MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL

MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL
NEGERI YANG DAMAI DAN PENUH PESONA

Jumat, 30 April 2010

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN BERORIENTASI MUTU

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN BERORIENTASI MUTU
Oleh: Hayatuddin Fataruba

A. Pendahuluan
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa sumberdaya yang paling bernilai bagi peningkatan daya saing saat ini adalah sumberdaya manusia. Hal ini jelas terlihat dari pengalaman Jerman dan Jepang yang bangkit dari kehancuran akibat Perang Dunia II. Kedua negara tersebut tidak banyak memiliki sumberdaya alam. Mereka hanya memiliki sumberdaya manusia, sehingga mereka lebih memilih untuk mengembangkan dan mengorganisasikan sumberdaya manusianya sebagai upaya pengembangan ekonomi mereka.
Belajar dari pengalaman Jerman dan Jepang tersebut, maka bangsa kita sudah seharusnya merubah pola pikir dari kekuatan ekonomi suatu negara dapat berkembang apabila memiliki sumberdaya alam yang melimpah tapi memiliki sumberdaya manusia yang kurang bermutu, menuju ke memacu peningkatan mutu sumberdaya manusia secara maksimal dan memanfaatkannya guna pengembangan ekonomi bangsa walaupun minim sumberdaya alam.
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari kesuksesan Jerman dan Jepang, diantaranya adalah strategi yang diterapkan dalam mengelola sumberdaya manusianya agar bisa berdaya saing ditingkat regional maupun global.
Strategi-strategi tersebut, sebagaimana diungkapkan Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana (2003) antara lain:
1. Kerjasama
Di Jerman maupun Jepang, setiap organisasi ekonomi maupun sosial menggunakan social partner dimana mereka meyakini bahwa pelaku bisnis haruslah bekerjasama dengan pelaku ekonomi utama lainnya dalam usaha membangun organisasi ekonominya, berupaya menghubungkan tujuan-tujuan pribadinya atau organisasinya dengan kepentingan-kepentingan negara, dan menjauhi kecenderungan sifat-sifat individualistic dalam membangun organisasi ekonomi, karyawan juga tidak hanya melakukan pekerjaan tim tetapi juga karyawan dilibatkan dalam perencanaan dan perancangan pekerjaan, pengenalan teknologi baru, dan penetapan tingkat kompensasi yang melibatkan wakil dari tenaga kerja dan pihak manajemen organisasi tersebut.
2. Pendidikan dan Pelatihan Berkualitas Tinggi
Jerman menggunakan program magang yang sangat terstruktur yang menekankan pada pengembangan ketrampilan dan prestasi akademik, sedangkan Jepang mengandalkan pendidikan dasar dan lanjutan yang dilengkapi dengan pelatihan yang bersifat industry-based untuk mempersiapkan karyawan garis depan (front-line).
3. Keterlibatan dan empowerment karyawan
Baik Jerman maupun Jepang, para karyawan dilibatkan dalam fungsi-fungsi manajemen, seperti penentuan jam kerja, pengenalan teknologi baru, penetapan tingkat kompensasi, perencanaan sumberdaya manusia, perancangan pekerjaan, dan pengadaan latihan.
4. Kepemimpinan pada setiap Level
Di Jerman dan Jepang, kepemimpinan terdapat pada setiap level dan pelatihan, dimana kepemimpinan disediakan tidak hanya bagi para manajer, tetapi juga bagi karyawan front-line. Hal ini berguna dalam meningkatkan kualitas keterlibatan karyawan dalam usaha perbaikan terus-menerus.
Dari budaya yang diterapkan Jerman dan Jepang tersebut diatas, kemudian melahirkan sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan kualitas sumberdayanya secara terus-menerus, dan nilai-nilai ini kemudian menjadi tradisi yang mendasari organisasinya guna peningkatan mutu organisasinya untuk mampu bersaing dengan organisasi lain dalam meningkatkan pelayanan terhadap stakeholders.

B. Pengertian
Dalam pengertian umum, mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible (Akhmad Sudrajat;2009).
Sementara dalam konteks pendidikan, pengertian mutu dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu, terlibat input seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi, sarana prasarana, dan sumberdaya lainnya, manajemen sekolah, penciptaan suasana yang kondusif yang berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa, sarana pendukung di kelas maupun diluar kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup substansi yang akademis maupun non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Sedangkan mutu dalam konteks “ hasil pendidikan” mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai (student achievement) dapat berupa kemampuan akademis, dapat pula prestasi di bidang non-akademis.
Selanjutnya kepemimpinan, pengertiannyapun terus mengalami perubahan sesuai dengan peran yang dijalankan, kemampuan untuk memberdayakan (empowering) bawahan/anggota sehingga timbul inisiatif untuk berkreasi dalam bekerja dan hasilnya lebih bermakna bagi organisasi dengan sering mengarahkan, menggerakkan, dan mempengaruhi anggota. Dengan demikian, secara umum Wahyudi (2009) mengemukakan bahwa kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggerakkan, mengarahkan, sekaligus mempengaruhi pola pikir, cara kerja, setiap anggota agar bersikap mandiri dalam bekerja terutama dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan percepatan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Sehingga kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tujuan tertentu sebagai salah satu indikator keberhasilan seorang pemimpin. Dimana penerapan kepemimpinan ini sangat ditentukan oleh situasi kerja atau keadaan anggota dan sumberdaya pendukung organisasi. Karena itu jenis organisasi dan situasi kerja menjadi dasar pembentukan pola kepemimpinan seseorang. Dengan melihat kenyataan, dimana lingkungan terus berubah maka peran pemimpin tidak hanya berusaha menyesuaikan organisasi terhadap pergerakan inovasi di luar, tetapi juga harus mampu membawa organisasi sebagai referensi bagi institusi lain. Sehingga kreativitas dan inovasi muncul dalam suasana yang kompetitif dan penuh konflik diantara anggota untuk berbuat lebih baik pada setiap kesempatan.

C. Kepemimpinan di Bidang Pendidikan
Pemimpin Pendidikan juga memiliki peranan yang hampir sama dengan pemimpin organisasi formal lainnya. Sehingga dalam rangka peningkatan mutu, maka pemimpin pendidikan haruslah memahami budaya-budaya yang telah ada dalam organisasinya sebelum melakukan perubahan-perubahan menuju ke arah perbaikan, sebagaimana disampaikan oleh para ahli diantaranya:
1. Selalu mengidentifikasi perubahan-perubahan yang dibutuhkan, perlu diketahui bahwa biasanya budaya suatu organisasi sangat menentukan bagaimana orang-orang di dalam organisasi tersebut berperilaku, menanggapi masalah, dan saling berinteraksi. Untuk mengetahui apakah suatu organisasi telah memiliki budaya mutu, maka perlu dilakukan penilaian secara komprehensif apakah organisasi yang bersangkutan telah memiliki karakteristik-karakteristik budaya mutu, seperti:
· Komunikasi yang terbuka dan terus menerus
· Kemitraan internal yang saling mendukung
· Pendekatan kerjasama tim dalam proses dan dalam mengatasi masalah
· Obsesi terhadap perbaikan atau inovasi terus menerus
· Pelibatan dan pemberdayaan sumberdaya manusia secara luas
· Menginginkan masukan dan feedback dari stakeholders
2. Menuliskan perubahan-perubahan yang direncanakan, dimana penilaian komprehensif terhadap budaya organisasi yang ada saat ini biasanya akan mengidentifikasi perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan. Perbaikan ini membutuhkan perubahan-perubahan dalam status quo. Perubahan-perubahan ini harus diidentifikasi dan didaftar karena akan menjadi bahan kajian guna melakukan perbaikan-perbaikan.
3. Mengembangkan suatu rencana untuk melakukan perubahan, dimana rencana untuk melakukan perubahan dikembangkan berdasarkan model “siapa”,”apa”,”kapan”, “dimana”, dan “bagaimana”. Masing-masing elemen ini merupakan bagian penting dari rencana. Dimana “siapa” yang akan dipengaruhi perubahan tersebut? siapa yang harus dilibatkan agar perubahan tersebut dapat berhasil? siapa yang mungkin menentang adanya perubahan?. Sementara tugas “apa” saja yang harus diselesaikan? apa yang menjadi hambatan utama? proses dan prosedur apa yang akan dipengaruhi perubahan tersebut? Selanjutnya “kapan” perubahan itu harus dilaksanakan? kapan perkembangannya harus diukur? kapan tugas-tugas yang berhubungan dengan perubahan itu harus diselesaikan? kapan pelaksanaannya dirampungkan? Begitu juga “dimana” perubahan itu harus dilaksanakan? orang dan proses mana yang akan dipengaruhi? Dan “bagaimana” perubahan itu seharusnya dilaksanakan? bagaimana pengaruhnya terhadap orang dan proses yang ada saat ini? bagaimana pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas, produktivitas, dan daya saing?
4. Memahami proses transisi emosional, karena perlu diketahui bahwa pendukung perubahan memainkan peranan penting dalam pelaksanaan perubahan. Keberhasilan pelaksanaan tersebut sangat tergantung pada kemampuan para pendukung perubahan didalam memainkan peranannya. Mereka harus memahami fase-fase transisi emosional yang dilewati seseorang bila menghadapi perubahan, terutama perubahan yang tidak diharapkan. Transisi ini terdiri atas tujuah fase, yaitu goncangan (shock), penolakan (denial), realisasi (realization), penerimaan (acceptance), pembangunan kembali (rebuilding), pemahaman (understanding), dan penyembuhan (recovery). Sehingga bisa mengakomodir dan mengarahkan kondisi emosional ini untuk siap menerima perubahan yang diinginkan.
5. Mengidentifikasi orang-orang kunci dan menjadikan mereka pendukung perubahan. Orang kunci adalah orang-orang yang dapat mempermudah pelaksanaan perubahan dan orang-orang yang dapat menghambat pelaksanaan perubahan tersebut. Orang kunci harus diidentifikasi, dilibatkan, dan diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan permasalahannya. Agar bisa diketahui apa-apa saja yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam perubahan.
6. Menerapkan hearts and minds approach, karena biasanya pada awalnya orang yang cenderung bereaksi terhadap setiap perubahan lebih banyak berdasarkan level emosionalnya (hearts) daripada level intelektualnya (mind). Oleh karena itu para pendukung perubahan perlu menerapkan strategi komunikasi yang rutin dan terbuka. Setiap orang diberi kesempatan (termasuk penentang yang paling ekstrim) untuk menyampaikan persoalan dan keberatannya dalam forum terbuka. Kemudian keberatan tersebut dijawab dengan objektif, sabar, dan tidak bersifat pembelaan atau menepiskan.
7. Menerapkan strategi courtship (kemesraan). Courtship merupakan tahap dimana suatu hubungan berjalan secara lamban tetapi berarti, ke arah yang diharapkan. Bila pendukung perubahan menganggap hubungannya dengan penentang potensial sebagai hubungan yang mesra, maka mereka akan dapat melibatkan para penentang tersebut dengan lebih baik dan akhirnya dapat mengubah mereka menjadi pendukung perubahan.
8. Memberikan dukungan, dimana strategi ini meliputi dukungan material, moral, dan emosional yang dibutuhkan orang dalam menjalani perubahan.

D. Peran dan Upaya Pemimpin Pendidikan dalam Mengembangkan Budaya Mutu Organisasinya
Memang banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, namun yang paling esensi dari faktor-faktor penentu ini adalah pemimpin pendidikan itu sendiri. Karena pemimpin pendidikan merupakan perencana/konseptor, manajer/pelaksana, dan supervisor/penyelia.
Sebagai Konseptor/perencana/administrator, maka pemimpin harus memahami betul bahwa perencanaan pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis dalam keseluruhan proses pendidikan. Perencanaan pada hakikatnya merupakan kegiatan yang berorientasi ke depan. Sehingga dalam memberikan pendidikan yang bermutu, perencanaan pendidikan harus dirumuskan secara menyeluruh, mulai dari tingkat nasional (makro), departemen/daerah (meso), sampai pada tingkat institusi/sekolah (mikro). Pada tingkat mikro, perencanaan pendidikan diterapkan dalam konteks penyusunan perencanaan sekolah (Mulyono:2008). Dalam penyusunan perencanaan tingkat mikro ini dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan kontekstual, sebagaimana diungkapkan Djam’an Satori (2000) dalam Akdon (2007) mencakup:
1. Analisis pihak-pihak yang berkepentingan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi para guru dan kepala sekolah sebagai stakeholders internal, serta aspirasi siswa dan orang tua, masyarakat, dunia kerja, dan pemerintah sebagai stakeholders eksternal.
2. Perumusan visi, misi, dan tujuan pengembangan sekolah merefleksikan aspirasi para stakeholders, dimana visi, misi, dan tujuan menunjukkan arah dan orientasi pengembangan sekolah seperti yang dikehendaki oleh stakeholders.
3. Perumusan bidang hasil pokok (perluasan dan pemerataan mutu, relevansi, dan efektivitas dan efisiensi pengelolaan) perlu diartikulasikan sebagai rumusan-rumusan yang khas untuk lembaga sekolah tersebut.
4. Analisis posisi mencakup kajian lingkungan internal dan eksternal sekolah.
5. Kajian yang sistematis dan kritis terhadap lingkungan internal dan eksternal lembaga akan melahirkan sejumlah isu-isu strategis sebagai sumber bagi pengembangan sasaran dan program prioritas.
6. Perumusan sasaran pengembangan sekolah menggambarkan nilai-nilai perubahan atau keadaan yang diinginkan oleh lembaga.
7. Perencana perlu merumuskan dengan jelas strategi sasaran-sasaran perencanaan dan pengembangan sekolah, dan melibatkan seluruh komponen pendukung (dalam hal ini stakeholders internal dan stakeholders eksternal) sehingga semua kebutuhan stakeholders ini terakomodir guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
8. Program pengembangan lembaga sekolah diturunkan dari strategi tindakan untuk mencapai sasaran pengembangan.
9. Pelaksanaan atau implementasi suatu program merupakan fase kritis, sehingga dibutuhkan peran seluruh komponen pendukung pelaksana program secara menyeluruh dan optimal.
10. Pengendalian dan umpan balik dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pencapaian sasaran dan mengkaji aspek efisiensinya.
Sebagai Manajer/pelaksana/pengelola, maka pemimpin pendidikan secara operasional melaksanakan pengelolaan kurikulum, peserta didik, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan ketatausahaan. Semua kegiatan-kegiatan operasional tersebut dilakukan melalui seperangkat prosedur kerja yang meliputi; perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Berdasarkan tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan di tingkat mikro utamanya, maka pemimpin pendidikan melaksanakan pendekatan-pendekatan baru dalam rangka meningkatkan kapasitas sekolah (Yukl:2009).
Dengan demikian dibutuhkan pemimpin pendidikan yang memiliki ketrampilan manajerial yang baik mencakup conceptual skill, human skill, dan technical skill. Menurut Tracey (tanpa tahun) dalam Akhmad Sudrajat (2009), conceptual skill yakni kemampuan seorang pemimpin dalam melihat organisasi sebagai satu kesatuan secara menyeluruh, human skill yakni kecakapan pemimpin untuk bekerja secara efektif sebagai anggota kelompok dan untuk menciptakan usaha kerjasama dilingkungan kelompok yang dipimpinnya, sedangkan technical skill yakni kecakapan spesifik tentang proses, prosedur, atau teknik-teknik, atau merupakan kecakapan khusus dalam menganalisis hal-hal khusus dan penggunaan fasilitas, peralatan, serta teknik pengetahuan yang spesifik.
Dari ketiga skill tersebut, technical skill merupakan karakteristik khas pemimpin pendidikan yang harus didalami dan dimiliki pemimpin pendidikan di tingkat mikro, yang berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 13 tahun 2007, antara lain:
1. Kemampuan menyusun perencanaan sekolah untuk berbagai tingkat perencanaan (yakni perencanaan strategis, perencanaan operasional, perencanaan tahunan, sampai pada perencanaan anggaran belanja).
2. Kemampuan mengembangkan organisasi sekolah sesuai dengan kebutuhan (yakni kebijakan, struktur, deskripsi tugas personalia)
3. Kemampuan memimpin sekolah dalam rangka pendayagunaan sumberdaya sekolah secara optimal (baik sumberdaya manusia, sumberdaya dana, dan sumberdaya sarana prasarana).
4. Kemampuan mengelola perubahan dan pengembangan sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif.
5. Kemampuan menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik.
6. Kemampuan mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumberdaya manusia dalam rangka peningkatan mutu secara optimal.
7. Kemampuan mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran secara optimal.
8. Kemampuan mengelola hubungan sekolah dengan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber-sumber belajar, dan pembiayaan pendidikan di sekolah.
9. Kemampuan mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan siswa baru, penempatan, dan pengembangan kapasitas siswa secara optimal.
10. Kemampuan mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran secara optimal sesuai dengan arah dan tujuan yang ingin dicapai, dan
11. Kemampuan memonitoring dan mengevaluasi semua program kegiatan yang dilaksanakan guna perbaikan dan peningkatan kualitas.
Sebagai Supervisor/penyelia/evaluator, maka sebagai pemimpin pengajaran, pemimpin pendidikan di sekolah berfungsi melakukan pembinaan profesional kepada guru dan tenaga kependidikan. Untuk itu kegiatan pemantauan atau observasi kelas mutlak dilakukan secara teratur sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai, melakukan pertemuan guna memberikan pengarahan teknis kepada guru dan staf dan menawarkan solusi bagi permasalahan pembelajaran yang dialami guru (Suryosubroto:2004). Dalam pelaksanaan kegiatan sebagai supervisor (Permendiknas nomor 13 tahun 2007), pimpinan pendidikan diharapkan harus mampu:
1. Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru
2. Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan teknik supervisi yang tepat
3. Menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
Sehingga dalam posisi sebagai pengambil keputusan dan kebijakan di tingkat mikro, pemimpin pendidikan di sekolah; sebagaimana diisyaratkan dalam manajemen pendidikan berbasis sekolah diberi keleluasaan melakukan inovasi-inovasi dan kreatif dalam me-manaj institusinya guna peningkatan mutu institusi yang dipimpinnya. Upaya-upaya peningkatan mutu masing-masing institusi berbeda-beda, namun dari beberapa pengalaman kami dalam upaya ke arah ini dapat kami sampaikan seperti:
1. Sumberdaya
Pimpinan pendidikan harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumberdaya sesuai kebutuhan institusinya. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk; (a) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalokasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (b) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (c) mengurangi kebutuhan birokrasi.
2. Personil
Pimpinan pendidikan harus; (a) terlibat dan bertanggungjawab dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan, kualifikasi, loyalitas, profesionalisme, performa pedagogic yang diinginkan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya), (b) pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kompetensi semua personil, termasuk pemimpin pendidikan dilakukan secara terus-menerus.

3. Kurikulum
Berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, pimpinan sekolah bertanggungjawab untuk mengembangkan kurikulum tersebut, baik standar materi (content) maupun proses penyampaiannya. Sehingga ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ini, antara lain: (a) pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa, (b) bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumberdaya yang ada, (c) pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
4. Pertanggungjawaban (accountability)
Dimana pada tataran ini, pemimpin pendidikan secara khusus, dan institusi yang dipimpinnya secara umum dituntut untuk memiliki akuntabilitas baik kepada stakeholders, karena hal ini merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan stakeholders.
Namun ada satu hal lagi yang mungkin agak ekstrim, tetapi bisa jadi merupakan sebuah solusi, karena tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu motivasi masyarakat kita dalam mengenyam pendidikan adalah memperdalam berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan berbagai ketrampilan guna persiapan memasuki dunia kerja dan menciptakan lapangan kerja. Sehingga diharapkan ke depannya nanti lembaga-lembaga pendidikan kita sudah harus di desain menjadi lembaga pendidikan yang berorientasi pada penyiapan tenaga kerja terampil, yakni lembaga pendidikan kejuruan yang sudah harus dimulai dari pendidikan dasar setingkat SMP/MTs (mengikuti pola Jepang dalam menyiapkan sumberdaya manusianya) sehingga spesialisasi ini akan terbangun sejak siswa berada di lembaga pendidikan dasar dan pada akhirnya spesialisasi ini akan terbawa sampai ke jenjang pendidikan lanjut sekaligus sampai menuju ke dunia kerja. Kita lebih memilih pola kolaborasi Jerman dan Jepang dalam mepersiapkan sumberdaya manusianya. Dimana Jerman dengan pola magang, sementara Jepang dengan menerapkan industry-based mulai dari tingkat pendidikan dasarnya. Sehingga untuk memperkaya pengetahuan dan ketrampilan, kita juga bisa melanjutkan proses perbaikan pendidikan kita dengan magang (mengikuti pola Jerman dalam mempersiapkan sumberdaya manusianya).
REVERENSI

Akdon. (2007). Strategic Management for Educational Management (Manajemen Strategik
untuk Manajemen Pendidikan). Bandung: Alfabeta.
Depdiknas. (2007). Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007, tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah.

Mulyono (2008). Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Salis, Edward (Penerjemah D.C.Kambey dan E.S.Kambey) (2004). Total Quality Management
in Education (Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan). Universitas Negeri
Manado.

Sudrajat,Akhmad (2009). Manajemen Kepala Sekolah Dalam Pelayanan Publik (Artikel Jurnal
UPI Bandung). Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

Suryosubroto,B (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Tjiptono,Fandi & Anastasia Diana (2003). Total Quality Management. Yogyakarta: Andi

Umaedi (1999). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (sebuah pendekatan baru
dalam Pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu). Direktorat Pendidikan
Menengah Umum Jakarta

Wahyudi (2009). Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajar (Learning
Organization). Bandung: Alfabeta

Yukl, Gary (2009). Leadership in Organization (Kepemimpinan Dalam Organisasi). Jakarta:
Indeks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar