan menjadi kebiasaan) apabila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus.
Guthrie juga mengemukakan bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang.
e.Skinner (1968) (neo-behavioris,yang mengalihkan dari laboratorium ke praktik kelas)
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respons untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) seperti Hull dan Guthrie adalah deskripsi yang tidak lengkap. Mengapa? karena respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan interaksi itu akhirnya mempengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa. Oleh karena itu untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan pemahaman terhadap respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons tersebut.
2.Teori Belajar Aliran Kognitif (mementingkan proses)
Teori belajar Kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Menurut penganut teori ini, belajar bukan hanya sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons, tetapi lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan yang diusulkan Jean Piaget, “belajar bermakna” yang dikonsepkan oleh Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas (free discovery learning)”nya Jerome Bruner.
a.Jean Piaget (1975)
Menurut Jean Piaget, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga (3) tahapan, yakni:
1. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
Bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadi proses pengintegrasian antara proses penjumlahan (yang sudah ada di benak siswa) denga prinsip perkalian (sebagai informasi baru dari guru).
2. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Jika seseorang diberikan soal perkalian, maka yang bersangkutan akan menggunakan prinsip-prinsip perkalian. Berarti pemakaian (aplikasi) prinsip-prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan lebih spesifik.
3. Equilibrasi (penyeimbangan) adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Agar seseorang dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan (antara dunia luar dengan dalam). Tanpa proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur (disorganized).

b.Ausubel (1968)
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa (advance organizers).
Ausubel yakin bahwa “advance organizers (pengatur kemajuan belajar)” dapat memberikan tiga (3) manfaat, yakni:
1. dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari siswa.
2. dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa sedemikian rupa.
3. mampu membantu siswa untuk memahami bahan ajar secara lebih mudah.

c.Bruner (1960) (free discovery learning)
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep,teori,definisi,dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya (dengan kata lain siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum).
Disamping itu, Brunner juga mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas.
Menurut pandangan Bruner, bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran bersifat preskriptif. Misalnya teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan penjumlahan.
3.Teori Belajar Aliran Humanistik.
Dari beberapa teori belajar, teori Humanistik inilah yang paling abstrak dan yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Teori ini lebih menekankan isi dari proses belajar dan lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuk paling ideal daripada belajar seperti apa adanya. Pakar yang mengusulkan teori ini selain dari Ausubel dengan teori belajar bermakna (meaningful learning)-nya, juga beberapa ahli antara lain:
1.Bloom dan Krathwohl
Mereka mengemukakan bahwa apa yang mungkin dipelajari atau dikuasai siswa,tercakup dalam:
a.Kognitif
Kognitif terdiri dari 6 (enam) tingkatan:
1. pengetahuan (mengingat,menghafal)
2. Pemahaman (menginterpretasikan)
3. aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
4. analisis (menjabarkan suatu konsep)
5. sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
6. evaluasi (membandingkan nilai,ide,metode dan sebagainya)
b.Psikomotor
Psikomotor terdiri dari 5 (lima) tingkatan:
1. peniruan (menirukan gerak)
2. penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3. ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4. perangkaian (melakukan beberapa gerak sekaligus denga benar)
5. naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
c.Afektif
Afektif terdiri dari 5 (lima) tingkatan:
1. pengenalan (ingin menerima,sadar akan adanya sesuatu)
2. merespons (aktif berpartisipasi)
3. penghargaan (menerima nilai-nilai,setia kepada nilai-nilai tertentu)
4. pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
5. pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).
Sedangkan David R.Krathwohl dalam buku “A taksonomy for learning, teaching, and assessing” sebagaimana dikutip oleh Winfred F. Hill (2009) dalam bukunya “theories of learning”, mengadakan refisi aspek kemampuan kognitif dari Bloom dengan memilah menjadi 2 (dua) dimensi yakni, dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif. Dalam dimensi pengetahuan, didalamnya meuat objek ilmu yang disusun dari (1) pengetahuan fakta, (2) pengetahuan konsep, (3) pengetahuan prosedural, dan (4) pengetahuan meta kognitif. Sedangkan dalam dimensi proses kognitif, didalamnya memuat enam tingkatan meliputi (1) mengingat, (2) mengerti, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, dan (6) mencipta.
2.Kolb
Kolb membagi tahapan belajar menjadi 4 (empat) tahap:
a.pengalaman konkret
b.pengamatan aktif dan reflektif
c.konseptualisasi, dan
d.eksperimentasi aktif.

3.Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford (dalam Abu Ahmadi;2004) membuat penggolongan siswa dalam 4 (empat) type:
1.aktifis; mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman terbaru.
2.reflektor; mereka sangat cenderung berhati-hati mengambil langkah.
3.teoris; mereka biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat
atau penilaian yang sifatnya subjektif.
4.pragmatis; mereka biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal.
4.Habermas
Dalam pandangan Habermas, belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, maka Habermas mengelompokkan type belajar menjadi 3 (tiga) bagian:
1. belajar tekhnis (technical learning); dimana siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya.
2. belajar praktis (practical learning); dimana siswa juga belajar berinteraksi, tetapi antara siswa dengan orang-orang disekelilingnya saja.
3. belajar emansipatoris (emancipator learning); dimana siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan. Oleh Habermas, transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi).
4.Teori Belajar Aliran Sibernetik.
Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Sekilas teori ini mirip teori kognitif yang lebih mementingkan proses. Namun yang lebih penting lagi dari teori ini adalah sistem informasi yang diproses, karena informasi inilah yang menentukan proses.
Assumsi lain dari teori ini adalah bahwa tidak ada satu proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa.
Para pendukung dan pengembang teori ini antara lain:
a.Landa (pendekatan algoritmik dan heuristic)
Menurut Linda, ada 2 (dua) macam proses berpikir. Pertama disebut proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir linear, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu, dan yang kedua disebut cara berpikir heuristic, yaitu cara berpikir divergen menuju ke beberapa target sekaligus.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari atau masalah yang hendak dipecahkan diketahui ciri-cirinya, lebih tepatnya apabila disajikan dalam bentuk “terbuka” dalam urutan teratur, linier, sekuensial dan memberi keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berfikir. Namun untuk memahami satu konsep yang lebih luas dan banyak memiliki interpretasi, maka akan lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing ke arah yang “menyebar (heuristic)” sehingga pemahaman mereka terhadap konsep tersebut tidak monoton, tunggal atau dogmatis.
b.Pask dan Scott (pembagian siswa type wholist dan type serial).
Konsep yang diusulkan dalam teori ini hampir sama dengan pendekatan algoritmik, namun cara berpikir menyeluruh adalah cara berpikir yang cenderung melompat ke depan langsung ke gambaran lengkap dan utuh dalam sebuah sistem informasi.
Dengan demikian menurut teori Sibernetik ini, agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu dipahami, tetapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itupun perlu diketahui.
C.HUKUM-HUKUM BELAJAR
Dalam proses belajar (sebagaimana dikutip dalam buku Theories of Learning: Winfred F. Hill), terjadi hubungan antara tanggapan (bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan) yang satu dengan tanggapan yang lainnya dalam jiwa. Menurut ahli-ahli psychology, hubungan antara tanggapan-tanggapan itu ada semacam kekuatan halus yang menyebabkan bahwa apabila tanggapan yang satu memasuki wilayah kesadaran, maka tanggapan itu akan memanggil tanggapan yang lain dan membawanya memasuki wilayah kesadaran.
Sehingga kekuatan tanggapan ini menimbulkan sebab akibat yang berdasarkan aturan atau hukum-hukum tanggapan, dapat dibagi ke dalam beberapa bagian:
1.Hukum sama saat atau serentak; dimana beberapa tanggapan yang dialami dalam waktu bersamaan cenderung untuk berasosiasi (hubungan antara tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lainnya dalam jiwa) antara satu dengan yang lainnya.
2.Hukum berturutan; dimana beberapa tanggapan yang dialami berturut-turut, cenderung untuk berasosiasi antara satu dengan yang lainnya.
3.Hukum kesamaan atau kesesuaian; dimana beberapa tanggapan yang bersesuaian cenderung untuk berasosiasi antara satu denga yang lainnya.
4.Hukum berlawanan; dimana tanggapan-tanggapan yang saling berlawanan akan berasosiasi satu sama lainnya.
5.Hukum sebab akibat; dimana tanggapan yang mempunyai hubungan sebab akibat cenderung untuk berasosiasi satu sama lainnya.
Sehingga dalam belajar, agar ingatan anak lebih bisa dipertajam, maka:
a.Pada waktu menghafal hendaklah kondisi-kondisi diatur sedemikian rupa, sehingga dapat dicapai hasil maksimal; seperti menyuarakan, melafalkan, pembagian waktu belajar yang tepat, pemilihan tekhnik yang tepat, dan sebagainya.
b.Mereproduksi (pengaktifan kembali hal-hal yang telah dicamkan;dimana terdapat dua bentuk yakni, mengingat kembali/recall, dan mengenal kembali/recognition) dengan memperlancar dan memperkaya atau menyempurnakan bahasa yang disampaikan.
c.Agar interfensi dalam proses belajar lebih tajam, dapatlah diatur waktu untuk belajar sebaik mungkin, sehingga hal-hal yang dipelajari dapat tertanam benar dalam ingatan anak.
d.Setiap individu berbeda dalam kemampuannya mengingat, tapi tiap orang dapat meningkatkan kemampuan mengingatnya dengan pengaturan kondisi yang lebih baik dan penggunaan metode yang lebih tepat.
D.KONSEP-KONSEP BELAJAR
1.Konsepsi yang disusun atas dasar pemikiran Spekulatif
Belajar (sebagaimana dikutip dalam buku Psikologi Pendidikan: Sumadi Suryabrata:2004) a.Menurut ahli-ahli golongan Skolastik
Belajar itu pada hakikatnya ialah mengulang-ulang bahan yang harus dipelajari. Dengan semakin diulang, maka bahan pelajaran akan makin diingat.
b.Menurut golongan Kontrareformasi
Inti kegiatan belajar adalah ulangan. Pokok atau induk belajar itu ialah mengulangi.
c.Menurut konsepsi ahli-ahli psikologi Daya (the psychology of faculty)
Para ahli aliran ini memikirkan bahwa jiwa dianalogikan dengan raga atau jasmani.Sebagaimana jasmani memiliki daya, maka jiwapun dianggap memiliki daya,misalnya daya untuk mengenal,mengingat,berkhayal, berpikir, merasakan,menghendaki,dan sebagainya. Seluruh daya ini akan meningkat bila sering dilatih berulang-ulang.
d.Menurut pendapat Herbart (teori tanggapan atau Vorstellungstheorie)
Herbert menentang teori daya, karena teori daya tidak dapat menerangkan kehidupan jiwa. Berlandaskan pada latar belakangnya sebagai seorang ahli matematika, Herbert ingin menerangkan kehidupan jiwa dengan cara matematis,dan berusaha mendapatkan unsur yang paling sederhana dari isi jiwa yaitu tanggapan atau vorstellung (jiwa kita berisi tanggapan-tanggapan) dan kebanyakan selalu dalam keadaan tidak kita sadari.Semakin kuat suatu tanggapan,maka makin besarlah peranannya dalam menentukan tingkah laku manusia.Secara matematis,masih menurut Herbert, kekuatan tersebut tergantung kepada dua (2) hal,yaitu:
1.Jelas atau tidaknya pada waktu pertama kali diterima oleh manusia;jadi makin jelas makin besar kekuatannya.
2.Frekuensinya atau sering-tidaknya tanggapan tersebut masuk ke dalam kesadaran,jadi makin sering suatu tanggapan masuk ke dalam alam kesadaran makin bertambah kekuatannya.
Untuk itu ada dua (2) hal yang harus ditempuh dalam mendidik sehingga bisa menentukan tingkah laku seseorang,yaitu:
1.memberikan tanggapn sejelas-jelasnya
2.memasukkan tanggapan tersebut sesring mungkin ke dalam kesadaran.
2.Pendekatan Eksperimental Ebbinghaus
Pendekatan ini menyatakan bahwa bahan yang ingin kita ingat dengan baik, haruslah terus-menerus kita ulangi.
3.Koneksionisme atau Bond-Psychologi (Teori Thorndike)
Yang menjadi dasar belajar ialah asosiasi (penyatuan) antara kesan panca indera (sense impression) dengan impuls untuk bertindak (impulse to action). Asosiasi seperti inilah yang disebut oleh Thorndike sebagai Bond Psychologi atau Connection.
E.KONDISI-KONDISI BELAJAR
Pada dasarnya anak belajar melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Eksplorasi
Siswa/anak mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan tentang sesuatu melalui seluruh inderanya, kemudian dikembangkan melalui berbagai usaha, melakukan sendiri dengan macam-macam kemungkinan.
2. Coba-coba
Melalui trial and error siswa belajar memecahkan masalah
3. Rasa tidak senang
Dengan merasakan tidak senang/penderitaan, ia akan belajar menghindari kesalahan
4. Rasa gembira
Sesuatu yang menyenangkan cenderung untuk diulangi, dan sebaliknya sesuatu yang tidak menyenangkan cenderung untuk dihindari
5. Imitasi
Belajar melalui peniruan atau melalui pengamatan yang sering dilakukan oleh anak
6. Partisipasi
Dengan belajar melalui peniruan berarti anak akan berpartisipasi secara aktif (learn by doing)
7. Komunikasi
Makin mudah berkomunikasi, maka akan menarik bagi anak akan sesuatu hal untuk dipelajari.
Sehingga hal-hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam setiap proses pembelajaran adalah dimana anak; sebagaimana setiap individu, memiliki sifat-sifat aktifitas diantaranya:
1. Perhatian
Perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju kepada sesuatu objek (Stern 1950, dalam Sumadi Suryabrata,2006)
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa perhatian membutuhkan kesadaran di setiap aktifitas yang dilakukannya. Sehingga agar lebih spesifik dalam membedakan formulasi perhatian, dapat digolongkan atas:
a. Atas dasar intensitas (banyak sedikit kesadaran yang menyertai aktifitas)
• Perhatian intensif
• Perhatian tidak intensif
b. Atas dasar cara timbulnya
• Perhatian spontan (tak sekehendak/tak disengaja)
• Perhatian refleksif (sekehendak/disengaja)
c. Atas dasar luasnya objek
• Perhatian distributif (terpancar)
• Perhatian konsentratif (terpusat)
Dari beberapa penggolongan perhatian sebagaimana tersebut di atas, maka aktifitas yang disertai dengan perhatian intensif akan lebih sukses, prestasinya lebih tinggi. Namun perlu diperhatikan juga bahwa, perhatian spontan cenderung untuk berlangsung lebih lama dan lebih intensif daripada perhatian yang disengaja. Namun dalam kenyataan, sebagian besar pelajaran justru diterima oleh siswa dengan perhatian yang disengaja. Sehingga guru harus selalu berusaha untuk menarik perhatian siswa dengan berbagai macam model dan desain pembelajaran yang menarik perhatiannya.
2. Pengamatan
Pengamatan adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengenal dunia riil, baik dirinya sendiri maupun lingkungannya dengan melihat, mendengar, membau, mengecap, dan merasa dengan panca inderanya.
Reaksi pengamatan dari setiap individu (Abu Ahmadi,2004:22) digambarkan sebagai berikut : S – O – R
S = Stimulus (perangsang)
O = Organisasi (mengolah stimulus)
R = Respons (reaksi yang diberikan setelah terjadinya suatu stimuli)
Sehingga pengamatan itu terjadi setelah penginderaan, objeknya nyata, terikat waktu dan tempat, serta jelas yang akan memunculkan tanggapan.
Kekuatan tanggapan anak berbeda, dipengaruhi oleh jenis tanggapan diantaranya:
a. Tipe Virtual, artinya manusia itu mempunyai ingatan yang baik/kuat dari apa yang dilihatnya.
b. Tipe Auditif, artinya manusia memiliki ingatan yang kuat dari apa yang didengarnya.
c. Tipe Motorik, artinya manusia mempunyai ingatan yang kuat dari rangsangan yang bergerak
d. Tipe Tekstual, artinya manusia mempunyai ingatan yang baik dari apa yang diraba
e. Tipe Campuran, artinya semua indra memiliki kemampuan yang seimbang, sehingga pada waktu seseorang mengindra menggunakan semua indra.
Dari pengertian diatas, maka guru dalam mendesain setiap bahan ajar yang akan diberikan kepada anak, hendaklah mempertimbangkan kemampuan pengamatan dan jenis-jenis tanggapan yang dimiliki anak apakah berfungsi sempurna ataukah tidak untuk menghindari kesalah pahaman konsep tentang apa yang diajarkan.
3. Ingatan
Ingatan ialah suatu daya yang dapat menerima, menyimpan, dan mereproduksi kembali kesan-kesan, tanggapan-tanggapan, dan pengertian-pengertian (Abu Ahmadi,2004:26). Sehingga secara teori dapat kita bedakan adanya tiga aspek dalam berfungsinya ingatan yakni:
a. Mencamkan (menerima kesan-kesan)
Mencamkan dapat terjadi secara sengaja (sekehendak) atau menghafal dan secara tidak sengaja (tidak sekehendak)
b. Menyimpan kesan-kesan
c. Mereproduksi kesan-kesan
Ingatan yang baik mempunyai sifat antara lain: cepat atau mudah mencamkan, setia, teguh, luas dalam menyimpan, siap sedia dalam mereproduksi kesan-kesan. Sedangkan ingatan cepat artinya mudah dalam mencamkan sesuatu hal tanpa menjumpai kesukaran. Ingatan setia artinya apa yang telah diterima (dicamkan) itu akan disimpan sebaik-baiknya, taka akan berubah-ubah, jadi tetap cocok dengan keadaan waktu menerimanya. Ingatan teguh artinya dapat menyimpan kesan dalam waktu yang lama, tidak mudah lupa. Ingatan luas artinya dapat menyimpan banyak kesan-kesan. Ingatan siap artinya mudah dapat mereproduksikan kesan yang telah disimpannya.
4. Tanggapan
Tanggapan didefinisikan sebagai bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan (Bigot dkk 1950 dalam Sumadi Suryabrata,2006)
Memang dalam tanggapan tidak hanya kita mampu menghidupkan kembali apa yang telah kita amati dimasa lampau tetapi juga bagaimana kita dapat mengantisipasi apa yang akan diamati dimasa akan datang. Sehingga dengan kondisi seperti ini, tanggapan dapat dibagi atas:
a. Tanggapan masa lampau atau ingatan
b. Tanggapan masa kini atau representatif
c. Tanggapan masa datang atau tanggapan antisipatif
Untuk memperkuat suatu tanggapan, maka dibutuhkan bayangan-bayangan penguat. Bayangan-bayangan tersebut antara lain:
• Bayangan pengiring, yakni bayangan yang timbul setelah kita melihat sesuatu warna. Bayangan ini ada dua macam:
1. Bayangan pengiring positif, yaitu bayangan pengiring yang sama dengan warna objeknya.
2. Bayangan pengiring negatif, yaitu bayangan pengiring yang tak sama dengan warna objeknya, melainkan seperti warna komplemen dari warna objek.
• Bayangan eidetic, yakni bayangan yang sangat jelas dan hidup, sehingga menyerupai pengamatan.
Selain bayangan-bayangan penguat, hal-hal yang paling utama diperhatikan adalah kekuatan tanggapan anak lebih banyak berhubungan dengan kekuatan inderawinya sehingga objek-objek yang mengiringi tanggapan seperti: visual, auditif, taktil, gustative, dan olfaktoris perlu diperkuat agar tanggapan anak bisa lebih sempurna.
5. Fantasi
Fantasi didefinisikan sebagai daya untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang sudah ada, dan tanggapan baru itu tidak harus sesuai dengan benda-benda yang ada.
Fantasi dapat digolongkan atas dua macam:
1. Fantasi tak disadari, yakni fantasi yang terjadi dengan tidak disengaja.
2. Fantasi yang disadari, yakni fantasi yang terjadi dengan disengaja, dan ada upaya untuk masuk ke dunia imajiner. Fantasi ini dibagi atas:
a. Fantasi secara aktif yang dikendalikan oleh pikiran dan kemauan.
b. Fantasi secara pasif yang tidak dikendalikan sehingga seolah-olah subjeknya hanya pasif saja sebagai wadah terjadinya tanggapan-tanggapan.
Sehingga fantasi-fantasi akan berada pada:
 Fantasi yang bersifat mengabstraksikan, dimana bila dalam berfantasi ada bagian-bagian yang dihilangkan.
 Fantasi yang bersifat mendeterminasikan, dimana bila dalam berfantasi itu sudah ada skema tertentu lalu diisi dengan gambaran lain.
 Fantasi yang bersifat mengkombinasikan, dimana bila dalam berfantasi terjadi penggabungan bagian dari tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lain.
Dengan demikian maka, fantasi memungkinkan orang menempatkan diri dalam hidup kepribadian orang lain sehingga bisa memahami sesama, dapat menyelami sifat manusia sehingga bisa memahami kodisi sifat dan budaya orang lain, menjadikan orang memahami apa yang terjadi ditempat lain dan waktu yang lain, memungkinkan melepaskan diri dari kesukaran yang dihadapi, menyelesaikan konflik-konflik, dan mampu menciptakan apa yang dicita-citakan.
6. Berpikir
Berpikir adalah daya jiwa yang dapat meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan kita (Abu Ahmadi:2004).
Berpikir secara garis besarnya dibagi atas 2 (dua) bagian (Team Dosen Filsafat Ilmu UGM,2007:97) yakni:
• Berpikir alamiah yakni pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya
• Berpikir ilmiah yakni pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat.
Perkembangan berpikir anak sejalan dengan perkembangan kesadarannya yang biasanya dimulai dari taraf konkret ke taraf bagan lalu ke taraf abstrak.
Agar berpikir anak itu terangkai secara sempurna maka menurut:
• Para ahli ilmu jiwa asosiasi, bahwa berpikir itu berlangsung secara mekanis dimana individu dalam hal ini anak akan menarik tanggapan-tanggapan yang sejenis dengan tanggapan-tanggapan yang tak sejenis
• Para ahli ilmu jiwa apersepsi, bahwa dalam proses berpikir itu jiwa selalu aktif memberikan arah dan mengatur proses berpikir tersebut
• Para ahli ilmu jiwa berpikir, bahwa berpikir merupakan pergaulan antara pengertian-pengertian.
Berpikir merupakan proses dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir, yang menurut Syaiful Sagala (2009):
1. Pembentukan pengertian , yaitu melalui proses mendiskripsi ciri-ciri objek yang sejenis, mengklasifikasi ciri-ciri yang sama, mengabstraksi denga menyisihkan, membuang, dan menganggap ciri-ciri yang hakiki
2. Pembentukan pendapat, yaitu meletakkan hubungan antar dua buah pengertian atau lebih yang hubungan itu dapat dirumuskan secara verbal berupa pendapat menolak, pendapat menerima atau mengiyakan, dan pendapat asumtif yaitu mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan suatu sifat pada suatu hal
3. Pembentukan keputusan, yaitu penarikan kesimpulan yang berupa keputusan sebagai hasil pekerjaan akal berupa pendapat baru yang dibentuk berdasarkan pendapat-pendapat yang sudah ada.
Sehingga proses berpikir itu diarahkan oleh:
1. Soal/masalah yang dijumpai
2. Berpikir itu menggunakan pengertian-pengertian yang kompleks
3. Berpikir itu menggunakan bagan/skemata
4. Berpikir itu memerlukan cara-cara tertentu
5. Berpikir membutuhkan rangsangan/stimuli tertentu
6. Berpikir untuk membentuk pengertian,pendapat, dan keputusan.
Oleh karena itu kemampuan guru dalam merangsang inteligensi anak dalam berpikir sangat dibutuhkan.
F. MOTIVASI
Masalah memotivasi siswa dalam belajar merupakan masalah yang sangat kompleks. Dalam usaha memotivasi siswa tersebut, tidak ada aturan-aturan yang sederhana, sehingga dibutuhkan kepekaan guru terhadap kompleksitas masalah motivasi ini. Guru hendaklah mengetahui prinsip-prinsip motivasi yang dapat membantu pelaksanaan tugasnya dalam mengajar meskipun tidak ada pedoman khusus dalam masalah ini.
• Motivation refers to the drive and effort to satisfy a want or goal (Harold Koonts dalam D.C.Kambey:2006)
• Motivasi sebagai suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang (Wahjosumidjo dalam D.C. Kambey:2006)
• Motivasi dapat dipahami sebagai suatu variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju sutu sasaran (Syaiful Sagala,2009:100)
• Motivasi ialah keseluruhan proses penggalakkan/peningkatan motif seseorang sedemikian rupa yang mendorongnya melakukan sesuatu (bertingkah laku) dengan bersemangat untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam upaya memuaskan kebutuhannya (Daniel C.Kambey,2006:81)
• Motifasi ialah suatu perubahan tenaga di dalam diri/pribadi seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi dalam usaha mencapai tujuan (Mc Donald dalam Wasty Soemanto:2006).
Dari definisi yang disampaikan oleh para ahli sebagaimana tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahawa:
 Motivasi dimulai dengan suatu perubahan tenaga dalam diri sesorang
 Motifasi ditandai oleh dorongan afektif
 Motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi mencapai tujuan
 Motivasi tersimpul dari tingkah laku
Motivasi menurut Syaiful Sagala (2009) pada dasarnya dibagi atas dua:
1. Motivasi instrinsik: dorongan/kekuatan dalam diri individu agar mencapai keinginan/kehendak
2. Motivasi ekstrinsik: dorongan yang timbul untuk mencapai tujuan yang datang dari luar dirnya.
Lebih lanjut Wasty Soemanto (2006) menjelaskan bahwa:
1. Motivasi instrinsik (inner component/elemen dalam) ini berupa perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang berupa keadaan tidak puas, atau ketegangan psikologis. Rasa ini bisa timbul oleh karena keinginan-keinginan untuk memperoleh penghargaan, pengakuan, serta berbagai macam kebutuhan lainnya.
2. Motivasi ekstrinsik (outer component/elemen luar) ini berupa tujuan yang ingin dicapai.
Dalam proses pembelajaran, siswapun termotivasi dengan prinsip-prinsip sebagaimana disebutkan di atas sehingga melahirkan hukum-hukum belajar sebagaimana hasil eksperimen Thorndike:
• Low of readiness, dimana hukum ini menunjukkan keadaan-keadaan dimana siswa/anak cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidakpuasan, menerima atau menolak sesuatu. Dalam hal ini apabila motivasi instrinsik dan ekstrinsik siap berkonduksi maka akan mebawa kepuasan, bila salah satu diantara motivasi ini atau kedua-duanya tidak siap maka akan menimbulkan ketidak puasan. Sehingga belajar dan hasil yang didapat harus terkondukasi sempurna agar siswa/anak akan merasa puas.
• Low of exercise, dimana hukum ini menunjukkan keadaan bahwa apabila motivasi yang selalu diulang-ulang akan memberikan penguatan dalam belajar. Sehingga dalam belajar, bahan ajar selalu diberikan secara berulang-ulang agar dapat merangsang sevara sempurna kekuatan belajar anak.
• Low of effect, dimana hukum ini menunjukkan bahwa bila hubungan antara rangsangan dan respons menguat, maka motivasipun akan semakin kuat dan menimbulkan kepuasan dan tanggapan yang luar biasa.
Dengan demikian, motivasi ini dapat didorong karena pada setiap individu terdapat motif-motif berupa keinginan dan kebutuhan.
Anak/siswa dalam belajar, juga pada dasarnya sangat membutuhkan motivasi-motivasi guna merangsang kemauan dan kemampuannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agar motivasi anak ini, maka Victor H. Vroom dalam Daniel C. Kambey 2006, mengemukakan Expectancy Theory (teori harapan), yakni bagaimana guru berusaha menggerakkan, mengarahkan, menguatkan, memelihara dan menghentikan perilaku siswa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan ingin dicapai dalam proses pembelajaran, diantaranya:
• Expectancy (harapan), dimana guru harus memiliki kepastian bahwa hasil proses pembelajaran siswa akan muncul mengikuti suatu tindakan berupa rangsangan-rangsangan dalam metode pembelajaran yang disajikannya. Ini disebut daya tarik hasil, dimana seberapa jauh guru memberi arti penting dari proses pembelajarannya
• Valence (nilai), dimana guru harus memiliki kepastian bahwa dalam proses pembelajarannya akan mencapai hasil yang memuaskan, karena siswa juga membutuhkan pengetahuan tentang apa yang dipelajari, dan apa yang akan didapatnya sehingga guru memiliki kekuatan untuk memotivasi siswanya agar memperoleh nilai yang diinginkan siswanya tersebut
• Instrumentality (pertautan), dimana guru harus mengetahui bahwa siswa memilki motivasi untuk belajar karena menginginkan sesuatu bisa diperolehnya dari proses belajar tersebut sehingga siswa tersebut akan berupaya untuk memperoleh hal tersebut, seperti ingin mendapatkan nilai bagus, pengakuan sebagai siswa terpandai, memperoleh penghargaan, dan sebagainya.
Sehingga dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan yang dimiliki siswa tersebut, guru dituntut untuk bisa menggerakkan siswanya untuk mencapai apa yang diinginkan dengan berbagai metode dan strategi dalam proses pembelajaran agar belajar bisa sukses mencapai tujuan yang diinginkan oleh guru dan siswanya tersebut.
G.PENGKONDISIAN BELAJAR
Dalam setiap situasi belajar, terutama dalam merancang kegiatan belajar, guru perlu mengetahui prinsip-prinsip yang mempengaruhi proses belajar, yaitu kondisi belajar yang secara khusus berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan belajar, baik kondisi umum maupun kondisi khusus untuk mempelajari segi-segi tertentu dalam kegiatan belajar anak. Pengkondisian belajar dapat dilakukan antara lain:
1. Kondisi Umum
Dalam setiap belajar, sekurang-kurangnya ada enam kondisi umum belajar yang perlu diketahui dan dilakukan oleh guru.
a) Stimulasi belajar
Pesan yang diterima anak/siswa dapat berbentuk stimulus (visual, auditif, verbal, taktil, gustative, dan olfaktoris) sehingga dalam kegiatan belajar, setiap bahan yang disajikan guru harus dapat diterima oleh anak/siswa. Agar pesan yang disampaikan itu benar-benar diterima anak/siswa maka:
• Bahan/stimuli yang disajikan lebih representatif sehingga membantu anak/siswa untuk lebih mengenali stimuli yang diberikan kepadanya dengan jelas.
• Setiap penyajian bahan ajar diupayakan sering dilakukan penyajian secara berulang-ulang untuk memperkuat daya ingat anak terhadap apa yang disajikan.
• Sering menyebutkan kembali/mengingatkan apa yang telah disampaikan dengan sesering mungkin memberikan stimuli yang sama/sejenis yang pernah disajikan diwaktu lampau untuk mengingatkan kembali apa yang pernah dan akan dipelajari.
b) Perhatian dan motivasi
Jika stimulus pengajaran tidak memberikan kebutuhan tingkat masukan sensoris, mungkin anak akan mengadakan proses internal informasi lain (berpaling ke masalah yang lain), bahkan mungkin menutup diri dari seluruh proses belajar. Oleh karena masalah ini selalu timbul dari stimulus maka variasi adalah cara yang efektif untuk mempertahankan perhatian karena
• Sementara siswa mungkin lebih siap dalam suatu cara atau situasi tertentu
• Jumlah kemampuan untuk transfer informasi dapat dikembangkan melalui berbagai variasi penyajian, karena perhatiantidak pernah lengkap maka pengulangan tertentu perlu dilakukan agar pengajaran lebih efektif.

Salah satu usaha guru untuk membimbing perhatian anak/siswa yaitu melalui pemberian rangsangan/stimuli yang menarik perhatian anak, yang dapat ditunjukkan melalui 3 (tiga) segi:
1) Segi objek, dimana hal-hal yang menarik perhatian yaitu hal-hal yang keluar dari konteksnya seperti:
 Benda yang bergerak dalam situasi lingkungan yang diam atau tenang
 Warna benda yang lain dari warna benda-benda di sekitarnya
 Stimuli yang beraksi berbeda dari aksi lingkungannya
 Keadaan, sifat, sikap, dan cara yang berbeda dari biasanya
 Hal yang muncul mendadak dan hilang mendadak
2) Segi subjek/anak, dimana hal-hal yang menarik perhatian adalah hal-hal yang sangat bersangkut paut dengan pribadi subjek/anak seperti:
 Hal-hal yang bersangkut paut dengan kebutuhan anak
 Hal-hal yang bersangkut paut dengan minat dan kesenangan anak
 Hal-hal yang bersangkut paut dengan profesi dan keahlian anak
 Hal-hal yang bersangkut paut dengan sejarah atau pengalaman anak
 Hal-hal yang ersangkut paut dengan tujuan dan cita-cita anak
3) Segi komunikator/guru, dimana komunikator/guru yang membawa anak ke dalam posisi yang sesuai dengan lingkungannya seperti
 Guru yang memberikan pelayanan khusus kepada anak
 Guru yang menampilkan dirinya di luar konteks lingkungannya
 Guru yang memiliki sangkut paut dengan anak
 Guru menggunakan metode penyajian pelajaran yang dapat diterima anak
 Metode yang digunakan sesuai dengan minat, kebutuhan, dan kemampuan anak.
c) Respons yang dipelajari
Belajar itu proses aktif, maka anak/siswa harus dilibatkan ke dalam bahan yang dipelajarinya meliputi; perhatian, proses internal dalam informasi, serta tindakan yang nyata. Agar hasil belajar dapat dinilai, maka tujuan harus dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang dapat diamati. Karena respons siswa dibandingkan dengan tujuan harus ada penyesuaian, misalnya kalau pengenalan merupakan tujuannya, maka siswa disuruh memilih beberapa alternatif jawaban yang diberikan.
d) Penguatan dan umpan balik
Secara teori bila sesuatu kegiatan dapat memuaskan suatu kebutuhan, maka ada kecenderungan besar untuk mengulanginya. Sumber penguat belajar dapat secara ekstrinsik (nilai, pengakuan, penghargaan) dan dapat secara instrinsik (kegairahan untuk menyelidiki, mengartikan situasi. Siswa memerlukan dan harus menerima umpan balik dari guru secara langsung tingkat kesuksesannya dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan guru.
e) Pemakaian dan pemindahan
Pikiran manusia sanggup menyimpan informasi dan kata-kata dalam jumlah yang hampir tidak terbatas.
Salah satu prinsip untuk pemakaian kembali informasi yang telah dipelajari adalah mind (jiwa) harus membuat suatu alamat terhadap stimulus yang tersedia pada saat dibutuhkan.
Salah satu cara yaitu dengan mengadakan asosiasi belajar dengan memperluas pembentukan asosiasi bermakna karena dapat meningkatkan kemampuan untuk pemindahan (transfer) apa yang sudah dipelajari anak.
Asosiasi yang luas dengan cara pemberian bahan ajar yang bermakna, orientasi pengetahuan siswa, contoh-contoh yang jelas, pemberian latihan, dan sebagainya.
f) Kemampuan untuk belajar
Belajar yang efektif harus dapat mengambil manfaat dari semua kemampuan anak seperti:
• Kemampuan anak untuk mengenal dan menghubungkan pola visual
• Kemampuan anak mengamati waktu belajarnya
• Kemampuan anak menentukan tujuan belajarnya
• Kemampuan verbal anak yang memungkinkan komunikasinya.

2. Kondisi khusus
Ada 5 (lima) jenis kondisi belajar khusus yang berlaku untuk kegiatan belajar anak seperti:
• Kondisi belajar informasi
Yang termasuk belajar informasi adalah belajar lambang, kata-kata, istilah-istilah, definisi, persamaan, pernyataan sifat, dan lain-lain. Informasi yang dipelajari sering disebut fakta pengetahuan atau isi yang biasa dipelajari dengan menghafalkan, karena menghemat waktu bila sering digunakan. Sehingga yang perlu diperhatikan guru adalah:
 Siswa perlu diberi penjelasan tentang apa yang harus dipelajari, hasil yang diharapkan, manfaat bahan ajar/materi baginya
 Asas apersepsi pada saat memulai pembelajaran harus dilakukan
 Siswa diberi kesempatan untuk selalu berlatih
 Memberi banyak latihan sesering mungkin dalam rangka mengingatkan kembali siswa akan bahan ajar yang dipelajari
 Bila mempelajari bahan secara keseluruhan tidak ada hubungan yang logis, maka gunakan teknik belajar bagian demi bagian bila hubungannya logis.
• Kondisi belajar konsep
Mempelajari konsep mempunyai tiga dimensi yakni:
 Terjadi pengembangan secara internal pola mental anak yang memberikan perasaan dan kemampuan untuk menggunakannya
 Terjadi kemampuan verbalisasi, deskripsi, dan definisi anak
 Kemampuan anak pada pemberian nama untuk konsep tersebut
Kondisi khusus belajar konsep adalah:
 Direnungkannya arah/orientasi dan aplikasi konsep oleh anak
 Terjadi peninjauan unsur-unsur prasyarat pengetahuan anak
 Stimulus yang sederhana disajikan dari bagian-bagian secara simultan dan dalam urutan yang erat
 Perluas asosiasi anak dengan contoh-contoh
 Pertajam kemampuan diskriminasi anak dengan banyak contoh
 Berikanlah latihan-latihan untuk meninjau kembali seberapa jauh kemampuan anak dala mempelajari konsep yang telah diberikan
 Ujian kemampuan untuk mengamati contoh-contoh yang telah disajikan.
• Kondisi belajar prinsip
Belajar prinsip sama dengan belajar konsep. Prinsip merupakan sarana penting untuk meramalkan, dan memecahkan masalah. Kondisi khusus belajar prinsip antara lain:
 Perluas asosiasi anak dengan berbagai contoh
 Secara umum memulai suatu konsep/bahan ajar dari yang konkret sampai teori(abstrak), dari sederhana menuju kompleks
 Selalu meninjau kembali apa yang telah diajarkan dan latih anak menggunakan prinsip-prinsip.
• Kondisi belajar ketrampilan
Ketrampilan dibedakan menjadi dua yaitu ketrampilan intelektual dan ketrampilan psikomotorik. Belajar ketrampilan memerlukan latihan dalam mengkoordinasikan gerak motorik dengan kegiatan mental yang kompleks (senso-motorik)
Kondisi khusus belajar ketrampilan antara lain:
 Tujuan dan nilai dijelaskan kepada anak/siswa
 Ditujukan demonstrasi dari anak yang mampu ke kurang mampu
 Ketrampilan-ketrampilan dasarnya diberikan kepada anak/siswa
 Untuk meningkatkan perbaikan, perlu evaluasi kegiatan secara cepat dan umpan baliknya diberikan oleh guru.
• Kondisi belajar sikap
Bentuk-bentuk penguasaan sikap antara lain perhatian dan ganjaran. Karena itu jika siswa menjauhi guru dan sekolah, karena pengalaman negatif terhadap pela-
jaran yang pernah diterimanya begitu pula sebaliknya. Sehingga guru perlu memperhatikan kondisi khusus belajar sikap pada anak antara lain:
 Sajikan pernyataan logis yang konsisten dari orang terhormat atau teman yang digenai
 Ciptakan suasana belajar yang bersahabat
 Jika sikap bertentangan dengan nilai sosial, maka lingkungan sosial diubah
 Proses pembelajaran dengan kelompok kecil dapat memberikan penguatan
 Penguatan guru dan kelompok anak secara terus menerus sangat diharapkan.

3. Strategi Pengajaran
Strategi pengajaran berhubungan dengan pemilihan kegiatan belajar mengajar yang paling efektif dalam memberikan pengalaman belajar yang diperlukan anak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam tujuan khusus pengajaran yang ingin dicapai. Dengan kata lain pengajaran adalah kegiatan yang dipilih guru dalam proses belajar mengajar yang dapat memudahkan (fasilitas) siswa menuju tercapainya tujuan belajar yang diinginkan. Dalam memilih kegiatan pengajaran harus dipertimbangkan:
a. Masalah efisiensi yang bertalian dengan penggunaan waktu, fasilitas, dan kemam- puan guru yang tersedia
b. Perbedaan individual anak/siswa tentang penerimaan dan aplikasi pengetahuan
c. Metode penyampaian yang dapat mengembangkan interaksi siswa-guru atau siswa dengan siswa
d. Tujuan belajar yang bersifat perubahan sikap dan tingkah laku serta pola pikir anak.
Sehingga strategi pengajaran tidak hanya ditentukan oleh kemampuan guru semata-mata dalam menguasai bahan ajar, melainkan juga oleh sifat dan karakteristik masing-masing model mengajar dan metode yang dipilih dalam mengajar untuk mencapai tujuan pembelajarannya.
A. Model Pembelajaran

Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran guru di kelas, maka diperlukan model-model mengajar. Model oleh Syaiful Sagala (2009) dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan.
Sehingga model dapat dipahami sebagai:
a. Suatu type atau desain
b. Suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat diamati secara langsung
c. Suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu objek atau peristiwa
d. Suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, atau suatu terjemahan realitas yang disederhanakan
e. Suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner
f. Penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya (Komaruddin;2000 dalam Sagala;2009)
Dengan demikian maka model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas dasar pengertian tersebut diatas, maka model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Joyce dan Weil (2000) dalam Sagala (2009) mengemukakan ada 4 (empat) kategori yang penting diperhatikan dalam model mengajar yakni:
a. Model pemrosesan informasi (Information Processing Models) yang menjelaskan bagaimana cara individu memberi respons yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah, serta penggunaan simbol-simbol verbal dan non-verbal
Model ini memberikan kepada siswa sejumlah konsep, mengetes hipotesis, dan memusatkan perhatian pada kemampuannya.
b. Model personal (Personal Family) yang menekankan pada proses mengembangkan kepribadian siswa dengan memperhatikan kehidupan emosionalnya.
Model ini memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang produktif, sehingga anak makin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya
c. Model sosial (Social Family) yang menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan siswa agar meiliki kecakapan untuk berhubungan dengan orang lain sebagai usaha membangun sikap siswa yang demokratis dengan menghargai setiap perbedaan dalam realitas sosial.
Model sosial ini diarahkan pada upaya melibatkan siswa dalam menghayati, mengkaji, menerapkan, dan menerima fungsi dan peran sosial. Sehinga guru dituntut untuk mengorganisasikan belajar melalui kerja kelompok dan mengarahkannya.
d. Model sistem perilaku dalam pembelajaran (Behavioral Model of Teaching) yang dibangun atas kerangka teori perubahan perilaku siswa. Melalui teori ini siswa dibimbing untuk dapat memecahkan masalah belajar melalui penguraian perilaku ke dalam jumlah yang kecil dan berurutan.
Dengan demikian maka pemilihan model pembelajaran yang tepat dapat membantu guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran siswa di kelas. Model-model pembelajaran dibawah ini dapat dipilih oleh guru sesuai kondisi lingkungan belajar anak/siswa, sebagaimana di kutip dari Sagala (2009) diantaranya:
1. Model interaksi sosial
Metode-metode belajar yang paling diutamakan dalam pendekatan ini antara lain, diskusi, problem solving, metode simulasi, bekerja kelompok, dan metode lain yang menunjang berkembangnya hubungan sosial siswa.
Langkah yang ditempuh guru dalam pendekatan ini adalah:
• Guru melemparkan masalah dalam bentuk situasi sosial kepada siswa
• Siswa dengan bimbingan guru menelusuri berbagai macam masalah yang terdapat dalam situasi tersebut
• Siswa diberi tugas atau permasalahan untuk dipecahkan, dianalisis, dikerjakan yang berkenaan dengan situasi tersebut
• Dalam memecahkan masalah belajar tersebut, siswa diminta untuk mendiskusikannya
• Siswa membuat kesimpulan dari hasil diskusinya
• Pembahasan kembali hasil-hasil kegiatan
2. Model pembelajaran alam sekitar
Alam sekitar sebagai fundamen pendidikan dan pengajaran memberikan dasar emosional, sehingga anak menaruh perhatian yang spontan terhadap segala sesuatu yang diberikan kepadanya asal itu didasarkan dan diambil dari alam sekitar. J. Ligthart, sebagaimana dikutip dalam Sagala (2009) menyatakan bahwa belajar dengan menggunakan alam sekitar sebagai model kehidupan nyata, guru harus berpegang pada:
 Anak harus mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya
 Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan pada pengajaran itu
 Haruslah diadakan perjalanan memasuki hidup senyatanya ke semua jurusan, agar siswa paham akan hubungan antara bermacam-macam lapangan dalam hidupnya.
 Dengan pengajaran alam sekitar itu, guru dapat memperagakan secara langsung sesuai dengan sifat-sifat atau dasar-dasar pengajaran
 Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar anak aktif atau giat dan tidak hanya duduk , dengar, dan catat saja
 Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran totalitas
 Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yanh kukuh dan tidak verbalitas, dan
 Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak.

3. Model pembelajaran pusat perhatian
Model pembelajaran pusat perhatian lebih diarahkan pada kesesuaian minat-minat spontan anak, sebab apabila tidak maka pengajaran itu tidak akan banyak hasilnya.
Gerakan pengajaran pusat perhatian ini telah mendorong berbagai upaya agar dalam kegiatan pembelajaran, diadakan berbagai variasi cara mengajar agar perhatian siswa tetap terpusat pada bahan ajar. Peluang untuk memvariasikan pengajaran terbuka luas dengan kemajuan teknologi, hal ini menyebabkan upaya menarik minat belajar siswa/anak lebih besar. Pemusatan perhatian dalam pembelajaran dilakukan bukan hanya pada pembukaan pelajaran, tetapi dalam setiap pembahasan bahan ajar sehingga tidak ada waktu yang disia-siakan dan pembelajaran berlangsung penuh arti.

4. Model pembelajaran sekolah kerja
Model pembelajaran sekolah kerja ini memandang pendidikan tidak hanya demi kepentingan individu, tetapi juga demi kepentingan masyarakat. Dengan demikian, sekolah kerja ini menurut G. Kerschensteiner (dalam Sagala:2009) bertujuan untuk:
• Menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang didapat dari buku atau orang lain, dan yang didapat dari pengalaman sendiri
• Agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu
• Agar anak dapat memiliki pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan orang lain
5. Model pembelajaran individual
Model pembelajaran individual tampak pada perilaku atau kegiatan guru dalam pembelajaran yang menitik beratkan pada pemberian bantuan dan bimbingan belajar kepada para siswa secara individual. Susunan suatu tujuan belajar yang didesain untuk belajar mandiri harus disesuaikan dengan karakteristik individual dan kebutuhan tiap siswa. Bentuk-bentuk belajar model ini sebagaimana dikemukakan oleh Sagala (2009:184) antara lain:
• Self instruction, semacam model
• Independent study
• Individualized prescribed instruction, dan
• Self pacet learning.
Dimana pada kegiatan belajar dengan model ini hendaklah:
 Guru memberikan bantuan belajar kepada masing-masing pribadi siswa sesuai mata pelajaran yang diajarkan oleh guru yang bersangkutan
 Guru memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada masing-masing siswa untuk dapat belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswanya, kemudian ada kesempatan bagi masing-masing siswa untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki siswa
 Guru memberikan keleluasaan kepada siswa menyusun program belajarnya sendiri, belajar berdasarkan kemampuannya, memiliki kedudukan yang sentral dan pusat pelayanan dalam proses belajarnya
 Posisi guru sebagai model adalah membantu membelajarkan siswa, membantu merencanakan kegiatan belajar siswa sesuai kemampuannya
 Guru membicarakan kepada siswa mengenai pelaksanaan belajarnya, mengemukakan kriteria keberhasilan belajar, dan menentukan alokasi waktu maupun kondisi belajar yang tepat bagi siswa secara individual
 Guru sebagai penasehat, pembimbing belajar, membantu siswa untuk mengadakan penilaian belajar dan kemajuan yang telah dicapainya
 Guru mengorganisasikan kegiatan belajar dengan mengatur dan memonitor kegiatan belajar siswa sejak awal sampai akhir sesuai skedul yang telah ditetapkan.

6. Model pembelajaran klasikal
Model pembelajaran klasikal/group presentation adalah kegiatan penyampaian pelajaran kepada sejumlah siswa, yang biasanya dilakukan oleh pengajar dengan berceramah di kelas (Sagala:2009)
Dalam hal ini guru dituntut kemampuannya menggunakan berbagai teknik penguatan dalam pembelajaran agar ketertibat belajar dapat diwujudkan. Karena pembelajaran klasikal pada umumnya menempatkan siswa pada posisi pasif sebagai penerima bahan ajar, sehingga agar terciptanya suasana kelas yang aktif guru dapat menggunakan metode-metode mengajar seperti; metode tanya jawab, diskusi, cooperative learning, bermain peran, dan sebagainya.

7. Model pembelajaran kontruktivis
Model pembelajaran ini lebih menekankan pada aspek psikomotorik anak, disebabkan karena terkadang anak/siswa memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah sehingga pemahaman anak tentang dunia real sudah terbentuk. Agar kondisi ini bisa terbawa ke dalam proses pembelajaran di sekolah, maka model pembelajaran kontruktivis ini perlu dilaksanakan di kelas.
Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan model ini, Piaget (dalam Sagala:2009) memberi arahan kepada guru untuk membangkitkan kemampuan berpikir anak dalam belajar dengan prinsip-prinsip seperti:
• Menyiapkan benda-benda nyata untuk digunakan oleh siswa.
Dalam prinsip ini, ada dua alasan yang mendasarinya yakni; pengetahuan fisik diperoleh dengan berbuat pada benda-benda, dan melihat langsung bagaimana benda-benda itu bereaksi.
• Memperhatikan empat cara berbuat terhadap benda-benda tersebut
Ada empat cara berbuat terhadap benda-benda antara lain:
 Berbuat terhadap benda-benda dan melihat bagaimana benda-benda itu bereaksi
 Berbuat terhadap benda-benda untuk menghasilkan suatu efek yang diinginkan
 Menjadi sadar bagaimana seorang menghasilkan efek yang diinginkan
 Menjelaskan
• Memperkenalkan kegiatan
• Menciptakan pertanyaan, masalah-masalah, dan pemecahannya
• Siswa saling berinteraksi
• Hindari istilah teknis, dan tekankan berpikir
• Memperkenalkan kembali (reintroduce) materi kegiatan

B. Pendekatan Pembelajaran

Sedangkan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran sebagaimana di kutip dalam Sagala (2009), diantaranya:
1. Pendekatan inquiry/discovery atau model personal
Pendekatan inquiry merupakan pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan dasar pada mengembangkan cara berpikir ilmiah. Pendekatan ini lebih menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kekreatifan dalam memecahkan masalah dalam bentuk kelompok belajar, peranan guru lebih banyak sebagai pembimbing, penyedia sumber belajar, dan fasilitator belajar. Sehingga pendekatan ini dapat dilaksanakan apabila terpenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
a) Guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas (persoalan bersumber dari bahan pelajaran yang menantang siswa/problematik) dan sesuai dengan daya nalar siswa
b) Guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan
c) Adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup
d) Adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya, berdiskusi
e) Partisipasi setiap siswa dalam setiap kegiatan belajar
f) Guru tidak banyak campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan siswa
Ada 5 (lima) tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan pendekatan ini, yakni:
 Perumusan masalah untuk dipecahkan siswa
 Menetapkan jawaban sementara atau hipotesis
 Siswa mencari informasi, data, dan fakta yang diperlukan untuk menjawab hipotesis
 Menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi, dan
 Mengaplikasikan kesimpulan dalam situasi baru

2. Pendekatan tingkah laku (Behavioral models)
Dalam pendekatan ini, langkah guru mengajar adalah sebagai berikut:
• Guru menyajikan stimulus belajar kepada siswa
• Mengamati tingkah laku siswa dalam menanggapi stimulus yang diberikan oleh guru (respons siswa)
• Memberikan latihan kepada siswa untuk memberikan respons terhadap stimulus
• Memperkuat respons siswa yang dipandang paling tepat terhadap jawaban dari stimulus yang diberikan

C. Metode Pembelajaran

Hal yang paling penting dalam metode mengajara ialah langkah-langkah pelaksanaan metode mengajar. Oleh karena itu untuk mendorong keberhasilan guru dalam proses pembelajaran di kelasnya, guru harus memahami fungsi dan langkah-langkah dari setiap metode yang akan digunakan, begitu pula kelemahan dan kelebihan dari setiap metode tersebut.
a. Metode Ceramah
Ceramah adalah metode pengajaran yang menggunakan penjelasan secara verbal. Komunikasi biasanya bersifat satu arah namun bisa dilengkapi dengan audio visual, tanya jawab, diskusi singkat, dan sebagainya. Metode ini ada kelebihan, juga ada kelemahannya. Agar metode ini menjadi baik, menurut Sagala (2009), perlu diperhatikan hala-hal berikut:
 Metode ini digunakan jika jumlah siswa cukup banyak
 Metode ini sebaiknya digunakan pada saat guru akan memperkenalkan bahan ajar baru
 Metode ini akan efektif bila siswa telah mampu menerima informasi melalui kata-kata/verbal
 Sebaiknya diselingi penjelasan melalui gambar, carta, dan alat-alat visual lainnya
 Agar lebih efisien, maka langkah-langkah penggunaan metode ini dapat dilakukan antara lain;
 Pertama, melakukan pendahuluan sebelum bahan ajar diberikan, dengan cara: (1) menjelaskan tujuan pembelajaran lebih dahulu, (2) kemukakan pokok-pokok materi pelajaran, (3) membuat pertanyaan-pertanyaan menarik sebagai apersepsi
 Kedua, menyajikan bahan dengan memperhatikan: (1) perhatian peserta terhadap proses pembelajaran, (2) menyajikan bahan ajar secara sistematis, (3) ciptakan variasi mengajar dengan latihan-latihan, (4) melaksanakan ulangan-ulangan, (5) memberikan motivasi selama proses pembelajaran, (6) menggunakan berbagai media
 Ketiga, menutup pelajaran dengan teknik: (1) mengambil kesimpulan dari proses pembelajaran, (2) memberi kesempatan siswa menanggapi apa yang telah disampaikan guru, (3) melaksanakan penilaian secara komprehensif
b. Metode Diskusi
Biasanya metode ini dapat dipandang sebagai salah satu metode pengajaran yang paling efektif untuk kelompok kecil. Metode ini sangat efektif untuk anak berpikir kritis, memecahkan masalah, dan komunikasi antar pribadi siswa terbangun. Menurut Sagala (2009), diskusi adalah percakapan ilmiah yang responsif berisikan pertukaran pendapat yang dijalin dengan pertanyaan-pertanyaan problematis pemunculan ide-ide dan pengujian ide-ide ataupun pendapat dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok itu yang diarahkan untuk memperoleh pemecahan masalahnya dan untuk mencari kebenaran.
Agar metode ini efektif, maka guru perlu memperhatikan: (1) masalah yang akan didiskusikan harulah kontroversial, (2) guru menempatkan diri sebagai pemimpin diskusi, (3) guru memperhatikan pembicaraan agar fungsi guru sebagai pemimpin diskusi bisa efektif.
c. Metode Simulasi/Sosio Drama
Biasanya metode ini digabungkan dengan bermain peran, karena dengan memainkan peranan tersebut anak/siswa memperoleh suatu pengertian yang lebih baik tentang diri objek yang diperankan, motif yang mempengaruhi tingkah lakunya. Metode ini lebih baik kalau diarahkan guna pengembangan ranah afektif siswa.
Agar metode ini efektif, maka guru perlu memperhatikan: (1) guru menerangkan kepada siswa, bahwa dengan sosiodrama diharapkan siswa dapat memecahkan masalah, (2) guru harus memilih masalah yang urgen sehingga menarik minat siswa, (3) agar siswa lebih mendalami permasalahan, guru harus bisa menceritakan sambil mengatur adegan, (4) bobot dan permasalahan yang diaktualisasikan disesuaikan dengan waktu yang tersedia.
d. Metode Demonstrasi
Metode Demonstrasi menurut Sagala (2009), adalah pertunjukan tentang proses terjadinya suatu peristiwa atau benda sampai pada penampilan tingkah laku yang dicontohkan agar dapat diketahui dan dipahami oleh peserta didik secara nyata atau tiruannya.
Agar metode ini efektif, maka guru memperhatikan: (1) tentukan terlebih dahulu hasil yang ingin dicapai dalam jam pertemuan tersebut, (2) guru mengarahkan demonstrasi itu sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh pengertian dan gambaran yang benar, pembentukan sikap, dan kecakapan praktis, (3) pilih dan kumpulkan alat-alat demonstrasi yang akan dilaksanakan, (4) usahakan agar seluruh siswa mengikuti kegiatan pembelajaran, (5) berikan pengertian yang sejelas-jelasnya tentang landasan teori dari apa yang akan didemonstrasikan, (6) hal-hal yang didemonstrasikan bersifat praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari, (7) menetapkan garis-garis besar langkah-langkah demonstrasi yang akan dilaksanakan.

e. Metode Karyawisata
Karyawisata (field trip) ialah pesiar (ekskursi) yang dilakukan oleh para peserta didik untuk melengkapi pengalaman belajar tertentu dan merupakan bagian integral dari kurikulum sekolah (Sagala:2009).
Hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam metode ini adalah: (1) merumuskan tujuan yang jelas dan tegas, (2) menentukan tugas sebelum dan sesudah kegiatan, (3) buat rencana penilaian, (4) aplikasikan pengalaman siswa dalam bentuk laporan
f. Metode Kerja Kelompok
Metode ini dipakai untuk merangkum pengertian dimana siswa dalam satu kelompok dipandang sebagai satu kesatuan tersendiri, untuk mencari satu tujuan pelajaran tertentu dengan bergotong royong.
Hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam menggunakan metode ini menurut Mansur (1996) dalam Sagala (2009) antara lain: (1) guru haruslah berusaha memperoleh pengetahuan yang luas dalam hal cara menyusun kelompok, baik melalui buku maupun bertanya kepada siswa yang telah berpengalaman, (2) kumpulan data tentang siswa untuk menunjang tugas-tugas guru, (3) adakan tes sosiometri dan buatlah sosiogram dari kelas bersangkutan untuk mengetahui ada siswa yang terisolasi, (4) bimbingan terhadap kelompok dilakukan oleh guru terus menerus, (5) usahakan agar jumlah kelompok tidak terlalu besar dan anggotanya dalam waktu tertentu berganti-ganti, dan (6) dalam memberi motivasi haruslah menuju kepada kompetisi yang sehat.
g. Metode Latihan (Training Methods)
Metode latihan (drill) merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu (Sagala:2009)
Hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam metode ini adalah: (1) latihan hanya untuk bahan atau tindakan yang bersifat otomatis, (2) latihan harus memiliki arti yang luas, (3) masa latihan relatif harus singkat, (4) latihan harus menarik, gembira dan tidak membosankan, (5) proses latihan dan kebutuhan-kebutuhan harus disesuaikan dengan perbedaan indicidual.
h. Metode Tanya Jawab
Hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam menerapkan metode ini antara lain: (1) adanya respon dari siswa untuk menjawabnya, (2) ciptakan rasa tidak puas atas pertanyaan yang diberikan kepada siswa, (3) adanya pertanyaan yang tidak terlampau menghendaki jawaban “ ya “ atau “ tidak” atau “bukan”, (4) pertanyaan jelas dan mudah dipahami.
i. Metode Pemberian Tugas
Hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam menerapkan metode ini antara lain: (1) tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya jelas, sehingga mereka mengerti apa yang harus dikerjakan, (2) tugas yang diberikan dipertimbangkan perbedaan individu, (3) waktu penyelesaian tugas harus cukup, (4) bahan pelajaran yang ditugaskan kepada siswa diusahakan dari hal-hal yang dikenal siswa.
j. Metode Eksperimen
Hal-hal yang perlu diperhatikan guru antara lain: (1) guru menerangkan sejelas-jelasnya hasil yang ingin dicapai sehingga siswa mengetahui persyaratan-persyaratannya dan pertanyaan yang perlu dijawabnya, (2) hendaknya guru membicarakan bersama-sama siswa tentang langkah yang dianggap baik untuk memecahkan masalah dalam eksperimen, bahan-bahan yang diperlukan, variabel yang perlu dikontrol, dan hal-hal yang perlu dicatat, (3) guru juga bisa menolong siswa memperoleh bahan-bahan yang diperlukan, (4) guru merangsang siswa agar setelah eksperimen berakhir, siswa mampu membandingkan hasilnya dengan hasil orang lain dan mencari pemecahan masalah atau membuat kesimpulan.

4. Hubungan Guru-Siswa
Hubungan guru-siswa dalam proses belajar mengajar yang diharapkan adalah hubungan manusiawi. Menurut aliran Humanistik, aspek-aspek yang perlu mendapatkan perhatian guru dalam belajar adalah:
• Memperoleh informasi baru
• Personalisasi individual terhadap informasi yang diterimanya
Maka yang penting bagi guru adalah bagaimana membawa siswa memperoleh pengertian yang sesuai dengan pribadinya.
Atas dasar itu, maka guru tidak lagi sebagai pusat kegiatan/perhatian melainkan sebagai fasilitator, yang membantu siswa mengembangkan kemampuannya.
Untuk itu guru perlu mengusahakan iklim yang menunjang efektivitas belajar seperti:
 Memberi kebebasan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas, memberikan kesempatan dan membantu setiap siswa untuk merealisasikan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh siswa
 Mengusahakan suasana belajar yang hangat, bergairah, dan iklim yang memungkinkan siswa untuk berinisiatif dan segera mulai bekerja
 Menghargai dan mampu memahami ungkapan perasaan siswanya, serta segera bertindak menetralisasi suasana menuju saling pengertian yang konstruktif
 Memberikan tugas-tugas yang menantang kepada siswa dan menjadi sumber belajar yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan oleh siswa
 Mengontrol kedisiplinan siswa
 Menilai keberhasilan siswa
 Memberikan reward kepada siswa atas keberhasilannya
 Memberikan punishment yang mengarah pada paedagogie dan pembentukan karakter siswa
 Mengusahakan dan mengorganisasi sebaik-baiknya sumber-sumber belajar agar sesuai dan bermanfaat bagi siswa dan kelas
 Sebagai fasilitator, maka guru hendaknya berusaha mengenal dirinya lebih banyak lagi dan berusaha mengetahui kelemahan-kelemahan dirinya, sifat-sifatnya, serta tingkah lakunya.
Hasil riset di bidang pendidikan kebanyakan membuktikan bahwa ada beberapa sifat guru yang sangat disukai/disenangi anak/siswanya antara lain:
• Memiliki rasa gembira dan selera humor yang tinggi
• Menganggap dirinya sebagai manusia biasa, sebagai salah satu anggota kelas khususnya, dan anggota sekolah secara keseluruhan
• Memiliki rasa kasih sayang, welas asih, memperhatikan, memahami, dan mearuh perhatian besar terhadap sifat dan permasalahan siswanya
• Berusaha selalu membangkitkan minat siswanya untuk belajar dan berusaha agar pelajaran merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan bagi siswanya
• Memiliki sikap tegas, tidak pilih kasih, dapat memimpin kelas dan menimbulkan rasa hormat
• Adil dalam bertindak
• Tidak suka marah, memiliki pribadi yang menyenangkan, sehingga merupakan salah satu daya penarik siswanya.

5. Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas menunjukkan kepada berbagai jenis kegiatan yang sengaja dilakukan oleh guru dengan tujuan untuk mempertahankan/menciptakan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar.
Pengelolaan kelas meliputi pengaturan tingkah laku antara ruang sehingga tercipta kemudahan-kemudahan dalam proses pembelajaran.
Hal-hal yang bersangkut paut dengan pengelolaan kelas meliputi:
a) Kondisi dan Situasi Belajar Mengajar
1. Kondisi fisik, yang meliputi tempat belajar yang kondusif yang mendukung meningkatnya intensitas proses pembelajaran dan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan
2. Kondisi emosional dalam kelas, yang meliputi kepemimpinan guru, sikap dan tingkah laku guru, suara guru, dan pembinaan raport siswa.
b) Administrasi teknik
Yang termasuk administrasi teknik antara lain; absensi, tempat bimbingan, ruang baca, catatan pribadi, tempat sampah, dan lain-lain
c) Dimensi pengelolaan kelas
1. Dimensi pencegahan, yakni berupa tindakan guru dalam mengatur siswa dan peralatan (format pembelajaran) yang tepat agar menmb uhkan kondisi yang menguntungkan bagi berlangsungnya proses pembelajaran.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan antara lain:
 Meningkatkan kesadaran diri, baik guru maupun siswa, karena masalah yang terkadang timbul yaitu adanya jurang pemisah terhadap apa yang harus dilakukan menurut guru dan apa yang sebenarnya terjadi dan yang diinginkan oleh siswa
 Sikap yang tulus dari guru dalam membimbing proses belajar siswanya
 Membuat kontrak-kontrak sosial, seperti tata tertib dan segala sangsi yang dibicarakan dan disetujui secara bersama-sama.
2. Dimensi korektif
• Tindakan yang segera diambil pada saat terjadi gangguan
• Tindakan terhadap tingkah laku yang menyimpang agar tidak berlarut-larut (tindakan kuratif)
Upaya-upaya yang dapat dilakukan pada dimensi ini antara lain:
 Berikan pesan-pesan non-verbal kepada anak
 Melakukan kontrol sosial
 Hindarkan siswa mendapat malu dihadapan teman-temannya
 Hindarkan konsekwensi yang paling berat berupa hukuman
 Bila alternatif yang dipilih tidak efektif, pindah ke alternatif lain yang diperkirakan memberikan hasil lebih baik
 Tidak menutup kemungkinan siswa memilih alternatif konsekwensi pelanggaran pada kontrak sosial
 Suatu konsekwensi diupayakan hanya berlaku pada hari ini dan saat ini
 Menetapkan waktu pertemuan dengan siswa yang disetujui bersama
 Menjelaskan manfaat yang mungkin diperoleh bagi siswa dan sekolah
 Tunjukkan kepada siswa bahwa guru bukanlah manusia yang sempurna
 Bila dalam pertemuan penyelesaian permasalahan siswa tidak responsif, gru dapat mengajak diskusi pada saat lain
 Pertemuan guru-siswa harus sampai pada pemecahan masalah yang diterima siswa dalam rangka memperbaiki tingkah lakunya (kontrak individual), dan
 Setiap tindakan yang diambil guru harus dipertimbangkan sampai pada pilihan yang terbaik dan yang paling bijaksana.
d) Disiplin
Disiplin di sekolah digunakan untuk mengontrol tugas-tugas agar berjalan optimal. Sikap guru yang demokratis merupakan kondisi bagi terbinanya ketertiban ke arah siasat. Masalah pelanggaran disiplin itu sangat unik, bersifat pribadi, kompleks, dan kadang-kadang mempunyai latar belakang yang mendalam. Meskipun demikian ada juga sebab-sebab yang bersifat umum, yaitu:
• Kebosanan di kelas.
• Perasaan kecewa dan tertekan karena tuntutan yang tidak sesuai
• Tidak terpenuhinya kebutuhan akan perhatian, pengenalan, dan status
Sehingga usaha yang dapat ditempuh dalam menanggulangi pelanggaran disiplin antara lain:
• Pengenalan siswa, karena pada dasarnya siswa mempunyai daya atau tenaga untuk mengontrol dirinya
• Memberikan penyaluran yang efektif terhadap berbagai perasaan tertekan, misalnya:
 Menguji pikiran anak yang mendasari suatu perasaannya
 Menyediakan kotak masalah bagi siswa
 Penurunan suasana emosional dengan cara memejamkan mata
 Role playing

6. Bidang Studi/Bahan Ajar
Pengetahuan tentang psikologi bidang studi/bahan ajar perlu diketahui oleh guru, karena beberapa penelitian menyatakan bahwa pengalaman praktis para guru selama beberapa generasi membuktikan bahwa prosedur pemanfaatn alat dan bahan pengajaran haruslah:
• Pemeriksaan awal; dimana bahan pengajaran yang akan digunakan harus diperiksa lebih dulu, supaya guru dapat menentukan apakah bahan tersebut dapat berguna bagi siswa dalam mencapai tjuan pembelajaran
• Persiapan lingkungan; dimanapun penyajian bahan ajar akan berlangsung, semua perlengkapan harus ditempatkan pada tempat yang baik dan benar.
• Penyajian bahan ajar; penguasaan bahan ajar merupakan syarat mutlak guru selain dari metode pengajaran dan strategi penyajian. Sehingga hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam menetapkan bahan ajar adalah:
 Bahan ajar hendaknya dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional
 Bahan ajar hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkemba ngan siswa
 Bahan ajar hendaknya terorganisir secara sistematik dan berkesinam bungan
 Bahan ajar hendaklah mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual
Jerome Bruner (1960) dalam Syaiful Sagala (2009) membagi alat instruksional dalam 4 (empat) macam menurut fungsinya:
1. Alat untuk menyampaikan pengalaman “vicarious”, yaitu menyajikan bahan kepada siswa yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman langsung yang lazim di sekolah, dapat dilakukan melalui film, televisi, rekaman suara, dan sebagainya.
2. Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala, misalnya model molekul, alat pernapasan elektrik, atau eksperimen dan demonstrasi untuk memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip.
3. Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuk hidup, untuk memberi perhatian tentang sesuatu ide atau gejala dan sebagainya
4. Alat automatisasi seperti “teaching machine” atau pelajaran berprograma, menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi balikan atau feed back tentang respons siswa.

Dengan demikian, untuk tercipta kondisi belajar yang menyenangkan bagi anak/siswa, maka guru bisa mengkondisikan belajar, terutama yang berhubungan dengan motivasi anak berupa motivasi instrinsik dan ekstrinsik, agar setiap proses pembelajaran bisa berarti bagi anak/siswa.

III.KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. Kesimpulan
Aktifitas belajar setiap anak tidaklah sama. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang turut berpengaruh, yang pada intinya faktor-faktor tersebut pada garis besarnya dibagi atas dua bagian yakni; faktor fisiologis dan faktor psikologis atau disebut juga faktor eksternal dan faktor internal. Kedua faktor ini sangat berperan penting dalam pembentukan karakter anak sebagi hasil dari belajar.
Belajar adalah proses atau kegiatan yang dilakukan anak dengan mengamati, meniru, mencoba, mendengarkan, mengikuti, dan mengalami sesuatu pengetahuan lalu mempraktekannya guna merubah tingkah laku ke arah yang diinginkannya. Dengan demikian maka, belajar itu membutuhkan dorongan/motivasi dari diri anak maupun lingkungannya, belajar juga merupakan proses dimana dalam kegiatan tersebut anak akan mendapatkan pemahaman atau pengetahuan yang kemudian dipraktekkan atau diaplikasikan sebagai manifestasi dari berubahnya tingkah laku yang diinginkannya.
Maka agar tercapai proses belajar yang diinginkan anak maupun guru yang mengajarinya, dibutuhkan pemahaman psikologi belajar sehingga guru dapat memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi anak untuk dapat belajar secara sempurna.
Hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam psikologi belajar anak adalah bagaimana mengkondisikan anak dan proses kegiatan belajarnya secara tepat sehingga proses pembelajaran akan berjalan lancar dan menyenangkan anak.
Pengkondisian belajar merupakan salah satu usaha guru yang dapat mendukung tercapainya kegiatan pembelajaran anak. Pengkondisian ini dibagi atas dua bagian yakni; (a) pengkondisian psikologis/fisiologis dan (b) pengkondisian sosial budaya.
Pengkondisian psikologis adalah pengkondisian yang dilakukan guru untuk merangsang kondisi psikologis anak agar terdorong untuk belajar, diantaranya merangsang minat anak atau motivasi anak dengan upaya-upaya antara lain:
- Mendorong anak tentang manfaat belajar bagi dirinya
- Mengungkapkan tujuan dari proses pembelajaran bagi anak
- Merangsang anak untuk mau belajar dengan menciptakan kondisi-kondisi menyenangkan dengan berbagai program
- Menciptakan kondisi dimana anak merasa bahwa belajar adalah kebutuhannya karena ingin mengetahui sesuatu
Pengkondisian sosial budaya adalah pengkondisian yang dilakukan guru untuk terciptanya kegiatan belajar yang menyenangkan dan menggairahkan selama proses pembelajaran berlangsung, diantaranya:
- Mengkondisikan pembelajaran dikelas dengan berbagai strategi yang merangsang anak untuk tetap betah dalam proses pembelajaran
- Menciptakan dan menyediakan alat-alat pembelajaran sebagai stimuli yang menyenangkan bagi anak selama proses pembelajaran berlangsung
- Menggunakan berbagai model pembelajaran yang lebih mengarahkan anak untuk pro aktif dalam proses pembelajarannya
- Menggunakan berbagai metode pembelajaran secara variatif sehingga tidak menimbulkan kebosanan atau rasa jemu anak selama proses pembelajarannya

B. Saran-Saran
1. Sekolah
Kondisi belajar anak bisa menyenangkan bila kondisi lingkungan belajarnya kondusif, jauh dari tekanan-tekanan psikologis, ketersediaan sarana pendukung yang walaupun sederhana tetapi memiliki stimuli yang kuat sebagai media/bahan pembelajaran yang menyenangkan
2. Kepala Sekolah
Memberikan keleluasaan kepada guru untuk berimprovisasi dan tidak terlalu mendikte guru merupakan langkah yang cukup bijaksana dalam menciptakan suasana pembelajaran menyenangkan yang dirancang oleh setiap guru dalam setiap kegiatan pembelajarannya di kelas.
3. Guru
-Belajar bukan hanya sekedar anak diberi bahan ajar lalu guru mengharapkan bahan ajar itu dipelajari anak tanpa adanya stimuli yang tepat dalam memberikan daya bagi anak untuk mengalami proses pembelajarannya secara tepat.
-Untuk itu pemahaman terhadap psikologi belajar, merupakan langkah yang tepat dan sangat dibutuhkan guru dalam kegiatan pembelajarannya.
-Penggunaan berbagai macam strategi, model, dan metode dalam mengajar harus selalu dilakukan oleh guru dalam mengkondisikan kegiatan pembelajarannya agar anak merasa selalu menemukan pengalaman baru dalam kegiatan pembelajarannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadi,Abu: Ilmu Pendidikan.
Jakarta:Rineka Cipta,2003.
2. ---------------- :Psikologi Belajar
Jakarta:Rineka Cipta,2004.
3. Hill,Winfred F:Theories of Learning;Teori-teori Pembelajaran (Konsepsi,Komparasi,dan Signifikansi.
Bandung:Nusa Media,2009
4. Sagala,Syaiful:Konsep dan Makna Pembelajaran
Bandung:Alfabeta,2009
5. Soeryabrata,Soemadi: Psikologi Pendidikan;Suatu Penyajian Secara Operasional,Jilid 2.
Yogyakarta:Rake Press,1981.
6. Soemanto,Wasty: Psikologi Pendidikan;Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
Jakarta:Rineka Cipta,2006.
7. Soetriono,dan Rita Hanafie:Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.
Yogyakarta:Andi 2007.
8. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM:Filsafat Ilmu;Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Yogyakarta:Liberty,2007.