MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL

MEMBENTUK KARAKTER GURU PROFESIONAL
NEGERI YANG DAMAI DAN PENUH PESONA

Senin, 03 Mei 2010

SELF YANG DAPAT MEMBENTUK ILMU PENGETAHUAN HOLISTIK

SELF YANG DAPAT MEMBENTUK ILMU PENGETAHUAN HOLISTIK
(MEMAHAMI PEMANFAATAN ILMU DARI SISI KESEMPURNAAN DIRI)
Oleh: Hayatuddin Fataruba
a.Pendahuluan
Ilmu pengetahuan,didalam sejarah perkembangannya yang sangat pesat memberikan keleluasaan ruang bagi manusia untuk menciptakan berbagai temuan yang kontroversial, bahkan manusia sendiri tercengang dengan hasil yang mereka capai dan ciptakan. Namun hampir semua manusia;terutama para ilmuan sepakat bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkan dan dimanfaatkan hanya bersandar pada pengalaman empiris dan nilai-nilai fisik semata, maka ilmu pengetahuan akan bebas nilai. Sehingga untuk mencapai kemaslahatan ummat manusia sebagai penemu dan pengelola ilmu pengetahuan, dibutuhkan kemampuan memahami nilai-nilai metafisika yang lain.
Kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu pengetahuan memerlukan dua pertimbangan. Objektivitas yang tertuju kepada kebenaran merupakan landasan tetap yang menjadi pola dasarnya dan nilai-nilai hidup kemanusiaan merupakan pertimbangan pada tahap pra-ilmu dan pasca-ilmu, yang merupakan dasar, latar belakang, dan tujuan dari kegiatan keilmuan.
Pertimbangan nilai-nilai sangat berpengaruh pada penentuan tujuan ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah pada umumnya. Berdasarkan pertimbangan nilai-nilai yang diperhatikannya, maka para ilmuan-pun dibagi dalam dua kategori yakni; para ilmuan yang hanya menggunakan nilai-nilai kebenaran ilmu namun mengesampingkan nilai-nilai metafisika yang lain, dan para ilmuan yang menggunakan nilai-nilai kebenaran ilmu dan menjadikan nilai-nilai metafisika sebagai pertimbangan dari kegiatan keilmuannya.
Ilmu pengetahuan yang holistik atau sempurna adalah ilmu pengetahuan yang pola dasarnya bersandarkan pada logika dan pengalaman empiris serta nilai-nilai hidup kemanusiaan dijadikan sebagai dasar, latar belakang, dan tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangannya.
Ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, karena demi mencapai kebenaran maka ilmu pengetahuan itu menjadi eksis.Namun dari semua kebenaran yang diperoleh, ilmu pengetahuan pada akhirnya akan dikembangkan untuk kebutuhan manusia dan alam semesta. Karena ilmu pengetahuan ini dikembangkan untuk kebutuhan manusia dan alam semesta, maka kearifan dan kebijaksanaan manusia dalam menciptakan berbagai ilmu pengetahuannya sangat diperlukan.
b.Manusia dan kehidupannya
Manusia didalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya. Manusia senantiasa ingin tahu apa yang hendak diketahuinya. Sebelum ia tahu ia kagum atas hal yang ada di sekelilingnya. Hal itu merangsangnya lalu menimbulkan keinginannya untuk tahu. Hal inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas yang mampu berpikir dan menalar. Manusia memiliki potensi-potensi yang sehat dan tumbuh secara kreatif. Namun potensi inipun terkadang berada pada kegagalan untuk mengendalikannya disebabkan karena pengaruh dari latihan-latihan yang keliru yang didapat dari keluarga dan lingkungan. Tapi apabila manusia secara sadar mau menerima tanggung jawab untuk hidupnya sendiri dan hidup orang lain, maka kedua pengaruh ini, yakni pengaruh positif dan negatif terhadap potensi ini dapat diatasi.
Manusia dengan kemampuan menalar dan berpikir lainnya dengan perasaan dan intuisi (ilmu pengetahuan juga dapat diperoleh lewat wahyu atau ilham), maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu mengembangkannya.
Dalam menalar dan berpikir, maka manusia akan memperoleh pengetahuan. Penge tahuan itu berupa pengalaman-pengalaman yang diperoleh dengan berpikir dan belajar. Pengetahuan ini dapat berupa pengetahuan yang bersifat ilmu yang memilki kekuatan ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, maupun pengetahuan yang terkadang secara empiris tidak memiliki kekuatan ilmiah. Dengan cara inilah manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dari berbagai sumber sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi.
Lalu sejak kapan kegiatan ilmiah itu mulai dilakukan oleh manusia?. Menurut Ritchie Calder dalam Soetriono(2007:40), proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Mengapa? karena manusia, dengan panca inderanya sering menemukan dan mengawasi serta mengamati sesuatu, sehingga menimbulkan perhatian terhadap objek tersebut secara khusus. Dari perhatian inilah yang kemudian memunculkan permasalahan yang oleh John Dewey dalam Soetriono (2007) dinamakan sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa proses kegiatan berpikir dimulai karena kontak manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan sehingga proses berpikir diarahkan ke pengamatan objek yang bersangkutan.
Bagaimana hasil dari berpikir itu dikatakan bisa memilki kekuatan ilmiah? Tokoh filsuf, Aristoteles yang merupakan salah satu ilmuwan peletak dasar berpikir secara logis telah menggunakan logika yang tidak lain dari berpikir secara teratur, konsisten (taat asas), setia pada aturan yang tepat atau setia kepada kausalitas, karena tiap uraian ilmiah berdasarkan logika. Karena logika adalah dasar dari hakikat ilmu pengetahuan yang dibangun diatas dasar tiga landasan filsafat:
1.Landasan Ontologis yakni mempelajari wujud hakiki dari sesuatu objek, hubungan antara objek tadi dengan daya nalar manusia (penginderaan, perasaan dan pemikiran) yang membuahkan pengetahuan.
2.Landasan Epistemologis yakni bagaimana kemungkinan menimba pengetahuan yang merupakan ilmu, proses-prosesnya, dan faktor pendukungnya, agar memperoleh pengetahuan yang benar, sehingga ditemukan hakikat kebenaran dan kriteria-kriterianya.
3.Landasan Axiologis yakni bagaimana menemukan kegunaan ilmu pengetahuan itu, hubungan antara sistem penggunaannya dengan norma-norma, moral, serta hubungan antara tekhnik operasional metode ilmiah dengan moral itu.
c.Self (diri) dan ilmu pengetahuan holistik (sempurna)
1.Self (diri)
Organisme adalah lokus atau tempat dari seluruh pengalaman. Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Sehingga lokus ini adalah frame of reference-nya individu yang hanya dapat diketahui oleh individu itu sendiri, dan tidak dapat diketahui oleh individu lain, kecuali melalui inferensi, dan empati. Bagaiman individu bertingkah laku, tergantung pada frame of reference-nya tersebut. Apabila pengalaman-pengalaman yang terbentuk dalam diri individu itu terbentuk secara sempurna dan mencerminkan keteraturan, maka individu tersebut dikatakan berpenyesuaian baik, matang, dan berfungsi sepenuhnya. Orang/individu semacam ini akan menerima seluruh pengalaman tanpa merasakan ancaman atau kecemasan, mampu berpikir secara realistis. Tetapi apabila pengalaman-pengalaman yang terbentuk dalam diri individu itu tidak terbentuk secara sempurna dan mencerminkan ketidak aturan, maka terjadi inkongruensi antara pengalaman tersebut dengan self yang menyebabkan individu tersebut merasa terancam, cemas, bertingkah laku defensif, dan cara berpikirnya menjadi sempit dan kaku.
Salah satu kecenderungan dasar organisme, yakni mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan diri. Kecenderunagn ini bersifat selektif, dimana organisme terkadang hanya menaruh perhatian pada aspek-aspek kebutuhannya. Sehingga disatu pihak terdapat motivasi terhadap kecenderungan tersebut, dilain pihak hanya ada satu tujuan hidup yakni menjadi pribadi yang utuh sebagai individu yang sempurna dalam segala hal. Hal inilah yang memotivasi manusia/individu berupaya maksimal yang membuahkan dua kemungkinan, yaitu menjadi individu seutuhnya dengan berbagai kesiapan diri/self yang sempurna (motifasi yang baik) atau menjadi individu yang menuai kegagalan karena tidak mempu mengaktualisasikan diri/self-nya secara sempurna (motifasi yang kurang baik). Dengan demikian faktor kesiapan diri/self yang sempurna sangat dibutuhkan dalam memenuhi segala kecenderungan dasar ini. Dalam pribadi yang berfungsi dengan baik, kesadaran cenderung menjadi sesuatu yang reflektif, namun perlu diingat bahwa faktor lingkungan sosial juga turut berpengaruh. Dalam hubungan-hubungan tertentu, dimana self dalam kondisi sangat matang dan siap, maka perasaan-perasaan yang selama ini mengancam dapat
diaktualisasikan dalam kesiapan self yang matang ini untuk diarahkan menjadi positif. Memang asimilasi ini membutuhkan reorganisasi secara mendalam pada diri/self agar sejalan dengan kesiapan self tadi. Namun apabila kalau self/diri ini lebih siap, maka perasaan yang mengancam ini akan bersatu dengan diri sebagai satu kesatuan yang diarahkan menuju ke tujuan yang diinginkan oleh self/diri yang telah matang tersebut. Sehingga faktor-faktor jiwa dalam hal ini, merupakan kunci. Karena faktor jiwa melatar belakangi setiap perbuatan. Sifat moral tingkah laku dari self/diri tersebut tidak dapat ditentukan tanpa mempertimbangkan motif-motif yang melatarbelakangi self untuk bertindak. Apabila motifnya mengarah pada hal yang positif, maka self akan diarahkan ke hal yang positif, begitu juga sebaliknya. Karena yang mampu menilainya hanyalah diri individu itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Abhidamma dalam Soetriono (2007), bahwa segala sesuatu yang terdapat pada diri kita merupakan akibat dari apa yang telah dipikirkan. Lebih jauh, Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, menyatakan bahwa jiwa manusia memiliki empat kekuatan, yakni:
-Al-Qalbu, yakni sesuatu yang halus dari jiwa manusia yang terdapat dalam organ berupa hati yang berasal dari perasaan ketuhanan yang mendorongnya untuk merasa, mengetahui, dan mengenal sesuatu yang baik dan sesuatu yang tidak baik, juga menimbulkan motivasi atau niat. Sehingga al-Qalbu ini merupakan sentra filter kemanusiaannya manusia. Nabi Muhammad S.A.W dalam haditsnya yang Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shirah Bukhari jilid 2:234, mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal daging, yang apabila daging itu baik maka baik pula seluruh tubuh, dan apabila daging itu rusak maka rusaklah pula seluruh tubuh. Daging yang dimaksud adalah hati (al-Qalbu).
-Ar-Ruh, yakni tubuh (jiwa) halus yang tersebar ke seluruh tubuh, yang dapat merasa dan mengetahui.
-An-Nafsi, yakni kekuatan jiwa yang didalamnya bersemayam sifat-sifat tercela baik yang tidak dapat dikendalikan maupun yang dapat dikendalikan, yang dalam Al-Qur’an dibagi menjadi tiga sifat yakni; nafsu muthma’innah (nafsu yang tenang, jauh dari kegoncangan dan dapat dikendalikan oleh al-qalbu), nafsu lawwamah (nafsu kurang sempurna ketenangannya, akan tetapi masih bisa mengintrospeksi, dan mampu mencela apabila teledor), dan nafsu amarah (nafsu yang tidak bisa dikendalikan oleh al-Qalbu dan tunduk pada kekuatan syahwat).
-Al-Akli/akal, yakni pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.
Dengan demikian, self/diri manusia terdiri atas kelengkapan lahir dan bathin. Yang lahir adalah panca indera yang diperlukan untuk melakukan fungsi rohani, dan bathin/rohani adalah penggerak ragawi dalam melakukan segala aktifitas untuk mengenal dan mengetahui segala sesuatu yang sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
2.Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah organisasi dari fakta-fakta sebegitu rupa, sehingga mempunyai manfaat bagi kemanusiaan, masyarakat, dan alam sekitarnya. Maka secara analisis, ilmu pengetahuan menurut Burhanuddin Salam (2003),bertitik tolak dari:
a.Notio actualis; yaitu dengan ilmu pengetahuan itu, yang menyebabkan kita dapat mengetahui sesuatu yang tertentu sampai kepada sebab-sebab yang terdalam.
b.Notio habitus; yaitu dengan ilmu pengetahuan menyebabkan manusia yang mengolah ilmu itu mempunyai sikap atau kesadaran tertentu. Cara berpikir haruslah sesuai dengan watak dan keadaannya.
Menurut Rapar dalam Soetriono (2007), ilmu pengetahuan senantiasa memiliki subjek, yakni yang mengetahui, dan objek yakni sesuatu yang ihwalnya hendak diketahui.
Ilmu pengetahuan haruslah memiliki kebenaran (kesesuaian pengetahuan dengan objeknya), karena demi mencapai kebenaranlah maka ilmu pengetahuan itu tetap eksis. Namun tidak semua kebenaran dapat dungkapkan secara serentak dalam waktu bersamaan dalam satu objek karena kemampuan manusia yang terbatas dalam melihat keseluruhan objek. Dengan dasar inilah, maka selanjutnya Rapar dalam Soetriono (2007) memilah ilmu pengetahuan menjadi tiga jenis:
1.Pengetahuan biasa, yang terbagi menjadi dua; yaitu pengetahuan nir-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan biasa (common sense) karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik apa yang didapat dari pengalaman sehari-hari, dan sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, dan berpendapat sama dengan orang lain, seperti air dapat dipakai menyiram bunga, makanan dapat menghilangkan rasa lapar, dan lain-lain. Sehingga dengan kondisi seperti ini, maka Titus dalam Burhanuddin Salam (2003) mengemukakan beberapa ciri khusus dari common sense sebagai berikut:
a.Common sense cenderung menjadi biasa dan tetap, atau bersifat peniruan, serta pewarisan dari masa lampau.
b.Common sense sering kabur atau samar dan memiliki arti ganda
c.Common sense merupakan suatu kebenaran atau kepercayaan yang tidak teruji, atau tidak pernah diuji kebenarannya.
2.Pengetahuan ilmiah, yang diperoleh melalui penggunaan metode ilmiah
3.Pengetahuan filsafati, yang diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis. Dan oleh Burhanuddin Salam dalam buku Logika Materiil filsafat ilmu pengetahuan,
4.Pengetahuan religi, yang diperoleh dari pengetahuan kebenaran yang bersumber dari agama.
Karena yang dihadapi ilmu pengetahuan adalah masalah kenyataan, maka ilmu pengetahuan mencari jawaban pada dunia yan nyata pula. Pendekatan rasional digabungkan dengan pengalaman empiris dengan langkah-langkah yang disebut metode ilmiah antara lain; perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, pengajuan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan. Karena metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Artinya ilmu pengetahuan dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun teori yang menjembatani antara keduanya. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa semua metode ilmiah harus memenuhi syarat utama, yakni:
-Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang tidak menimbulkan kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
-Harus sesuai dengan fakta-fakta empiris, sebab teori bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung dengan pengujian empiris, maka tidak dapat diterima kebenarannya secara logika. Ilmu pengetahuan bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan sebelumnya.
Melihat uraian tersebut, maka ilmu pengetahuan yang holistik merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris.
Manusia dalam hal ini self/diri yang bersungguh-sungguh dalam memperoleh dan memiliki ilmu pengetahuan adalah yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu pengetahuan tersebut. Dengan demikian self akan menerima ilmu pengetahuan sebagaimana adanya, mencintai dengan bijaksana serta menjadikannya bagian dari kepribadian dan kehidupannya. Tanpa kesadaran akan hal tersebut, maka manusia akan kembali kepada ketidaktahuan dan kegersangan jiwa akan pengetahuan.

D.Self (diri) dan Ilmu Pengetahuan Holistik (sempurna )
Sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan ini, bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya didapat dari kemampuan menalar dan berpikir saja, tetapi ilmu pengetahuan itupun didasarkan pada intuisi. Apalagi pada era modernisasi dan industrialisasi seperti sekarang ini, menuntut setiap manusia yang berpikir dan menalar untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari kehidupannya, membutuhkan kekuatan etika ilmu pengetahuan sehingga fungsi ilmu pengetahuan akan berfaedah terhadap kemaslahatan ummat manusia itu sendiri dan keutuhan alam semesta.
Intuisi, merupakan salah satu tipe pengetahuan yang memiliki watak lebih tinggi daripada pengetahuan inderawi atau akal. Akal dan inderawi merupakan instrumen menghadapi objek-objek materi serta hubungan kuantitatifnya, maka intuisi sebagai naluri yang menjadi kesadaran diri manusia yang menjadi tuntunan pada kehidupan immateri, yang apabila mendominasi pola pikir akal budi manusia, ia dapat memberi petunjuk sebagai dorongan rohani dari dalam diri manusia untuk memanfaatkan dan menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sesuai peruntukannya dengan dilandasi tujuan untuk kemaslahatan ummat manusia, begitupun sebaliknya.
Menurut David Truebood dalam Soetriono (2007), bahwa ada tiga hal yang harus dipenuhi agar ilmu pengetahuan itu menyeluruh dan dapat diterima:
1.Moralitas subjek.
Artinya karena ilmu pengetahuan dapat dikategorikan pada pengetahuan tingkat ilmiah yang lebih tinggi, maka sandaran yang lebih kuat adalah moralitas penerima pengetahuan itu, sebab tidak semua manusia dapat mengikuti penyelidikannya secara tuntas.
2.Akal sehat
Artinya untuk menilai kevalidan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang, maka dapat ditinjau dari sudut penalaran akal sehat, apakah fakta dari pengetahuan yang dimilikinya dapat dinalar atau tidak.
3.Keahlian diri
Artinya untuk menilai tingkat kebenaran suatu ilmu pengetahuan secara menyeluruh harus melihat pada subjek penerima atau yang menjalankannya, apakah memiliki keahlian atau tidak. Karena ilmu pengetahuan yang baik dinalar secara runut dan teratur serta keluar dari intuisi subjek yang sudah berpengalaman dan telah lama berkecimpung di bidang ilmu pengetahuan tersebut, karena logika berpikirnya tidak memimpin dirinya agar bekerja setelah pikirannya diperhadapkan pada objeknya, tetapi telah mempertajam logika berpikirnya sebelum memulai penyelidikan pada objek tersebut.
Dengan kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, maka apabila ditinjau dari aspek manusianya (self), maka penalaran dan intuisi merupakan suatu kesadaran yang tinggi dalam self(diri)/kemanusiaanya.
Apabila ditinjau lebih jauh, bahwa ilmu pengetahuan sesuai dengan objek yang dilihat adalah kenyataan (reality), maka ilmu pengetahuan yang holistik merupakan ilmu pengetahuan yang menyeluruh dan mempunyai paradigma tertentu yang harus menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, bagaimana seharusnya menjawab persoalan tersebut, serta aturan-aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi yang dikumpulkannya untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Sehingga dibutuhkan kesadaran dan kekuatan batin yang tinggi dalam diri (self) untuk menalar dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Sehingga apabila akal dan naluri kemanusiaan manusia dapat mengalahkan sifat-sifat tercela (nafsu) sebagaimana dijabarkan oleh Imam Al-Ghazali tersebut di atas, maka ilmu pengetahuan yang diperoleh akan digunakan untuk kemaslahatannya tetapi apabila sebaliknya, maka ilmu pengetahuan yang diperoleh akan digunakan untuk kehancurannya.

DAFTAR PUSTAKA

1.Soetriono,dan Rita Hanafie.Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian; Andi
Yogyakarta,2007.
2.Salam,Burhanuddin.Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan; Rineka Cipta Jakarta,
2003.
3.Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM.Filsafat Ilmu; Liberty Yogyakarta,2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar