MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL

MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL
NEGERI YANG DAMAI DAN PENUH PESONA

Rabu, 05 Mei 2010

RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN FILSAFAT ILMU

RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN
FILSAFAT ILMU
Oleh:
UDIN WAHYUDIN
MAHASISWA PROGRAM PASCA SARJANA (PPS) PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
A. Pendahuluan
Ruang lingkup filsafat ilmu dan bidang filsafat sebagai keseluruhan pada dasarnya men -cakup dua pokok bahasan, yaitu pertama, membahas sifat pengetahuan ilmiah, dan kedua menelaah cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah pada pokok bahasan pertama filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang merupakan bidang kajian filsafat yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk pengetahuan manusia. Pada pokok bahasan kedua yakni terkait dengan pokok soal cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah, filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan pengertiannya dengan metodologi. Jadi filsafat ilmu ialah penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan penyelididkan lanjutan.
Filsafat ilmu dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1. Filsafat ilmu umum, yang mencakup kajian tentang persoalan kesatuan, keseragaman, serta hubungan diantara segenap ilmu. Kajian ini terkait dengan masalah hubungan antara ilmu dengan kenyataan, kesatuan, perjenjangan, susunan kenyataan, dan sebagainya.
2. Filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat ilmu yang membicarakan kategori-kategori serta metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu atau dalam kelompok-kelompok ilmu tertentu, seperti dalam kelompok ilmu alam, kelompok ilmu masyarakat, kelompok ilmu tehnik dan sebagainya (beerling dkk, 1986: 40) dalam (filsafat ilmu sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan, 2007: 44).
Filsafat ilmu dapat pula dikelompokan berdasarkan model pendekatan, yaitu:
1. Filsafat ilmu terapan, yaitu filsafat ilmu yang mengkaji pokok pikiran kefilsafatan yang melatarbelakangi pengetahuan normatif dunia ilmu. Pada kajian ini dunia ilmu bertemu dengan dunia filsafat. Jadi filsafat ilmu terapan tidak bertitik tolak dari dunia filsafat melainkan dari dunia ilmu. Dengan kata lain filsafat ilmu terapan merupakan deskripsi pengetahuan normatif. Filsafat ilmu terapan sebagai pengetahuan normatif mencakup:
a. Pengetahuan yang berupa pola pikir hakekat keilmuan.
b. Pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang diturunkan dari pola pikir.
c. Pengetahuan mengenai berbagai sarana ilmiah.
d. Serangkaian nilai yang bersifat etisyang terkait dengan pola pikir dengan model praktek yang khusus. Misal etika profesi.
Dengan filsafat ilmu terapan maka menjadi jelaslah saling hubungan antara objek-objek dengan metode-metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan tujuan penyelidikan ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengolahan bahan-bahan secara ilmiah.
2. Filsafat ilmu murni, yaitu bentuk kajian filsafat ilmu yang dilakukan dengan menelaah secara kritis dan eksploratif terhadap materi kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap kemungkinan berkembangnya pengetahuan normatif yang baru. Bila filsafat ilmu terapan berangkat dari ilmu khusus menuju kajian filosofis, filsafat ilmu murni mengambil arah sebaliknya, yaitu berangkat dari kajian filosifis terhadap asumsi-asumsi dasar yang ada dalam ilmu, misalnya terkait dengan anggapan dasar tentang “realitas” dalam ilmu-ilmu khusus dan konsekuensinya pada pemahaman terhadap “realitas” secara keseluruhan.
B. Hubungan filsafat ilmu dengan epistemologi
Filsafat ilmu secara sistematis merupakan cabang dari rumpun kajian epistemologi. Epistemologi sendiri mempunyai dua cabang yaitu filsafat pengetahuan (theories of knowledge) dan filsafat ilmu (theory of science). Objek material filsafat pengetahuan yaitu gejala pengetahuan, sedang objek material filsafat ilmu yaitu mempelajari gejala-gejala ilmu menurut sebab terpokok. Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh alat pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan (Verhak dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46).
Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis. Filsafat pengetahuan memeriksa sebab-musabab pengetahuan dengan bertitik tolak pada gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat pengetahuan menggali kebenaran, kapasitas dan tahap-tahapnya, objektivitasnya, abstraksi, intuisi, asal pengetahuan dan arah pengetahuan. Yang membedakan ilmu dari pengetahuan adalah metode ilmiah. (Verhak dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46) (Verhak dan Haryono, 1989: 12). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46).
Epistemologi akan menunjukkan asumsi dasar ilmu, agar penelaahan filsafat ilmu tidak terpaku pada ragam objek material ilmu. Pertanyaan dari ontologi “apakah karakter pengetahuan kita tentang dunia?” Pertanyaan ontologi dan epistemologi tidak dijawab dengan penyelidikan empiris yang terkait dengannya. Pertanyaan filsafat dipecahkan bukan dengan penyelidikan empiris, tetapi dipecahkan dengan penalaran. Dengan bantuan telaah epistemologi maka akan didapat pemahaman hakiki tentang karakter dari objek ilmu. Misal: terdapat karakter yang berbeda antara ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial humaniora dalam hal objek material, yakni bahwa ilmu alam memiliki karakter objek yang deterministik, sedangkan ilmu sosial-humaniora memiliki karakter objek yang indeterministik dan penuh motivasi.
Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan: “mengapa prosedur ini dan bukan yang lain?”, “apa jaminannya, bila ada, metode itu membuktikan yang lainnyakah?”. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan peneliti sosial dari disiplin sosial apapun yang membuat mereka superior (dan memberi mereka otoritas intelektual terbesar). Apa dasar klaim otoritas intelektualnya?.
Relevansi problem filsafat muncul dari fakta bahwa setiap perangkat riset atau prosedur tidak dapat diterangkan dengan memisahkan pandangan khusus tentang dunia. Tidak ada tehnik atau metode penyelidikan ilmiah yang memperkokoh dirinya sendiri. Berbagai status instrumen riset pada dasarnya tergantung pada jastifikasi epistemologis. Instrumen riset tidak dapat dipisahkan dari teori, sebagai peralatan riset, mereka bekerja hanya bersama-sama dengan asumsi-asumsi tentang hakekat dunia fisik, masyarakat, keberadaan manusia, dan bagaimana mereka mengetahuinya.
Ilmu alam, terkait secara pokok dalam term-term positivistik, mempelajari sesuatu yang objektif, tidak hidup, dunia fisik. Masyarakat, hasil akal manusia, adalah subyektif, emotif sebaik intelektual. Apa yang kita tunjuk sebagai causal, mekanistik dan pengukuran berorientasikan model eksplanasi adalah tidak memadai, karena kesadaran manusia tidak ditentukan oleh kekuatan alam. Tingkah laku masyarakat manusia adalah selalu mengandung nilai, dan pengetahuan reliabel tentang kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini, atau tujuan khusus sejarah masyarakat. Itu membuat tindakan sosial adalah penuh makna subyektif.
Toulmin dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 47). Mengatakan bahwa epistemologi tidak berakar pada periode pemikiran, tidak terkait pada prosedur praktis dan problem-problem yang secara historis berkaitan dengan disiplin. Misal: debat metodologis ilmu sosial tidak dapat dipahami secara bebas dari tempat budaya yang lebih luas dari penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh riset awal yang didasarkan pada asumsi epistemologis yang berbeda, yaitu seperti pada ilmu alam
Alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap objek. Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk memproses ilmu harus selaras atau konsisten dengan karakter objek material ilmu. Disini timbul perbedaan paradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang berbeda. Misal antara ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai.
Adapun validitas/keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan ia adalah hasil atau konsekuensi dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah validitas apakah ukurannya cocok (realiable) atau tidak itu tergantung pada metode dan karakter objek. Sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain kita tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu dari teropong ilmu lainnya. Misal: ilmu-ilmu empiris validitas untuk produk ilmunya harus-lah empiristis (Hindes Barry, 1977: 5-6) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
1. Asumsi beberapa jenis objek ilmu
Dewasa ini kita sudah memasuki masa spesialisasi ilmu, kita hanya tahu masing-masing metodologi ilmu kejuruan. Namun kita juga harus mempunyai wawasan yang luas tentang metodologi ilmu-ilmu pada umumnya, yang didalamnya dijabarkan perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara masing-masing ilmu. Dalam khasanah filsafat ilmu, kita banyak mengenal bentuk ilmu, jenis ilmu, dan paradigma ilmu. Dari berbagai bentuk, jenis dan paradigma ilmu tersebut maka kita dapat memperoleh gambaran adanya ragam, tingkat dan aliran ilmu.
a. Ilmu alam dan empiris
Ilmu empiris berpandangan sebagai berikut: ilmu mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Jadi berdasarkan objek telaahnya maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun, 1981: 6) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
Ilmu empiris mempunyai beberapa asumsi mengenai objek (empiris), antara lain:
(1) Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal: bentuk, struktur, dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual, melainkan suatu kelas tertentu.
(2) Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
(3) Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama (Paul Niddich dalam Yuyun S, 1981: 7-9) yang dikutif dari
(Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
Namun ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan atau (peluang) besar untuk mengakibatkan terjadinyakejadian lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal itu perlu, sebab kejadian alam sangat komplek.
Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktek ilmu alam merupakan suatu aktifitas manusiawi yang khas. Manusia memang dapat terlibat sebagai subjek dan sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah yang mempraktekkan dan diprakteki.
b. Ilmu abstrak
Ilmu formal seperti halnya matematika, logika, filsafat, dan statistika adalah jenis ilmu yang berfungsi sebagai penopang tegaknya ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang tergolong formal pada umumnya berasumsi bahwa objek ilmu adalah bersifat abstrak, tidak kasat mata, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Objek dapat berupa konsep dan bilangan, ia berada dalam pemikiran manusia.
c. Ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan
Ilmu kemanusiaan mencakup juga ilmu-ilmu sosial, ia merupakan ilmu empiris yang yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya baik perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar.
Objek material ilmu sosial adalah lain sama sekali dengan objek material dalam ilmu alam yang bersifat deterministik. Objek material dalam ilmu sosial adalah berupa suatu tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministik, ia mengandung: pilihan, tanggung jawab, makna, pengertian, pernyataan privat dan internal, konvensi, aturan, motif dan sebagainya, oleh karena itu tidak cocok apabila diterapi dengan predikat “sebab-akibat”.
Konsekuensi epistemologis dari perdebatan tersebut diawali dengan tidak memadainya metodologi ilmu alam untuk memahami fenomena manusia kecuali sebagai objek alamiah. Kerja dari penelitian empiris adalah untuk menemukan secara persis pola yang menghubungkan antara aturan-aturan, motif, situasi, hubungan sosial dan tingkah laku, dan memformulasikannya sebagai pembawa keteraturan. Tentu saja data mentah sebagai realitas sosial objektif mempunyai status subjektif, karena terkait dengan nilai-nilai, kepercayaan, ideologi. Lantas apakah ilmu sosial dapat digolongkan sebagai ilmu yang subjektif?, padahal semua ilmu mengklaim dirinya menafsirkan data secara objektif.
Ilmu berbeda-beda terutama tidak karena objek material berbeda, tetapi khususnya karena mereka berbeda menurut objek formal. Objek ilmu kemanusiaan yaitu manusia sebagai keseluruhan. Ia melampaui status objek benda-benda disekitarnya. Peneliti dalam penelitian ilmu sosial juga berada pada taraf yang sama sebagai objek. Perbedaan tersebut juga menimbulkan perbedaan pendekatan, dimana dalam rangka cara berpikir ilmu-ilmu alam adalah univok, sedangkan dalam rangka ilmu-ilmu sosial maka cara berpikirnya analog: setiap lingkungan masyarakat “sama” namun dalam “kesamaannya” itu juga berbeda. Karena ciri khas di atas, maka ilmu-ilmu kemanusiaan harus menggunakan titik pangkal dan kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya. Titik pangkal berbeda karena peneliti tidak lagi berada di luar objek penelitian, dengan kata lain subjek terlibat dalam penelitian tentang sesamanya (Veuger dan Haryono, 1989: 70) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 50).
Dalam ilmu manusia kita menghadapi keadaan bahwa praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga objek penelitian ilmu manusia. Misal: merupakan objek psikologi, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan psikis; merupakan aspek sosiologi, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan sosial; objek ilmu sejarah, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan historis.
Dalam ilmu kemanusiaan, manusia dari dalam terlibat dalam aktivitas-aktivitasnya sendiri. Hal itu merupakan sumber informasi tentang motivasi intern manusia. Namun hal itu sekaligus membuat menipu kita, kecuali kalau ia kritis.
d. Ilmu sejarah
Ciri ilmu sejarah dibandingkan dengan ilmu empiris lainnya yaitu sifat objek materialnya, yaitu data-data peninggalan masa lampau baik berupa kesaksian, alat-alat, makam, rumah, tulisan, karya seni. Semuanya itu mirip dengan objek material ilmu kealaman, karena sama-sama sebagai benda mati. Namun objek ilmu sejarah tidak dapat dikenai eksperimen karena menyangkut masa lampau dan tidak dapat dibalikkan lagi. Sering peninggalan sejarah tertelan oleh masa, terlindung dan merupakan saksi bisu, bahkan sering hilang. Karena sering banyak hal yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan dengan sikap menilai dari subjek penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu kemanusiaan menjadi problem dalam menentukan patokan objektivitas.
2. Taraf-taraf kepastian subjektivitas dan objektivitas ilmu
a. Evidensi
Evidensi objek pengetahuan berkenaan dengan taraf kepastian kepastian pengetahuan yang dapat dicapai subjek dalam ilmu-ilmu terjadi berdasarkan evidensi objek yang dikenal. Evidensi dan kepastian itu perlu dilihat dari sudut kesatuan asli subjek dan objek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya. Misal: dalam filsafat, evidensi objek bersangkutan dialami subjek dengan cara mendalam. Dengan demikian mutu kepastian adalah meyakinkan dan paling tinggi, paling bebas, sekaligus paling pribadi.
a.1. Dalam ilmu-ilmu empiris
Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan mengejar kepastian. Namun taraf kepastian konkret dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas. Artinya tidak pernah ada paksaan pada akal agar sesuatu disetujui. Dengan kata lain evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu bersifat nisbi, sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.
Makin dekat bidang ilmu tertentu pada pengalaman manusia seutuhnya, maka makin besar kesatuan subjek-objek, sehingga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi evidensi dan kepastian diwarnai subjektivitas yang membangun. Misal: dalam filsafat dan humaniora.
Makin jauh bidang ilmu tertentu dari pengalaman manusia seutuhnya, maka makin kurang kesatuan subjek objek, sehinga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi evidensi dan kepastian lebih diwarnai oleh objektivitas (di luar pengalaman subjektif). Misal: dalam ilmu alam.
a.2. Dalam ilmu-ilmu pasti
Dalam context of discovery sebagaimana ilmu yang lain memang ilmu pastipun masih dalam taraf coba-coba. Sedangkan dalam context of justification, maka tidak ada hipotesa lagi, melainkan ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis dan dalil-dalil.
Ia berlaku tanpa terikat ruang dan waktu. Memang ilmu-ilmu pasti tidak bersifat empiris, sehingga sifat evidensinya bersifat mutlak.
Sekali seorang ilmuwan memilih sistem tertentu maka ia sudah tidak bebas lagi untuk meragukan atau menolak hasil sistem ilmu yang bersangkutan (Verhak, 1989: 116) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 52).
Ilmu alam agak jauh dari pengalaman konkrit, sebab sifatnya eksak. Tidak saja keeksakan dalam konsep-konsepnya. Konsep dalam ilmu alam jauh dari pengalaman yang terbuka (bersifat eksklusif). Isi konsep dan isi observasi berkaitan secara univok. Konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu alam agak jauh dari data-data dri pengalaman yangterbuka bagi setiap orang, sehingga ilmu alam sukar untuk dimengerti bagi orang yang bukan ahli. Lagi pula ilmu alam dalam dalam menyelididki realitas jasmani terus-menerus memperluas sarana observasinya, sehingga peran indera berkurang. Contoh: melihat data cukup dengan membaca petunjuk grafik, jarum.
b. Objektivitas
Ilmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati fakta-faktanya secara metodis, artinya menurut cara penelitian yang dikembangkan oleh subjek yang mengenal. Misal: ilmu alam berhasil menyalurkan pengaruh subjektif, sehingga terbentuk ilmu yang benar-benar intersubjektif. Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu manusia yaitu bahwa ilmu-ilmu itu dalam praktek tidak dapat melakukan eksperimen secara netral. Misal: tidak bisa menguji coba terlebih dahulu pelbagai bentuk sosial. Walaupun pengalaman eksperimental dalam ilmu-ilmu manusia diperlukan, maka hal yang memungkinkan yaitu arah menuju kemanusiaan yang lebih baik serta utuh (Van Peursen, 1986: 64) dalam (Tim dosen filsafat ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 52).
Objektivitas ilmu alam adalah objektivitas yang menyangkut apa yang diberikan sebagai objek. Ojek tidak mesti berupa suatu benda, tetapi objek itu merupakan sesuatu yang tampak bagi indera manusia (panca indera).
Ilmu alam maupun ilmu sosial adalah non-refleksif sejauh tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai kodratnya sendiri sebagai ilmu dengan mempergunakan sarana-sarana teoritis dan eksperimentalnya.
B. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Cabang Filsafat Lain
Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti ontologi (ciri-ciri susunan kenyataan), filsafat pengetahuan (hakekat serta otensitas pengetahuan), logika (penyimpulan yang benar), metodologi (konsep metode), dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).
Pertama, Ontologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan masalah “ada” dan meliputi persoalan sebagai berikut: apakah artinya “ada”, apakah golongan-golongan dari hal yang ada?, apakah sifat dasar kenyataan dan ada yang terakhir?, apa cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori logis yang berlainan (objek fisik, pengertian universal, abstraksi dalam bilangan) dapat dikatakan ada?
Filsafat ilmu berkaitan dengan ontologi karena filsafat ilmu dalam telaahnya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan ontologis dari suatu ilmu. Landasan ontologis ilmu dapat dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek materi maupun objek formal?, apakah objek bersifat phisik ataukah bersifat kejiwaan?
Kedua, Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Epistemologi berkaitan dengan pemilahan dan kesesuaian antara realisme atas pengetahuan: tentang proposisi, konsep-konsep, kepercayaan, dan sebagainya., dan realisme tentang objek, secara terpilih disusun dalam term “objek real”, fenomena, pengalaman, data indera, dan lainnya. Epistemologi berusaha untuk memaparkan dan menjawab problem-problem yang muncul dalam area tertentu, misal: positivisme logis. Semua epistemologi meletakkan beberapa oposisi sebagai penyusun teori pengetahuan, tujuannya yaitu meletakkan yang memungkinkan bagi suatu pengetahuan. Misal: teori-fakta, manusia-dunia, transendental subjektif-transendental objektif. Epistemologi meliputi konsepsi yang spesifik tentang “subjek”, “objek” dan hubungan keduanya, dan itu dievaluasi dan menderivasikan keterangan untuk mengevaluasi pengetahuan dari “pengetahuan” tentang hubungan. Spesifikasi epistemologis tentang kriteria validitas semua pengetahuan harus memperkirakan validitas pengetahuan yang mendahuluinya, yang darinya spesifikasinya diderivasi.
Ketiga, Logika adalah cabang filsafat yang persoalannya begitu luas dan rumit, namun ia berkisar pada persoalan penyimpulan, khususnya berkenaan dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang absah. Penyimpulan yaitu proses penalaran guna mendapat pengertian baru dari satu atau lebih proposisi yang diterima sebagai benar, dan kebenaran dari kesimpulan itu diyakini terkandung dalam kebenaran proposisi yang belakangan. Tatanan logis adalah merupakan syarat mutlak bagi suatu ilmu. Pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan mengenai esensi-esensi dan sebab-sebab dari objek dalam bidang pengetahuan tertentu tidak bisa dihitung secara sewenang-wenang, tetapi harus ditata dan diklasifikasi sesuai dengan prinsip tertentu dan mengikuti metode tertentu. Penyelidikan mengenai “cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah” bersangkutan dengan susunan logik dan metode logik, urutan serta hubungan antara pelbagai langkah dalam penyelidikan ilmiah.dan bersangkutan pula dengan, susunan logik serta metodologik, urutan serta hubungan antara unsur-unsur serta struktur-struktur yang berlaku dalam pemikiran ilmiah.
Namun persoalan-persoalan logika yang penting dalam kaitannya dengan ilmu yaitu: apakah ciri-ciri suatu sistem aksiomatik, bagaimana kita dapat memastikan bahwa suatu aksioma sesungguhnya bukan suatu dalil yang dapat diturunkan dari aksioma yang lain?, apakah sekumpulan aksioma tertentu akan menghasilkan semua yang dapat dikatakan dalam bidangnya?. Bagaimanakah kita dapat mengetahui bahwa kesimpulan aksioma tersebut tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang salah? (The Liang Gie: 1977: 186) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 54).
Keempat, Metodologi yaitu berkaitan dengan suatu konsep metode, ia mempersoalkan: apakah arti suatu metode, apakah sifat dasar metode, apakah ada metode yang khas bagi ilmu?, apakah ada kaitan antara tujuan suatu penyelidikan dengan metode yang hrus dipakai?. Disinyalir dalam ilmu-ilmu terdapat derajat kebebasan yang tinggi antara tujuan dan metode.
Filsafat ilmu mempersoalkan masalah metodologik, yaitu mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat memperoleh predikat “pengetahuan ilmiah”. Filsafat akan mencari prinsip metodis suatu ilmu, sebab prinsip metodis merupakan titik tolak penyelidikan suatu ilmu. Fungsi metodologi yaitu menguji metode yang dipergunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid. Metodologi meletakan prosedur yang dipergunakan untuk menguji proposisi. Prosudur ini dijastifikasi maknanya dengan argumen filosofis. Adalah jelas metodologi-metodologi mengklaim untuk menentukan prosudur yang benar bagi ilmu, harus memperkirakan bentuk pengetahuan yang didalamnya beberapa pengertian superior dihasilkan dalam ilmu. Ilmu diperkirakan valid hanya bila hasilnya sesuai dengan prosedur: yang diperkirakan tidak dapat disahkan oleh ilmu. Metodologi meletakkan aturan bagi prosedur praktek ilmu, penderivasian makna pengetahuan dibuktikan oleh filsafat. Metodologi adalah produk filsafat dan ilmu-ilmu adalah realisasi dari metodologi (Barry Hindes, 1977: 5) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 55).
Perkiraan metodologis mungkin diderivasi dari epistemologi, yakni suatu konsepsi bentuk pengetahuan yang memungkinkan dicapainya pengetahuan yang valid (dari ontologi tentang apa yang eksis). Karakter pengetahuan sangat berhubungan dengan apa yang menjadi sifat esensial dari objek penyelidikan.
Kelima, Etika, yaitu cabang filsafat yang mempersoalkan baik dan buruk. Dalam kaitannya dengan ilmu yaitu berkaitan dengan tujuan ilmu, tanggungjawab ilmu terhadap masyarakat.
Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan ilmu agar tidak mencelakakan manusia, melainkan membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana mensejahterakan manusia. Ilmu bertendensi untuk membuka tabir/kedok dari kemutlakan-kemutlakan alam yang oleh sejarah diangkat menjadi kemutlakan budaya. Tujuan ilmu yang memperoleh pengertian lebih mendalam tentang motif-motif tingkah laku manusia yang diliputi kegelapan supaya manusia menjadi lebih utuh, dewasa, dan bebas (Van Melsen, 1985: 123-4) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 55).
C. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu-Ilmu.
Perkembangan ilmu yang makin cepat ini juga dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat. Untuk itu sudah saatnya kita memberi perhatian yang besar terhadap filsafat ilmu, sehingga kita dapat mengatasai keterkungkungan spesialisasi ilmu.
1. Perbedaan Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai banyak persamaan. Kedua bidang tersebut tumbuh dari sikap refleksif, sikap bertanya, dan dilandasi oleh kecintaan yang tidak memihak terhadap kebenaran. Hanya saja kalau filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran ilmu, sedang ilmu dengan metodenya tidak mampu mempertanyakan asumsi limu, metode ilmu, kebenaran ilmu, dan keabsahan ilmu. Ilmu tertentu menyelidiki bidang-bidang yang terbatas, sedang filsafat lebih bersifat inklusif dan bukan eksklusif, ia berusaha untuk memasukkan dalam pengetahuannya apa yang bersifat umum untuk segala bidang dan untuk pengalaman manusia pada umumnya. Dengan begitu filsafat berusaha mendapatkan pandangan yang lebih komperhensif tentang benda-benda (Titus dkk, 1984: 283) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 56).
Ilmu dalam pendekatannya lebih analitik dan diskriptif: ia berusaha untuk menganalisa scara keseluruhan pada unsur-unsur yang menjadi bagian-bagiannya, serta menganalisa organisme kepada anggota-anggotanya. Filsafat lebih sintetik atau sinoptik: menghadapi sifat dan kualitas alam dan kehidupan sebagai keseluruhan. Filsafat berusaha menggabungkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif dan menemukan arti benda-benda. Jika ilmu condong untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi dan menganggap sepi nilai-nilai demi menghasilkan objektivitas, maka filsafat mementingkan personalitas, nilai-nilai dan bidang pengalaman (Titus dkk, 1984: 283) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 56).
2. Spesialisasi Ilmu
Dewasa ini setiap pengetahuan terpisah satu dari yang lainnya. Ilmu terpisah dari moral, moral terpisah dari seni, dan seni terpisah dari ilmu. Kita tidak lagi memiliki pengetahuan yang utuh, melainkan terpotong-potong. Spesialisasi pendidikan, pekerjaan, dan kemajuan diberbagai bidang pengetahuan menyebabkan jurang pemisahsemakin lebar. Ilmu semakin diperluas juga diperdalam oleh para ilmuannya, dengan demikian timbul suatu subdisiplin yang akhirnya dapat menjadi disiplin yang berdiri sendiri.
3. Kerja Sama Filsafat dengan Ilmu
Dalam beberapa abad terakhir filsafat telah mengembangkan kerjasama yang erat dengan ilmu.
D. Kesimpulan
Berpikir filsafat berarti berpikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis filsafat tentang hakekat ilmu harus ditekankan kepada upaya keilmuan dalam mencari kebenaran, yang selanjutnya terkait secara erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran. Analisis filsafat ilmu tidak boleh berhenti pada upaya untuk meningkatkan penalaran keilmuan melainkan sekaligus harus mencakup pendewasaan moral keilmuan (Yuyun, 1981: 43) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).
Filsafat ilmu mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transendent daripada ilmu-ilmu. Maka dari itu filsafat pun mempunyai wilayah lebih luas daripada penyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas meneliti hakekat ilmu. Diantaranya paham tentang kepastian, kebenaran, dan objektivitas (Verhak, 1989: 108) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).
Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang didekati secara filsafat dengan tujuan untuk lebih memfungsionalkan wujud keilmuan baik secara moral, intelektual, maupun sosial. Filsafat ilmu harus mencakup bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu sendiri beserta segenap perangkatnya melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kebudayaan, moral, sosial dan politik. Demikian juga pembahasan yang bersifat analitis dari tiap-tiap unsur bahasan harus diletakkan dalam kerangka berpikir secara keseluruhan (Yuyun, 1981: 39) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).


DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gaja Mada (UGM), 2007, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Liberty, Yogyakarta.
Soetrisno dan Hanafi, Rita, 2007, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Salam, Burhanuddin, 2000, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Rineka Cipta, Jakarta.

2 komentar: